“Dek Markoni mau nggak ikut Mas Dony pindah ke Kalimantan? Dedek bisa jadi adik angkat Mas Dony!”
. . .
Title: Pembalasan Markonah, Pembalasan Markonah (2)
Author: tommylovezacky, Arga Reynald Septriadi
Submitted: 21 & 27 Januari 2012
Disclaimer: Cerita dari Teman
Rate: M
Length: Chaptered
WARNING!
Typo.
menXmen.
Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan diambil dari website.
Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!
-------] @bluexavier69 [-------
Chapter 1
---[1]---
Begitu ringan kaki ini kulangkahkan, berjalan melawan angin yg menerpa tubuhku. Dengan langkah terhuyung-huyung kuberusaha untuk tetap berjalan, tinggal sedikit lagi tempat itu dapat kucapai. Sudah tidak jauh. Malam ini tepat malam Jumat Kliwon, kusunggingkan senyuman menyeringai. Malam ini aku harus dapat membalaskan dendamku! Harus!
***
16 tahun silam aku terlahir dengan nama Markoni. Kata orang aku ini seperti perempuan, baik dari penampilan maupun tingkah laku. Ya, aku mempunyai dagu yg lancip dan bulu mata yg lentik, begitu pula jari-jari tanganku. Suaraku yang lembut dan gerak-gerikku yang lemah gemulai. Semua sangat sarat perempuan. Dan sejak kecil, orientasi sex-ku adalah pada laki-laki. Hal inilah yang membuat ayahku menjadi benci padaku, menganggapku sebagai aib keluarga, bahkan ayah tidak ragu-ragu menuding ibuku kalau aku ini adalah anak hasil perselingkuhan ibu dengan lelaki lain.
Lalu ayah menceraikan ibuku, dan menelantarkan kami. Sampai akhirnya aku dititipkan oleh ibuku pada sebuah panti asuhan. Karena ibuku harus berangkat bekerja untuk menghidupi aku putra tunggalnya, ibuku menjadi TKW ke Arab Saudi.
Saat usiaku 12 tahun, ibu telah 3 tahun berada di Arab. Meski kiriman untukku selalu lancar, namun ibu tak pernah kunjung menjengukku di panti.
Aku benar-benar tersiksa, setiap hari setiap saat, ada saja teman-temanku yang menghinaku bencong atau banci karena sifatku yang feminin. Tak jarang pula hari-hari ku, diwarnai perkelahian karena aku dibully oleh anak-anak panti yang sangat membenciku. Mereka sering mengeroyokku hanya demi melihat apakah aku memiliki buah zakar seperti mereka atau tidak. Di saat seperti itu aku hanya dapat menangis karena menahan sakit luka bekas pukulan mereka. Hingga akhirnya hari itu pun datang..
Di saat usiaku menginjak 17 tahun seseorang bernama Mas Dony mengadopsiku dari panti asuhan. Sudah dua tahun lamanya ibuku tak kunjung mengirimiku uang, bahkan sepucuk surat pun tak ada kuterima. Sering kulihat berita di televisi penganiayaan terhadap TKW di tanah ladang minyak itu.
Aku cemas akan ibuku, siang malam aku hanya dapat berdoa dan berharap semoga ibu baik-baik saja, dan semoga kami dapat bertemu kembali. Aku tak peduli meski ibu tak berhasil mendapatkan banyak uang. Dapat melihatnya saja sudah cukup bagiku.
Awalnya aku menganggap Mas Dony adalah dewa penyelamatku. Karena berkatnya lah aku terhindar dari ploncoan anak-anak panti yang tidak menyukai keberadaanku.
Mas Dony membawaku pergi meninggalkan Jakarta. Kami berangkat menaiki pesawat menuju Kota Pontianak, lalu melanjutkan perjalanan lagi dengan menaiki speedboat sebuah perahu bermesin seperti motorboat yang banyak digunakan sarana transportasi sungai di sebagian besar Pulau Kalimantan. Setelah dua hari perjalanan tibalah kami di sebuah desa pedalaman bernama Air Upas, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Mas Dony membawaku masuk ke dalam sebuah rumah besar dan terdapat banyak kamar di dalamnya. Setelah beristirahat sejenak di ruang tamu, Mas Dony menyodorkan selembar handuk padaku. Dengan sigap kuraih handuk pemberian Mas Dony tersebut, dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.
Seusai mandi Mas Dony mengantarku ke sebuah ruangan yang akan menjadi kamar pribadiku. Baru beberapa langkah memasuki kamar yang ditunjukkan, Mas Dony melempar sebuah kantong plastik berisi pakaian yang harus kupakai. Entah mengapa Mas Dony tiba-tiba saja sikapnya berubah menjadi kasar.
“Cepat kamu pakai gaun itu!” Hardiknya padaku
Aku terkejut bukan main! Bukan karena hardikannya yang terdengar kasar di telingaku, melainkan karena kata ‘gaun’ yang harus kupakai..
Aku menatap lurus ke arah Mas Dony yang berdiri di dekat pintu, tetapi ia membalas tatapanku dengan tatapan yang lebih tajam, terlihat begitu sangar dan menakutkan. Aku tak memiliki keberanian untuk melawannya.
Dengan perasaan terpaksa aku meraih bungkusan plastik yang tadi dilemparkan Mas Dony padaku dan segera memakai gaun yang ada dalam bungkusan tersebut.
Tak menghabiskan waktu lama aku pun selesai berganti pakaian.
Mas Dony menyeringai melihat penampilanku. Bibirnya kini menyunggingkan senyuman nakal yang biasa dilakukan para lelaki tatkala menggoda para wanita yang biasa berkumpul di taman kota sekadar berhura-hura.
“Kamu sungguh cantik Markonah!” Gumamnya pelan penuh rasa takjub kepadaku
Aku mengernyitkan kening
“Markonah?!” Ulangku
Mas Dony mengangguk
“Mulai sekarang namamu adalah MARKONAH!” Tegas Mas Dony
Tanpa kusadari kedua tangan Mas Dony telah merangkul kedua bahuku. Wajahnya yang tampan dan selalu membuatku ingin mencium bibirnya kini telah berada sangat dekat dengan wajahku. Sudah lama aku menginginkan saat seperti ini. Akhirnya kedua pasang bibir kami pun saling bertautan dan berputar beradu kenikmatan. Aku begitu nafsu menyambut bibir Mas Dony.
Setengah jam berlalu Mas Dony telah menanggalkan kaos baju yang dipakai olehnya. Otot-ototnya yang kekar membuatku terangsang ingin menjilati seluruh tubuhnya yang maskulin itu. Kuhisap kedua puting susunya dengan penuh nafsu. Mas Dony memejamkan matanya menikmati setiap rangsangan yang kulakukan.
Tangan Mas Dony menjambak rambutku. Ia membuka resleting celananya dan mengeluarkan batang kemaluannya yang begitu besar. Aku terpana menatap burung yang tak bisa terbang itu. Kedua ujung ikat pinggang menjuntai di celana jeansnya.
“Buruan isep!” Titahnya
Aku terkesima sejenak.
***
Dua jam telah berlalu, Aku menangis terisak di atas ranjang di sudut kamar. Mas Dony memasang kembali ikat pinggang pada celananya dan segera memakai kaos yang telah dilepaskannya selama bercinta denganku.
Mas Dony tersenyum culas.
“Seperti inilah yang harus kamu lakukan pada para tamuku nanti! Tak kuduga servismu memuaskan juga, bencong!”
Aku terpekur memandangi luka pada sekujur tubuhku. Tak kusangka aku sengaja diadopsinya hanya untuk dijadikan budak pemuas nafsu.
Sebenarnya aku merasa sangat bahagia dapat menikmati tubuh Mas Dony yang telah lama kudambakan, tetapi aku tak pernah mengira kalau ia seorang sadomachochist, selalu melakukan kekerasan fisik dalam bercinta. Beberapa cambukan ikat pinggangnya meninggalkan jejak kemerahan diwarnai darah pada sekujur tubuhku dan cairan serupa mengalir deras dari lubang duburku akibat perlakuan Mas Dony menusuk-nusuk anusku dengan ujung jari telunjuknya yang berkuku runcing. Aku merintih kesakitan.
Mas Dony menyulutkan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya ke wajahku. Sontak aku pun terbatuk-batuk. Lantas ia pergi keluar kamar begitu saja. Meninggalkanku dengan mata nanar.
***
Aku masih dalam keadaan bugil di atas ranjang. Berbalutkan sehelai selimut.
“Oh jadi ini yang namanya Markonah?!” Sebuah suara mengejutkanku di lorong pintu.
Sesosok wanita dewasa berpenampilan seksi melipat kedua tangannya di depan dada. Aku memicingkan mataku. Rasanya aku sangat mengenali sosok wanita ini. Ya! dia adalah…
“Ibu…” Desisku lirih
---[2]---
“Ibu?” Wanita itu mengerutkan kening
“Ini aku bu, Markoni, anak tunggal ibu!”
Kuberusaha bangkit dari tempat tidur. Namun begitu selimut yang menutupi tubuhku telah kusibak, aku baru sadar bahwa aku tak berbusana sama sekali. Wajahku memerah karena malu, sepintas lalu wanita yang kuyakini ibuku itu sempat melihat batang kemaluanku yang menjuntai ke bawah karena kelelahan setelah beradu tembak dengan Mas Dony, lelaki yang kupuja namun juga kubenci karena perlakuannya yang kelewat kasar saat bercinta. Dengan cepat segera kututupi kembali tubuh bugilku dengan selimut yang baru saja kubuka.
Kuberusaha bangkit dari tempat tidur. Namun begitu selimut yang menutupi tubuhku telah kusibak, aku baru sadar bahwa aku tak berbusana sama sekali. Wajahku memerah karena malu, sepintas lalu wanita yang kuyakini ibuku itu sempat melihat batang kemaluanku yang menjuntai ke bawah karena kelelahan setelah beradu tembak dengan Mas Dony, lelaki yang kupuja namun juga kubenci karena perlakuannya yang kelewat kasar saat bercinta. Dengan cepat segera kututupi kembali tubuh bugilku dengan selimut yang baru saja kubuka.
“Wow, punyemu besar juge ye!” Ibu bersiul menggoda. Mulutku ternganga, menatap ibu dengan pandangan heran.
“Oh ya, saye ni belum pernah menikah! Jadi bilamane saye dah dapatkan budak macam kau? Kawin si sering saye di rumah ni! Tapi hamil tak pernah pule!” Ibu berbicara panjang lebar dalam Bahasa Melayu yang cukup kumengerti walau sepertinya bahasa tersebut merupakan bahasa penduduk setempat.
“Ibu telah berubah!” Protesku.
“Selama 7 tahun aku selalu menantikan kepulanganmu, bu! Aku sangat merindukanmu! Selama ini aku sangat menderita bu!” Air mataku mengalir deras.
“Ih, budak ni comelnye! Gemas saye kan kamu! Kesian jua dirimu ni! Kau ni laki tapi parasmu cantik sangat! Tak apelah dirimu nak anggap saye sebagai ibumu! Sini, mari nak ibu peluk!” Ibu pun memeluk tubuhku tanpa ragu dan malu. Kusandarkan kepalaku di dada ibu. Ada kesejukan kurasakan di sana. Kesedihan yang mendalam menjadi plong seketika.
“Name saye Cik Tinah asal dari desa Manis Mate! Di sini saye adalah kepala pelayan divisi A! Saye bertugas mengarahkan kerja para waria untuk melayani tamu di rumah ini! Termasuk kamu nak!” Urai ibu panjang lebar,
“Mengapa ibu bekerja di tempat seperti ini?” Aku mendongakkan kepala menatap ibu. Ibu hanya menggeleng dan tersenyum,
“Tak ape!” Jawabnya
“Ayo kita pergi dari sini bu!” Kuraih pakaianku yang berserakan di lantai.
“Untuk ape? Tiade tempat senyaman rumah ini!” Ibu membelai rambutku penuh kasih.
“Jangan mencobe untuk lari dari sini nak! Abang Dony bise marah pade kite!”
“Tapi bu…”
“Saye ni sungguh bukan ibumu! Tapi bila kau nak memanggil saye ibu tak ape! Anggap saje saye ibumu itu! Konon di dunie ni ade 7 orang yang kembar dengan kite lah Tuhan ciptekan!”
Aku menyusut kedua pipiku yang basah oleh air mata. Mencoba meyakini segala perkataan Cik Tinah barusan. Untuk apa pula aku harus lari, sedangkan aku dari awal sudah terlanjur jatuh cinta pada Mas Dony. Hanya perlakuannya saja yang sangat kusesali. Tak semanis di saat-saat awal kami berjumpa.
Bagiku mungkin tak mengapa bila aku harus dijadikan pelayan seks komersial. Toh, justru ini malah memudahkanku untuk menikmati tubuh laki-laki yang haus akan belaian tanganku, atau pun keinginan untuk melayani hasrat seksual mereka.
Bagiku mungkin tak mengapa bila aku harus dijadikan pelayan seks komersial. Toh, justru ini malah memudahkanku untuk menikmati tubuh laki-laki yang haus akan belaian tanganku, atau pun keinginan untuk melayani hasrat seksual mereka.
“Mari nak, ibu bantu pakaikan bajumu! Nah, yang ini elok sangat! Suai untuk tubuhmu yang molek!” Cik Tinah menyodorkan beberapa pakaian ke tanganku. Aku terkejut lagi-lagi gaun wanita. Rupanya Mas Dony bermaksud menjadikan aku seorang waria.
Terdengar derap langkah kaki mendekat ke arah kami.
Terdengar derap langkah kaki mendekat ke arah kami.
“Owh.. Markonah ya? Duh cucok deh cin! Cantek seperti yang dikatakan Bang Dony!” Suara lebay seorang waria menyapaku, disusul beberapa temannya di belakang.
“Alamak, kaget eike ternyate ade Lady Gagal sindang di mari!” Ujar waria kedua, penampilannya begitu cantik seperti wanita tulen.
Gurat wajah para waria itu begitu lancip dagu yang mereka miliki seperti dioperasi plastik, dan hidung mancung seperti disuntik yang aku sendiri tak tahu apa nama suntiknya.
Gurat wajah para waria itu begitu lancip dagu yang mereka miliki seperti dioperasi plastik, dan hidung mancung seperti disuntik yang aku sendiri tak tahu apa nama suntiknya.
“Onah, kenalkan name akikah Siti Marfuah!” Waria pertama menyodorkan tangannya.
“Duh kasintrong tubuhmu dipenuhi luka sayatan dan darto eh, maksud Ay (I) darah ne!” Siti Marfuah mencolek salah satu goresan luka pada punggungku. Aku hanya dapat meringis menahan perih.
“Kalau name eike, you boleh panggil eike Marjunah!” Waria kedua memperkenalkan diri, disusul waria ketiga dan seterusnya: Mariamah, Marsemah, Marlianah, Marjombah, Maradonah, Mardianah, Marpunah, dan entah Mar…. apalagi nama mereka itu yang kesemuanya bernama awalan Mar, sedangkan jumlah mereka itu begitu banyak dan tak dapat kuingat satu persatu.
Jujur aku bukanlah tipe orang yang mudah bergaul seperti para waria yang tengah menyambutku bak tamu agung di istana mereka. Mereka begitu hangat dan ramah. Sepertinya aku akan merasa betah bersama mereka di rumah bordil ini.
Tanpa merasa canggung mereka membantuku merias wajah dan penampilanku. Mulai dari facial, pedicure, manicure, eye-shadow, lipstik, maskara, make up, dan lain-lain.
Sambil mendandaniku sebagian dari mereka ada yang menceritakan pahit getir pengalaman hidup mereka hingga menjadi waria jauh di daerah pedalaman Propinsi Kalimantan Barat ini. Pada umumnya sebagian dari mereka memiliki kronologi dan latar belakang yang hampir sama denganku. Awalnya mereka enggan untuk menjadi waria, namun setelah gagal melarikan diri karena berhasil tertangkap oleh para bodyguard Mas Dony mereka pun akhirnya terpaksa menjalani hidup dengan riang menjadi ‘MUWAR’ (Mucikari Waria).
Aku tersenyum kelu menanggapi curahan hati mereka yang sangat terbuka itu meskipun baru kenal denganku sesaat. Mungkin karena kami mengalami hal yang senasib, sehingga tidak ada rasa sungkan bagi mereka kepadaku sebagai anggota baru di rumah bordil milik Mas Dony ini.
“Ujubuneng, kamyu pasti habis dirayen dulu sama Mas Dony ya?” Marfuah menutup ritsleting gaun yang kupakai. Ritsleting itu berada di punggung, pasti Marfuah melihat sayatan lukaku di punggung bekas cambukan Mas Dony. Marfuah tersenyum getir.
“Biasong ne, Bang Dony kan sukong cobang-cobang barang baru!” Mardianah turut menimpali.
Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Mardianah itu. Timbul sebersit rasa cemburu dalam hatiku. Pasalnya sudah lama aku mencintai Mas Dony jauh sebelum ia mengadopsiku dari panti asuhan.
Aku sedikit terkejut mendengar ucapan Mardianah itu. Timbul sebersit rasa cemburu dalam hatiku. Pasalnya sudah lama aku mencintai Mas Dony jauh sebelum ia mengadopsiku dari panti asuhan.
-flashback-
Kala itu Mas Dony sering berkunjung ke panti asuhan sebagai donatur tetap yang datang setiap awal bulan. Terkadang ia menginap di panti, dan tidur di kamarku. Ia sering memintaku untuk memijit tubuhnya yang kelelahan usai beraktivitas seharian di pusat kota Jakarta. Aku yang polos tak begitu mengerti bisnis apa yang sedang dijalankannya waktu itu. Sejak saat itu pula tanpa kusadari telah jatuh cinta kepadanya.
Pernah suatu hari aku dibully kawan-kawanku di panti. Mereka melorotkan celanaku dan memasukkan batang kemaluanku ke dalam sebuah plastik berisikan sambal cabai merah yang telah diulek halus. Aku meronta namun tak dapat melawan karena jumlah mereka empat orang dan mereka mencengkeramku, tiga dari mereka memegangi kedua tangan dan kakiku, sedangkan yang seorang bernama Fauzan menurunkan celanaku hingga lutut, dan memasukkan batang kemaluanku ke dalam kantong sambal itu. Aku tak berdaya hanya isak tangis yang keluar dari mulutku. Percuma rasanya untuk teriak meminta pertolongan. Sedangkan seorang anak bernama Hendra saja yang bukan kelompok mereka hanya dapat berdiri mematung menyaksikan penyiksaanku. Ia terdiam sebelumnya ia sempat berusaha membantu melepaskan ku. Namun gagal karena ia sendiri pun lemah sepertiku. Ia lemah bukan karena banci sepertiku, melainkan karena ia bisu! Ia sama sekali tak dapat berbicara. Terlebih tubuh Hendra kalah besar oleh empat anak yang menyerangku ini.
Pada akhirnya setelah Fauzan dan teman-temannya puas menyiksa aku, aku pun terkulai terduduk lesu di sudut kamar mandi. Meski telah kusirami dengan bergayung-gayung air, tetapi tak dapat menghilangkan rasa panas pada batang kemaluanku.
Aku hanya dapat menangis tersedu, hingga akhirnya Hendra datang menarik tangan seseorang. Ya, dia adalah Mas Dony! Dengan sigap Mas Dony menggendongku ke kamar. Aku sudah tak kuat untuk berjalan. Hanya air mata yang dapat berbicara mewakili segenap perasaanku.
Malam harinya, aku tak dapat tidur. Aku masih terus menangis menahan panas yang tak terkira. Mas Dony yang memperhatikan keadaanku menarik tubuhku merapat ke dalam rengkuhan tubuhnya yang hangat. Menyuruhku menangis sepuas hatiku. Aneh, aku malah jadi terdiam. Dan hatiku mendadak berdebar-debar dalam dekapannya yang hangat. Mungkin sejak saat itulah aku telah jatuh cinta kepada Mas Dony.
Pernah pula pada suatu malam, seperti biasanya Mas Dony tidur bersamaku, di kamarku dan Hendra. Setelah aku memijat tubuh Mas Dony sebelum kami beranjak tidur, ia merasa kegerahan dan melepaskan kaos putihnya. Nampak lekuk tubuhnya yang teramat mempesona bagiku. Dengan kulitnya yang putih dan dadanya yang bidang meski otot perutnya tidak sixpack, namun ia terlihat sangat seksi. Kupandangi terus bentuk tubuh itu. Hingga Mas Dony menegurku dan membuyarkan kekagumanku akan tubuhnya.
“Kamu juga buka baju donk! Memangnya kamu tidak merasa panas?” Mas Dony menanggalkan kaos yang melekat di badanku
Kami sekarang telah sama-sama bertelanjang dada.
“Kamu suka ya sama tubuh Mas Dony?” Bisik Mas Dony pelan dan lembut di telingaku
Entah mengapa aku menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil. Lantas Mas Dony memelukku membawaku berebah di atas kasur, dan aku yang masih begitu belia teramat polos tak mengerti akan apa yang kurasakan ini. Jari-jemari tanganku yang lentik seperti jari anak perempuan mengusap lembut tubuh Mas Dony yang kukagumi itu. Sesekali Mas Dony mencium keningku, membelai rambutku, dan mendekap mesra tubuhku agar semakin lekat dengan tubuhnya. Hanya itu yang kami lakukan pada malam itu berdua. Sungguh suasana yang romantis. Saat itu pulalah Mas Dony mengutarakan niatnya padaku,
“Dek Markoni mau nggak ikut Mas Dony pindah ke Kalimantan? Dedek bisa jadi adik angkat Mas Dony!” Bisik Mas Dony mesra membuat hatiku bergelora.
Aku menoleh ke belakang melihat Hendra yang tidur di sampingku dan agak menjauh. Hampir setiap malam aku, Hendra, dan Mas Dony tidur bertiga. Tampak Hendra tertidur pulas dan tenang. Mungkin karena ia seorang tunawicara tak pernah sekalipun aku mendengar Hendra tidur mendengkur. Aku mengangguk memberikan jawaban pada Mas Dony. Timbul harapan dalam hatiku, mungkin bila sudah tiba di Kalimantan aku dapat melakukan apapun yang kuinginkan bersama Mas Dony dengan bebas.
----
Aku terhenyak meresapi perkataan yang baru saja dilontarkan oleh Mardianah. Setiap orang yang baru saja masuk menjadi anggota baru di rumah bordil ini selalu dicicipi terlebih dahulu tubuhnya oleh Mas Dony. Seperti apa yang baru saja kurasakan. Timbul sejuta tanda tanya di benak kepalaku.
Apakah perlakuan Mas Dony sama terhadap semua orang yang dicicipinya itu? Apakah Mas Dony bermain kasar hanya kepada diriku? Apakah Mas Dony benar-benar suka bercinta dengan waria? Apakah Mas Dony….. dan masih banyak lagi pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku, kesemuanya adalah menanyakan “Apakah Mas Dony…..???”
Entah perasaan apa yang berkemelut dalam hatiku ini. Apakah ini yang dinamakan cemburu? Padahal tadi aku begitu sakit saat tubuhku mengalami penyiksaan dicambuki oleh Mas Dony demi mencapai kepuasan orgasme yang ingin dicapainya. Masih kuingat dengan jelas tadi Mas Dony mengatakan penyimpangan seks yang dialaminya itu biasa disebut sadomachochist. Aku merasakan sakit yang teramat pedih karenanya, tetapi Mas Dony adalah lelaki yang sangat kucintai. Sekarang tinggal harapan suatu saat nanti Mas Dony akan bercinta denganku penuh kasih dan kelembutan tanpa kekerasan fisik seperti yang baru kualami.
Maradonah sesekali mengajariku beberapa kosakata bahasa yang biasa digunakan oleh kalangan para waria. Baru kuketahui bahwa para waria pun memiliki kamus bahasa transgender tersendiri yang mana pada umumnya kosakata yang diambil banyak mengadopsi kosakata kamus gaul artis kondang zaman baheula: Deby Sahertian. Seperti kata-kata berikut:
Akikah/Eike/Akong= Aku
Begindang= Begini
Sindang= Sini
Cintrong= Cinta
Dan menurut uraian Maradonah, bahkan ada kurikulum sastra bahasa transgender atau waria yang diluncurkan sejak tahun 2010 silam. Yang mana dalam kurikulum tersebut terdapat beberapa pengaturan baru yaitu adanya penambahan suffix -ang dan -ong dalam beberapa kosakata, seperti misalnya:
Masak= masakong
Coba= cobang
Duduk= dudukong
Kita= kitong
Muka= mukong
Pasti= pastong
Dan adapula kosakata yang bersuffix -et atau -at, contoh:
Sama= sampret
Kamper= kampret
Dampar= dampret
Gampar= gampret
Sambut= sambret
Tajir= tajret
Dapat= dapret
Begitulah uraian penjelasan Maradonah sang juru bahasa yang tidak terlalu aku simak dengan seksama.
Aku mematut-matut diri di depan cermin, semua para muwar di rumah bordil ini termasuk Cik Tinah memuji akan kecantikanku. Tampak jelas sekali kecantikan yang kumiliki ini benar-benar natural, tidak seperti mereka yang diperoleh dari hasil operasi plastik yang banyak dilakukan di negara tetangga, Thailand.
Tiba-tiba saja aku merasa jengah harus menjadi seorang waria. Daripada seperti ini aku merasa lebih baik menjadi seorang gigolo. Karena aku adalah seorang gay! Ya, aku lebih suka menjadi gigolo daripada menjadi seorang waria. Aku ingin Mas Dony mengerti akan hal ini. Terlebih atas rasa cintaku padanya. Batinku bergejolak.
“Hey, Tuanku Datuk Syah Alam datang bo! Yuk mari jeng kitong sambret di mukong pintu!” Marjunah memberi pengumuman kepada kami
“Markonah, you jadi bintang malam ini! Pamor eike pastong jatuh bo! Tuanku Datuk Syah Alam pengusaha paling tajret di sindang! You harus layani dia orang kakek brondong bow! And,,, you pasti bakal dapret ang pao dari tu cukong! Secara ni kan malam tahun baru imlek bow!” Tutur Marfuah panjang lebar.
Aku sedikit kurang mengerti dengan maksud kata-kata teman baruku ini. Namun tangannya telah berhasil menarik tanganku terlebih dahulu sebelum aku mencerna kembali perkataannya itu. Kami semua berbaris memanjang di muka pintu. Terlihat olehku Mas Dony membukakan sebuah pintu mobil Estrada 4WD. Dari dalam mobil lalu turunlah seorang kakek tua berumuran 65 tahunan. Penampilannya begitu perlente memberikan kesan kalau ia adalah orang yang sangat terpandang di negeri ini. Lalu semua temanku pun membungkukan badan memberikan hormat padanya, seraya mengucapkan “Gong xi fat coi Tuanku Datuk Syah Alam!”.
Dengan senyum yang begitu riang, pria setengah baya itu pun memberikan uang ang pao kepada setiap orang yang menyalaminya. Teman-temanku pun tersenyum sumringah menerima amplop berisi uang tersebut.
Aku hanya berdiri membisu dengan wajah tercengang, sejurus mata memandang, pria itu menatapku dengan pandangan yang sangat aneh. Belum pernah aku ditatap seperti itu. Cik Tinah menyenggol siku lenganku. Aku masih terdiam mematung.
“Kamu….” Tegur pria itu di hadapanku.
to be continued...
-----] #berpedang [-----
Kalo udah dibaca, komentarin lah. Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini, biar blognya rame n rajin di-update.
Kritik dan saran bisa dikirim lewat
e-mail: kulipembangun@gmail.com
-----] Thank’s for reading [-----
0 komentar