Title: Cowok Rasa Apel (2)
Author: tommylovezacky
Submitted: 7 Desember 2011
Disclaimer: Cerita dari Teman
Rate: M
Length: Chaptered
WARNING!
Typo.
menXmen.
Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan diambil dari website.
Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!
Cerita ini ditulis oleh seorang penulis dengan nama noel solitude, terima kasih karena telah memberi ijin cerita ini dimuat di blog ini. *tommylovezacky’s blog
-------] @bluexavier69 [-------
... .. Ada yang Datang .. ...
“Dimas, bangun…!” Ada yang menggugahku. Aku dengar suaranya samar-samar. Emhhh… Aku menggeliat.
“Dimas, bangun…!” Suara itu menggugahku lagi. Kurasakan tubuhku juga digoyang-goyangkan. Aku masih malas membuka mata, tapi… eittt… tunggu! Kok suaranya cowok? Dan itu bukan suara Papa?! Segera kubuka dan kupicingkan mataku, dan…
“Eeeeehh……?!!!” aku terbelalak melihat ada cowok di dekatku, tengkurap di kasurku bertopang bahu menatapku senyum-senyum. “Woiii… KAMU…?!!!” Aku kaget bukan kepalang!!!
“Apaaa?!!” anak di sebelahku itu tersenyum mencibirkan bibirnya.
“Kamu?” aku masih gugup dan bingung, bangun di atas kasurku sambil mengucek mataku. Cowok di sampingku ini… MIRIP AKU…!!! SUMPAH MIRIP BANGET!!! Astaga…!!!
“Napa? Kaget liat gue?” anak itu mencibirkan bibirnya lagi.
“Kamu…? DENIS… kan…?!!”
“Ya iya lah, siapa lagi?! Hehehe…”
“Lho? Kok… ada di sini…?!” Aku memandanginya seheran melihat kucing terbang ke langit! Dia ikut bangun, duduk menghadapku masih dengan senyumnya yang seperti nggak tahu dosa itu… Lalu…
Plakkk!
“Woi, kurang ajar! Kenapa nampar aku?!” kuusap pipiku yang habis ditamparnya. Nggak keras sih, tapi kurang ajar amat?!
“Lu pasti mikir ini mimpi kan?”
“Kok kamu bisa di sini?” aku mengulang pertanyaanku lagi.
“Napa nggak? Badut aja bisa ke bulan! Lu nggak suka ya gue pulang?”
“Bukan gitu… Pulang kamu ngagetin tahu?!” seruku.
Aku bergegas terjun dari tempat tidurku, lari keluar kamar menuruni tangga. “Mamaaaaa…. Denis pulang ya?!!!” teriakku.
“E, e, e… Nggak usah pakai teriak-teriak!” tukas Mama yang kutemui di bawah tangga.
“Gimana nggak kaget?! Kok nggak ada kabar kalo dia mau pulang?!!” gerutuku masih terheran-heran.
“Ehhhh… Ini Dimas ya? Aduuhhhh… Udah gede sekarang!” tiba-tiba seorang perempuan gendut nyamperin aku dari belakang.
“Ehh, Tante Hilda? Tante kemari sama Denis kan? Kok nggak ngasih kabar dulu, Tante?” aku gelagapan, benar-benar dibuat kaget sama kedatangan mereka ini!
“Kejutan, Sayang!” balas Tante Hilda dengan gaya genitnya sambil mencubit pipiku. Ada Om Frans juga, suaminya, senyum-senyum melihatku.
“Tapi Mama pasti tahu kan? Ini pasti konspirasi nih Tante sama Mama! Aku sengaja nggak dikasih tahu!” aku langsung nuduh sambil menggerutu.
“Ih, segitunya sih sama Tante? Memangnya kamu nggak suka ketemu Denis?” balas Tante Hilda masih dengan gaya genitnya. Asem! Kayaknya aku memang udah dikerjain sama mereka!
“Dimas memang gitu tuh, gayanya aja jaim! Aslinya ya seneng lah! Hihihi…” Mama ikutan komentar sambil cekikikan.
“Udah, Mama nggak usah ngeledek!” sahutku cemberut.
“Ya terserah Mama dong! Pokoknya, sekarang kamu musti damai sama Denis ya! Tuh barang-barangnya Denis, dibantuin tuh… angkat ke kamarmu!” tukas Mama.
“Hah? Ke kamarku? Kok ke kamarku, Ma?!”
“Eee, memang harusnya dimana? Di kamar Mama?!” Mama menjewerku.
“Ya, di mana lah, nggak harus di kamarku kan?” protesku.
“Udah nggak ada kamar lagi, Dimas! Kamu tega nyuruh Denis tidur di gudang?”
“Ya nggak di gudang, itu di depan TV kan juga ada kasurnya!” aku bersikeras.
“Memang kenapa sih kalo Denis tidur di kamarmu? Itu tempat tidurmu tiga orang aja muat! Jangan rewel deh, nggak sopan ada Tante sama Om!” Mama mulai melotot padaku.
“Ya, nggak cocoklah, Ma! Cowok udah gede-gede masa tidur satu kasur?!” keluhku.
“Ini anak aneh deh! Denis itu kan sodara kamu sendiri? Pokoknya Mama nggak mau diprotes lagi. Cepet Denis dibantuin!”
“Yang akur ya, Sayang…” Tante Hilda membungkam protesku dengan cubitannya lagi. Aku nggak bisa berkutik lagi. Kalah sama kemauan orang-orang yang lebih tua ini! Yaahhh… Mau nggak mau nih! Terpaksa!
“Ayo dong, bantuin!” Denis lewat sambil menggaplok pundakku.
Terpaksa, aku angkut barang-barangnya Denis ke kamarku. Dua koper yang beratnya, anjrittt!!! Isinya batu bata kali ya?!! Setelah kutaruh koper Denis di sudut kamarku, aku duduk di kursi lalu memandangi Denis yang duduk di tepi tempat tidurku. Dia tersenyum cengar-cengir… “Lu seneng nggak sih gue datang?” tanya Denis.
“Gimana yah? Kita kan MUSUH!” balasku sinis.
“Wew, segitunya sih lu nganggap gue?! Itu kan dulu waktu kita masih kecil. Ribut jaman kecil masa dibawa sampai gede sih?”
“Tapi tiga tahun kemarin, pas kamu pulang kita juga masih ribut. Aku masih ingat kamu mukul nih hidung sampai berdarah. Untung hidung bagus ini nggak patah!”
“Itu kan nggak sengaja! Habisnya lu gelitikin sih, gue mukulnya tuh refleks!” kilah Denis. Aku memandanginya dengan agak dongkol dan canggung. “Terus… kamu beneran mau tidur satu kasur sama aku?”
“Kenapa nggak? Gue udah jauh-jauh dari Medan ke Solo mau lu suruh tidur di lantai? Sadis amat lu sama sodara!” Lalu Denis guling-guling di kasurku, kayaknya puas banget dia bikin kaget aku pagi ini! Bakal jadi apa nih malam nanti? Damai apa tetap perang, seperti jaman kecil?!
“Mas, masa sih lu nggak ada kangennya dikit aja sama gue?” gumam Denis sambil tengkurap.
Geregetan…
“IYA, AKU KANGEN SAMA KAMU!!! PUASSS…?!!!” teriakku serentak terjun menimpa adik kembarku… dan...
BRAAAKKKK!!!
Kasurku amblas ke lantai. Dipanku runtuh!
... .. Rahasia Saudara Kembar .. ...
Aku sama Denis adalah sodara kembar. Kami cuma berdua sebagai anak di keluarga ini, nggak punya kakak atau adik lagi. Aku lahir lebih dulu dari dia. Ada anggapan kalau anak yang lebih tua sebenarnya adalah yang nongol paling akhir, karena sang kakak harus mengalah agar adiknya keluar lebih dulu, begitulah filosofinya, tapi ada juga anggapan yang sebaliknya, siapa yang lebih dulu datang ke dunia maka dialah anak yang lebih tua, se-simple itu penjelasannya, dan orang tuaku memilih anggapan yang paling simple itu, bahwa akulah yang lebih tua. Jadi ya kuanggap si Denis itu adik kembarku, nggak usah rumit-rumit!
Wajah kami mirip, tapi tetap ada perbedaan spesifiknya! Denis punya lesung pipit di pipinya. Banyak orang yang memuja lesung pipit, beruntungnya si Denis! Tapi di lain sisi, rupanya aku dapat jatah badan yang lebih tinggi, sedikit. Ya, secara postur aku lebih cocok jadi kakaknya. Biarpun selisihnya cuma beberapa senti, tapi tetap bisa terlihat sepintas saja kalau aku lebih tinggi dari Denis!
Sejak umur sepuluh tahun, Denis dipisahkan dariku. Saat itu Tante Hilda, adik Mama, sudah menjalani lima tahun masa pernikahan tapi belum dikaruniai anak. Entah siapa yang menganjurkan, yang jelas akhirnya Papa sama Mama ngasih Denis agar diadopsi Tante Hilda dan Om Frans. Kata Mama, ada cara tradisional buat membantu suami-istri yang susah dapat keturunan, yaitu ‘memancing anak’. Begitulah harapannya, biar Tante Hilda sama Om Frans bisa ‘terpancing’ keturunannya setelah mengasuh Denis. Benar atau nggaknya mitos itu, nyatanya Tante Hilda beneran bisa mengandung dan sekarang anaknya sudah berumur satu tahun, dan katanya sekarang dia juga sudah hamil lagi! Aku jadi mikir, si Denis sakti sekali ya?!
Nggak tiap tahun Denis diajak pulang ke Solo. Soalnya jarak dari Medan ke Solo kan jauh banget! Sejak tinggal di Medan selama tujuh tahun, ini ketiga kalinya Denis diajak pulang ke Solo. Kepulangan sebelumnya udah tiga tahun yang lalu. Terakhir ketemu masih sama-sama imut, sekarang udah sama-sama gede dan wajah kami tetap mirip satu sama lain! Sebelumnya juga nggak ada kabar kalau dia bakal pulang, tiba-tiba pagi tadi udah senyum-senyum tiduran di tempat tidurku! Jadi gimana aku nggak kaget coba?!
Asal tahu saja, dulu waktu masih kecil kami sering berantem. Hampir tiap hari malah! Entah gara-gara rebutan mainan atau rebutan makanan. Yaahhh, biasa anak kecil. Apalagi anak laki-laki! Jadi kalau soal kangen sih… ya memang ada kangennya, tapi yang paling jelas perasaanku saat ini adalah…
AKU PANIK !!!
Aku cowok.. udah gede! Aku punya privacy! Denis tidur di kamarku, itu tanda bahaya! Gimana kalau dia nanti ngubek-ngubek isi laptopku dan tahu tontonan pribadiku di sana?!! AAAAHHHHH!!! Kenapa aku masih nyantai-nyantai aja sih?!!! Cepat, cepat, cepat! Pindahin semua file rahasia!
Kutancapkan flashdisk-ku ke laptop, dan sejurus dua jurus kemudian kupindahkan semua file rahasiaku dari laptop ke flashdisk. Sedot data! Tapi, tunggu, tunggu… nggak perlu semua file. Sisakan satu dua file aja, film Miyabi hehehehe… biar kelihatan ‘normal’ lah! Laptop cowok kalau nggak ada yang ‘seksi-seksi’ nanti juga dibilang aneh! Nggak tahu si Denis udah ngerti soal gituan apa nggak, tapi kalau dia sampai belum ngerti, kebangetan! Aku aja udah ngerti sejak jaman SMP! Hehehe…
Sippp! Pengamanan rahasia sudah selesai, semua file sudah kuatur, tapi aku akan tetap waspada! Denis, kita memang sodara kembar, tapi siapa tahu kamu juga masih jadi musuh! Aku nggak akan terkecoh sama gayamu yang sok polos dan lugu itu! Kita lihat saja nanti!
... .. Obrolan di Meja Makan .. ...
Sebenarnya aku agak males sama acara makan bareng keluarga. Soalnya memang nggak ada tradisi seperti itu di rumahku, tapi karena Tante sama Om sekeluarga datang ke rumah, sama Denis, akhirnya diadain juga acara makan malam keluarga ini. Untung saja menunya enak, kalau nggak, udah pasti aku bakal bengong disiksa oleh suasana ngobrol orang-orang tua di meja makan ini!
Lumayan, ada daging asap sama sup jamur kesukaanku. Aku bisa menemukan keasyikanku sendiri makan menu favoritku, tanpa harus mempedulikan obrolan Mama sama Tante yang udah kayak tetangga yang pada ngerumpi. Papa sama Om lebih banyak diam. Denis juga nggak banyak omong. Nino, sepupuku yang masih balita, malah belum bisa ngomong! Haha… Kalau dipikir-pikir ini memang konyol! Nggak ada interaksi yang nyambung selain antara Mama sama Tante saja, pastinya memang cuma mereka berdualah yang pintar ngerumpi!
“Dimas makan yang banyak dong! Biar isi dikit lah badan kamu!” akhirnya Om Frans mulai cari bahan sendiri buat ngomong sama aku.
“Makannya susah si Dimas. Seringnya sih aku kasih duit aja biar cari sendiri yang dia suka. Udah capek mikirin menu buat dia…” Mama langsung menyahut aja, padahal Om Frans ngomongnya sama aku. Memang gitu ya karakter ibu-ibu?
“Hmmm… Nggak jauh beda sama si Denis dong!? Susah juga tuh kalo makan…” Tante Hilda ikut nimbrung. Nah kan? Belum juga aku jawab, yang golongan ibu-ibu udah pada menyahut aja! Satu lagi, kayaknya udah kebiasaan juga ya kalo orang tua pada ngerumpi soal anak, pasti membanding-bandingkan! Paling sebel aku kalau dibanding-bandingkan!
“Dimas udah punya pacar belum?”
“Belum, Tante…” jawabku datar.
“Aaa.. Sama kayak Denis tuh!”
Ya ilah… tuh kan! Dibandingin lagi! Penting nggak sih? Males banget aku dibandingin sama Denis! Memang kami kembar, tapi kami tetap orang yang beda! Kalau ada yang beda nggak usah dikomentarin, kalau ada yang mirip ya nggak perlu disama-samain! Lagian biarpun kembar, Denis itu MUSUHKU!!!
“Tadi katanya dipannya rubuh? Kenapa sampai begitu?” celetuk Papa.
“Dimas-nya yang pecicilan… pakai loncat-loncat segala, ya rubuh lah!” gumam Denis. Mulai, ngaduin ke Papa! Aku masih ingat kok, dari dulu memang Denis ini sedikit-sedikit ngadu! Bukan karena cengeng, tapi memang dasar mulutnya itu usil!
“Udah diperbaiki kok! Cuma ada baut yang lepas aja…” sahutku cuek.
“Denis di Medan sana juga usil kok, sama aja kalian…” ujar Tante Hilda sambil cekikikan. Halah! Belum capek juga ngebandingin?!!
“Tante sama Om di Solo sampai berapa lama?” tanyaku, biar mereka nggak terus-terusan ngomongin aku sama Denis. Moga-moga mereka juga nggak lama-lama di sini!
“Denis sih liburnya tiga mingguan. Ya sekitar itu lah kira-kira…” jawab Tante Hilda.
Maakkk!!! Tiga minggu?!! Berarti sepanjang liburan aku harus menghadapi Denis satu kamar sama aku?!! Bakal ancur liburan indahku direcokin sama dia!! Aduhhh… langsung lemas rasanya… Aku lirik si Denis, dia juga ngelirik aku sambil cengar-cengir. Asem!!!
“Terus gimana tuh catering-nya kalo ditinggal?” Papa nimbrung.
“Sudah diaturlah! Jadi ya selama di Solo otomatis nggak terima klien dulu. Kita kan kemari udah direncanain!” jawab Tante Hilda sambil nyuapin Nino, anak balitanya yang berumur setahun. Tante Hilda sama Om Frans ini pengusaha catering di Medan sana. Katanya sih sukses.
“Eh, si Dimas kan liburan ini ada acara piknik sekolah ke Bali. Denis sekalian aja ikut… biar bisa ikut senang-senang di sana!” Mama mencetuskan ide.
“Wahhh… Ke Bali? Mau, mau!” Denis langsung semangat.
Aduhhhh… tambah rusaaaakkkk!!! Hancur total liburanku!!! Mama kok ngasih ide begitu segala sih?! Masa aku mau senang-senang ke Bali harus diuntit sama Denis juga?!! For God’s shake! Jelas aja Denis mau! PARAAAHHHH!!!
“Dimas, nanti tolong bilang ke panitianya ya, ada yang mau ngikut lagi! Nanti iurannya Mama kasih.” Mama langsung ngasih perintah.
“Ya, Ma…” jawabku tertunduk lemas. Malangnya nasibku…
Benar nih, liburan yang semula aku bayangkan bakal asyik ada piknik ke Bali, tapi nggak tahunya??? Jadi ingat tadi pagi Tante Hilda bilang, “Kejutan!”
Ini bukan kejutan.
Ini BENCANAAAAA!!!
... .. Lagu Untukku .. ...
“Rik, tempat duduknya udah full ya?”
Kukirim SMS-ku itu ke Erik. Menanyakan tempat duduk buat peserta piknik, Erik kan panitianya. Kutunggu balasannya sambil tiduran di kamarku.
Kenapa nggak dibalas-balas ya? Udah hampir setengah jam! Kukirim lagi SMS-ku ke Erik, pesan yang isinya sama. Lalu aku menunggu lagi, agak lama juga, sampai aku hampir aja ketiduran.
HP-ku akhirnya berbunyi. Yang kutunggu-tunggu, akhirnya Erik membalas juga!
“Udh penuh lah, tinggal brngkt jg! Gi latihan nih, jng smsan dulu ya!”
Tuinggg.. ketus lagi jawabannya?!! Nuduh aku iseng SMS-an lagi?! Padahal kan aku nanya serius. Si Denis kan pingin ikut piknik ke Bali, makanya aku nanya kursi busnya. Kalau udah full ya udah, jawabnya ngapain ketus gitu? Kok jadi sensi banget gini sih si Erik?
Berita buruk buat si Denis, tapi ya biarin! Malah jadi berita gembira buat aku! Berarti aku tetap akan piknik ke Bali tanpa dia! Asyikkk… aku nggak bisa ngebayangin bakal kayak gimana respon teman-temanku kalau Denis sampai beneran ikut! Pastinya bakal jadi bahan olok-olokan! Ada cowok kembar dadakan yang ikut acara piknik sekolah, jangan sampai itu terjadi!!! Syukurlah… Denis nggak jadi ikut!
Hmmmhhh… kayaknya aku tidur aja sekarang. Gulingku, di mana kau? Sini aku peluk, aku mau bobok…
“Ini gitar lu, Mas?” tiba-tiba suara Denis terdengar. Aku menoleh, dia masuk kamar sambil menenteng gitarku.
“Ada berita buruk buat kamu nih!” aku langsung nggak pakai basa-basi. “Busnya udah penuh, nggak bisa nambah penumpang lagi!”
“Jiahh… nggak bisa ikut dong gue?” tampang Denis langsung kecewa.
“Nyusul aja naik bus sendiri!” sahutku cuek sambil memejamkan mata lagi, memeluk gulingku erat-erat. Aku puas bisa ngasih berita buruk buat Denis!
“Huh, nggak ilang juga jahat lu ke gue!?” sungut Denis.
Rasain! Hihihi… bodo amat! Gara-gara Denis juga aku musti nanyain bus, bikin aku didamprat lagi sama Erik!
Kurasakan gerakan kasurku, rupanya Denis ikut rebahan di dekatku. Aku agak deg-degan juga. Malam ini aku mulai tidur sama dia! Sodara kembarku! Musuh besarku sejak kecil! Awas kalau dia sampai berani usil, bakal kulempar dia! “Lu lagi bete ya, Mas? Kok jelek amat tingkah lu…?!”
“Memang. Bete sama kamu!” jawabku cuek.
“Huuu… dosa apa ya gue? Lu baru datang bulan, Mas, sampe bete ke orang tanpa alasan gitu?”
“Eh! Bilang apa tadi?!! Tambah nyebelin aja!” langsung kusambit Denis pakai guling.
“Habisnya kenapa sih?! Gue udah datang jauh-jauh malah dijahatin?! Lu tuh juga nyebelin tahu nggak?!” kilah Denis setengah ngambek.
Aku balik tidur lagi. Huhhh… aku nggak mau tambah capek menghadapi Denis! Mikirin Erik yang pedes, ngadepin Denis yang sepet… Aku mau istirahat!!!
Aku sudah memejamkan mata lagi, tapi… aku nggak bisa menolak pendengaranku… Denis memetik-metik gitarku.
“Biar nggak bete, gue nyanyiin lagu nih…” gumam Denis. Lalu… “Nina bobok, oh nina bobok…”
ASTAGA…!!!
“Diem nggak?! Berisik!” aku langsung melek lagi nyuruh Denis diam. Emosi lagi!
Denis cengar-cengir. “Ya udah, minta lagu apa biar lu seneng?” dia malah nantang sambil mukanya diimut-imutin. Kok bisa sih aku punya adik macam dia?!!!
“Sini gitarnya!” aku langsung merebut gitarku. Lalu kutaruh di sebelahku, menjauhkannya dari Denis. Aku balik tidur lagi sambil menaikkan selimutku buat nutupin telinga. Aku nggak mau lihat dan dengar apa-apa lagi!!! Dan akhirnya… perlahan-lahan… Malam pun jadi sunyi.
Entah sudah berapa lama aku tertidur. Mataku mulai memicing lagi karena kupingku menangkap bunyi sesuatu di dekatku. Sesuatu yang bernyanyi di sampingku. Aku masih mendekap gulingku tanpa menoleh, tapi rasanya aku bisa menduganya. Gitarku sudah nggak ada lagi di sebelahku. Suara itu adalah petikan gitarku, dan… Denis yang sedang menyanyi? Aku nggak asing sama lagu itu, apalagi bagian refrein itu…
Donna, Donna, Donna, Donna,
Donna, Donna, Donna, Don… (*)
Itu… lagu yang dulu waktu kami kecil sering dinyanyiin sama Papa selesai mendongeng, kalau kami masih susah tidur maka Papa akan menyanyi buat menidurkan kami. Yang sering dinyanyikan Papa, salah satunya adalah lagu itu. Refrein yang repetitif dan meninabobokan. Aku tahu ini suara Denis…
Donna, Donna, Donna, Donna,
Donna, Donna, Donna, Don…
Aku menggeliat dan mengucek-ucek mataku. Baru ketika lagu itu selesai aku menoleh ke Denis. Dia sedang duduk bersandar bantal di sebelahku. Gitarku ada di tangannya.
“Udah, tidur! Nggak capek apa? Udah jauh-jauh dari Medan juga?!” gumamku nggak begitu jelas, bercampur kantuk.
“Hehehe… akhirnya lu ngomong yang bagus juga buat gue…” gumam Denis.
“Ehhh… aku emang ngomong apa barusan?” aku langsung bertanya-tanya, kikuk.
“Apa yaa? Intinya, lu tuh akhirnya punya perhatian sama gue!” Denis tersenyum cengar-cengir.
“Perhatian apaan?! Berisik tahu, nyanyi gitaran dekat orang lagi tidur gini! Ganggu!” aku langsung mulai mengomel.
“Gue kan nyanyinya pelan-pelan? Tadi kan lu bilangnya ‘apa gue nggak capek, udah jauh-jauh dari Medan’? Berarti kan perhatian sama gue!” Denis ngeyel dengan nada ge’er.
Kampret! Apa benar gitu ya?! Pasti jadi gede kepala nih si Denis! Tapi memang tadi… spontan gitu aja aku ngomongnya. Spontan itu berarti nggak dibuat-buat ya kan?
“Emang lu nggak ingat sama lagu tadi, Mas?” lontar Denis kemudian.
Lagu itu? Ya… memang aku ingat, tapi kenapa kayaknya Denis sengaja memancing nostalgia jaman kami kecil? Buat apa? Apa maksudnya?
“Lagu apaan tuh?!” tukasku masih pura-pura acuh.
“Tadi kan lagu kesukaan lu dulu, dulu Papa yang sering nyanyiin kalo kita mau tidur…” gumam Denis sambil memetik-metik gitar di tangannya dengan pelan.
“Kok kamu malah ingat? Jadi yang perhatian itu aku apa kamu?!” kelitku.
“Hehehe… Ya kita berdua!” cetus Denis. Dia lalu ketawa melirikku. “Mas, dulu kita memang sering berantem, tapi itu kan waktu kita masih kecil. Sekarang kita udah gede, harusnya bisa mikir yang lebih dewasa lah. Ngapain kita terus musuhan? Toh dulu kalo kita sering berantem, malamnya kita tetap tidur satu kasur juga kan? Didongengin cerita yang sama juga kan sama Papa? Ngapain sih sekarang kita masih berantem aja?”
Aku tercenung beberapa saat mendengar kata-kata Denis. Sedangkan dia asyik lagi bermain gitar sambil menggumam-gumam pelan. Aku bangun dari rebahanku, duduk bersandar bantal juga seperti Denis. Aku menguap sebentar… mengucek mata… lalu…
“Udah lama belajar gitar?” sebuah pertanyaan terlontar dariku.
Pertanyaanku memang nggak ada hubungannya sama apa yang dibahas Denis, tapi aku rasa dia benar. Seharusnya... aku bisa mengenalnya dengan cara pandang yang baru, bukan cara pandang seorang anak kecil lagi. Bertahun-tahun terpisah, yang selama ini terbayang di pikiranku cuma dirinya yang dulu waktu kami masih kecil. Padahal sekarang kami sama-sama sudah besar. Kenapa aku harus terus berprasangka pada Denis yang sudah besar ini? Denis yang mungkin saja sudah jauh berubah…?
Jadi mungkin aku bisa mulai bertanya apapun tentang dirinya, sodara kembarku ini. Karena sepertinya aku memang belum mengenal dirinya yang sekarang, sama sekali.
“Gue cuma otodidak kok… jadi ya jauh kalo dibandingin sama elu. Papa bilang, lu ikut kursus gitar klasik kan?” sahut Denis.
“Haha… kursus apaan? Itu udah lama, sekarang udah berhenti…” gumamku berusaha mencairkan dinginnya hati. “Ngomong-ngomong, aku tuh sebenarnya heran juga sama kamu… Kamu tinggal di Medan, kok ngomongnya pakai ‘lu gue’ gitu sih? Memangnya di Medan ngomongnya gitu ya?”
“Hehehe… Mama kita sama Tante kan dulu tinggalnya di Jakarta! Terus Om Frans tuh aslinya juga orang Jakarta, dia tinggal di Medan karena dapat kerjaan di sana! Om kerja di perusahaan kontraktor, Tante bikin usaha catering. Sampai sekarang. Kebetulan di komplek perumahan sana banyak pendatang dari Jakarta juga. Teman-teman main gue di sana juga rata-rata bahasanya campur-campur gini. Jadi ya… gue ngikutin bahasa yang dipakai di pergaulan aja…”
Aku menyimak cerita Denis. Gitu rupanya. Aku sendiri juga pakai bahasa campuran, kalau diajak ngomong pakai bahasa Jawa ya jawab pakai bahasa Jawa. Kalau ngajaknya pakai bahasa Indonesia, ya pakai bahasa Indonesia juga… Hahaha…
“Memangnya… kamu masih manggil mereka ‘tante’ sama ‘om’?” aku mengulik lagi.
“Ya nggak juga sih… Kalo manggil langsung, gue manggil mereka ‘mama’ sama ‘ayah’. Mereka ke gue udah kayak anak sendiri, nggak dibedain biarpun sekarang mereka udah punya Nino, tapi gue ya nggak mungkin lupa lah Mas, Papa sama Mama yang asli… ya yang ada di sini… dan gue kangen juga…”
Aku menyimak penjelasan Denis. Akhirnya aku bisa terharu juga. Dia ini kan memang sodaraku, nggak cuma sodara kandung tapi sodara kembar! Benar-benar kekanak-kanakan ya aku tadi, masih aja nganggap dia musuh. Harusnya udah sejak dia nongol di kamarku tadi pagi aku langsung menyambut dia sebagai sodara yang aku sayang, peluk atau cium sekalian gitu harusnya. Ehhh… Rada lebay ya…?
“Memangnya kamu juga pakai ‘lu gue’ kalo ngomong sama mereka?” tanyaku makin tertarik sama cerita Denis.
“Gila lu! Ya nggak lah! Ngomong sama orang lebih tua ya harus dibedain dengan ngomong sama orang sebaya!” tukas Denis.
“Apa malah pakai bahasa Batak?” terkaku asal.
“Ya nggak juga, yang penting lebih sopan aja!”
“Oooo… Memangnya kamu bisa bahasa Batak nggak sih?”
“Sedikit-sedikit aja sih…” gumam Denis sambil memetik-metik lagi gitar di tangannya.
Aku tersenyum manggut-manggut. “Suka musik apa?” tanyaku berganti soal.
“Apa aja, tapi gue baru suka sama ini nih…”
“Apa?”
“Pernah denger Loreena McKennitt nggak?”
“Ummhh… tahu namanya sih, tapi lagu-lagunya belum. Itu kayaknya folksong gitu kan? Kayaknya Papa punya CD-nya kok, aku pernah lihat, tapi belum pernah dengerin.”
“Hehehe… Gue kan tahunya juga dari CD-nya Papa! Waktu gue pulang ke sini sebelumnya dulu, ada CD-nya Papa yang kebawa ke Medan. Ya itu dia. Sering gue dengerin, bagus-bagus lagunya…” jelas Denis.
“Ooo… Kayaknya di sini Papa punya beberapa albumnya tuh, masih disimpan semua, tapi ngerasa aneh nggak sih, anak muda kayak kita sukanya malah musik-musik yang kesannya selera orang tua gitu?” cetusku. Soalnya aku sendiri suka musik-musik klasik, sedangkan musik pop yang lagi mainstream malah nggak gitu ngikutin.
“Gue sih nggak urusan! Kayaknya juga nggak ada tuh istilah ‘musiknya orang muda’ ato ‘musiknya orang tua’? Gue sih yang penting lagunya enak, udah. Nggak ngeributin alirannya ato apanya…”
“Iya juga sih. Coba mainin lagu apa gitu!” gumamku, nyuruh Denis nyanyi lagi. Akhirnya… hehehe… padahal tadi aja pakai marah-marah sambil ngatain ‘berisik’ segala!
“Gue paling suka sama yang ini nih… Neverending Road, enak lagunya… Tiap dengar lagu ini, selalu aja bawaannya jadi keingat sama rumah yang ada di sini, soalnya gue juga ingat, waktu masih di sini dulu Papa sering putar lagu ini…” gumam Denis setengah termenung. (**)
Denis memetik intro lagu pelan-pelan. Dentingan lembut itu menjelma seperti ayunan. Lagu yang sepertinya juga pernah kudengar… dan membuat diriku serasa… dibuai…
Perlahan tubuhku mulai rebah lagi, merapatkan kepalaku di atas bantal. Pikiranku meringan… Kelopak mataku memberat. Rasa lelah, beban pikiran, mereka tiba-tiba... lenyap..
Dan selanjutnya…
Untuk sekali lagi, akhirnya yang bisa kurasakan… adalah lelap yang damai…
... .. Namanya Juga Cowok! .. ...
Rumah sepi, cuma ada Bik Marni yang masih beres-beres di dapur. Mama belanja sama Tante Hilda ke supermarket, diantar sama Om pakai mobilnya Papa, Nino sepupuku yang masih balita juga diajak ikut. Sedangkan Papa ke kantor, pakai Vespa tuanya.
Aku baru saja selesai sarapan dan sedang menuju ke kamarku. Begitu sampai dan memasuki kamarku…
OH MY GOD!!
Kamarku berantakan! Hanger yang biasanya cuma digantungi bajuku, sekarang berjubal sama baju dan celana jeansnya Denis. Sampai bajuku ada yang jatuh, kena gusur. Meja belajarku juga berantakan, gelas sama mangkuk cemilan nggak dikembaliin lagi ke dapur! Selimut di kasur juga nggak dilipat lagi. Satu hal lagi yang mulai kuketahui soal adik kembarku, rupanya si Denis ini tipe cowok berantakan! Ampuuunnn!!!
Kurapikan kamarku lagi. Sambil nungguin Denis selesai mandi. Dia pasti bakal aku marahin!
“Met pagi…” Denis keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarku, sambil bersiul-siul dengan santainya.
Awalnya aku mau langsung marah-marah, tapi nggak jadi begitu aku melihat… Denis yang baru selesai mandi cuma pakai celana, tanpa baju! Bikin aku tiba-tiba jadi… ehemm… nggak jadi marah. Malah bengong melihati body adikku itu.
Memang rasanya aneh kalau aku mau memuji fisiknya Denis, soalnya dia kan kembaranku jadi secara nggak langsung berasa memuji diri sendiri alias narsis! Tapi memang harus aku akui kalau aku… suka melihatnya. Aduhhh!!! Semoga ini bukan tanda kalau aku ‘sakit’!
Oke, oke… aku nggak bermaksud narsis. Aku nggak ngomongin diriku tapi ngomongin Denis! Pendapat orang lain bukan urusanku, aku lagi ngomongin seleraku sendiri! Badan Denis memang bagus, menurut mataku! Ramping, padat, nggak skiny meskipun bentuk ototnya biasa aja. Sixpack juga nggak, tapi bersih dan fresh, nggak garing. Meski kurang lebih kami mirip… tapi feel-nya tetap beda banget kalau dibanding aku memandangi badanku sendiri di cermin… Aku baru menyadarinya dengan jelas sekarang.
Dan daging segar di hadapanku ini adalah adikku! Sodara kembarku! Itu yang bikin aku bengong dan bingung. Seandainya dia bukan sodaraku, mungkin nggak ya aku jadi… suka sama dia? God damn!!! Aku masih waras kan?!!
Aku melipat selimut sambil curi-curi pandang, dan bersamaan dengan itu sebagian dari diriku terus membisiki sisi warasku, 'Dimas, Denis itu adikmu! Dimas, Denis itu adikmu… berhenti ngeliatin! Kamu masih waras!'
Sedangkan bagian diriku yang lain sibuk mencari alasan, 'Ya, aku masih waras! Aku kan cuma penasaran ada cowok yang mirip aku sedang nggak pakai baju di depanku! Cowok yang… badannya bagus…'
O my God… Aku harus berhenti memandanginya!
“Lu ngeliatin gue?” cetus Denis tiba-tiba. Dia memandangiku. Anjritt!
“Nggak! Ngapain juga? Ge’er amat!” aku langsung ngeles sedikit gelagapan!
Mampusss!!! Denis tahu aku ngeliatin dia…!!! Biarpun aku udah ngeles tapi kayaknya Denis nggak percaya. Dia ganti melirikku dengan rada aneh.
“Badan kamu kayaknya lebih pendek dari aku ya?” akhirnya aku mengalihkan kecurigaannya, seolah-olah alasanku ngeliatin dia cuma karena soal tinggi badan.
“Dari kecil juga…!” tukas Denis rada cemberut. Nggak suka kayaknya, aku ngungkit tinggi badannya. Atau karena masih curiga? Tampangku memang kelihatan munafik kali ya?
“Jangan-jangan… kamu belum sunat ya…?” celetukku.
“Enak aja! Gue yakin ‘bentuk’ gue juga lebih bagus dari punya elu!” ternyata balasan Denis malah lebih nonjok!
“Weee… Pede amat? Coba buktiin kalo gitu!” aku langsung nyolot, nantang! Eitsss, kali aja beneran dikasih lihat…? Hahahaha…!
“Najis gue kasih lihat ke elu!”
“Berarti nggak ada buktinya dong…!”
“Tapi gue masih ingat dulu waktu kecil kita kan sering mandi bareng, ‘punya’ elu kan lebih kecil…!”
“Ehh, kurang ajar! Jangan ngebandingin yang jaman dulu ya! Lihat sendiri sekarang, aku lebih tinggi dari kamu…?!” balasku, jelas nggak terima sama tuduhan Denis!
“Kan nggak jaminan juga ‘punya’ elu lebih panjang…?! Waktu kecil juga lu udah lebih tinggi dari gue, tapi tetap aja ‘punya’ elu lebih pendek kan…?!” sahut Denis sambil memakai kaosnya. Uhhhh… Dia udah pakai kaos sekarang, nggak ada godaan mata lagi! Tapi malah ganti omongan kami yang ‘menjurus’… Ngomongin soal ‘kepunyaan’ masing-masing!
“Ya udah, sekarang dibuktiin aja mana yang lebih panjang!” aku nggak tahu apa aku ini masih sadar ngomong kayak gini… Telanjur tertantang! Mungkin aku memang udah sinting!
“Aneh lu ah! Punya lu mau pendek apa panjang tuh juga bukan urusan gue! Niat amat lu…?!” sungut Denis.
“Kamu sendiri tadi yang duluan ngungkit soal panjang-panjangan!” balasku nggak mau kalah, bercampur rasa dongkol karena dituduh ‘punya’ku lebih pendek! Meski belum bisa dibuktikan juga sih, kalau ‘punya’ku lebih panjang…
Tapi… untunglah Denis menolak! Soalnya aku baru bisa berpikir sekarang, kalau aku sampai beneran main ‘panjang-panjangan’ sama dia, berarti aku sudah EDANNN!!! Syukurlah kewarasanku masih terjaga!!!
Denis dengan gaya cueknya terjun lagi ke kasur. Tiduran…
“Eh, buset, tidur lagi?!!” sentakku.
“Tiduran habis mandi seger tahu…” gumam Denis sambil menggeliat.
Denis tiduran dengan enaknya. Guling kesayanganku dipeluk-peluk padahal rambut dia masih basah! Aduh, nasib nih punya kembaran kayak dia…! Tadi malam bisa ngobrol akrab, tapi sekarang kayaknya mulai ada tanda kalau sepertinya takdir kami tetap nggak jauh-jauh dari masa kecil kami: NGGAK AKUR! Ternyata dia masih nyebelin juga!
Ahh, aku ingat sama sesuatu…! Jadi punya ide buat ngerjain dia nih…!
“Den, tadi malam kamu nggak langsung tidur kan?” aku mulai memancing.
“Kenapa?”
“Semalam kamu buka apa di laptopku?”
“Nggak buka apa-apa. Nyobain internet aja…”
“Halahhh… Boong…! Kamu pikir aku nggak tahu ya? Semalam aku sempat kebangun lagi gara-gara dengar suara dari laptop… Aku memang nggak nengok tapi aku kenal banget sama suaranya! Kamu nonton Miyabi kan?! Hayooo!!!”
“Ahh… Usil lu…!!!” Denis langsung ngambeg, nggak bisa mengelak. Hahaha… Kena!
“Terus habis itu kamu lama amat di kamar mandi? Kamu main ‘ginian’ kan?” godaku sambil mengayunkan genggaman tanganku naik turun.
“Ngeres lu! Gue memang biasa mandi malam kok…!” Denis mau ngeles lagi, tapi mukanya udah telanjur merah. Berarti dugaanku nggak salah! Kena lagi!
“Mandinya sih sebentar, ‘pemanasan’ sama keramasnya yang lama…! Iya kan?!” aku nggak mau berhenti ngerjain Denis. Aku senang!!! Hahahaha…!
“Alahh, kayak elu nggak pernah aja?! Lu juga pernah kan?! Ngapain ngurusin gue?!” Denis jadi tambah ngembeg.
“Siapa yang ngurusin?! Punya punya kamu sendiri!” kelitku sambil ketawa geli melihat Denis ngambeg. “Dari umur berapa kamu ngerti gituan?”
“Bukan urusan lu…!” Denis makin jengkel.
“Nggak usah ngeles, hayo ngaku!!!” aku makin jahil sambil ngucel-ucel rambut Denis.
“Resehhh…!” kibas Denis sambil marah-marah.
Itu bukan alasan buatku berhenti, malah makin jadi buat ngerjain! Kudekap Denis dan gelitikin dia… Beginilah caraku ngusilin dia sejak dari kecil!
“Hayoo ngaku!!!” desakku sambil jahilin Denis.
“AAAHHHHHH… Mamaaaa… Dimas usil nihhhh!!!” Denis meronta-ronta.
“Mama nggak ada…!” sahutku sambil terus gelitikin. Hahaha… Berasa dapat mainan!
“Berhenti…! Gue tabok nih!!!” Denis berlagak ngancam.
“Tabok aja… ayo tabok…!” nggak kuhiraukan rontanya Denis, kalau dia belum nangis lemas aku belum puas ngerjain dia! Biarpun dia mau teriak-teriak sampai delapan oktaf, nggak bakal Mama bisa dengar suaranya dari supermarket!
CKREEKK… Tiba-tiba pintu kamar terbuka… Mama sama Tante Hilda nongol dari luar… O my Ggg… Mereka udah pulang…?!!!
“Lho… Kok pada pelukan sih…?” ceplos Tante Hilda dengan wajah bengong.
Aku baru nyadar kalau aku masih mendekap Denis… AAAAAA…!!! Momen yang salahhhhh….!!! Langsung kulepaskan dekapanku…
“Aku kan udah bilang, si Dimas aja yang gayanya sok musuhan… Tuh rukun juga…!” sahut Mama sambil cekikikan sama Tante. Lalu mereka pergi lagi.
“Siapa yang pelukannn…?!!!” protes Denis kencang, tapi Mama sama Tante udah telanjur menghilang dari muka pintu.
Rukun?
OH YAAA…?!!!
:evil: :evil: :evil:
(bersambung)
-----] #berpedang [-----
Kalo udah dibaca, komentarin lah. Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini, biar blognya rame n rajin di-update.
Kritik dan saran bisa dikirim lewat
e-mail: kulipembangun@gmail.com
-----] Thank’s for reading [-----
0 komentar