“Denis… sini Denis…” kupanggil monyet itu. Hihihi… Nggak tahu gimana caranya manggil monyet, yang terpikir malah si Denis. Mungkin karena sama-sama tengil!
. . .
. . .
Title: Cowok Rasa Apel (8)
Author: tommylovezacky
Submitted: 5 Januari 2012
Disclaimer: Cerita dari Teman
Rate: M
Length: Chaptered
WARNING!
Typo.
menXmen.
Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan diambil dari website.
Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!
Cerita ini ditulis oleh seorang penulis dengan nama noel solitude, terima kasih karena telah memberi ijin cerita ini dimuat di blog ini. *tommylovezacky’s blog
-------] @bluexavier69 [-------
... .. Song for: Persona Non Grata .. ...
Hari ketiga di Bali, hari terakhir sebelum balik lagi ke Solo. Semua bawaan nggak ada lagi yang ditinggal di hotel, semua sekalian dikemasi. Aku baru saja naik ke bus dan duduk di kursiku. Hari ini masih mengunjungi beberapa obyek, Pura Besakih, Kintamani dan Sangeh.
Berkaitan dengan kejadian-kejadian pahit tadi malam, meski perasaanku masih canggung buat menghadapi anak-anak lainnya, tapi aku sadar nggak ada pilihan yang lebih baik selain untuk berani menghadapinya. Yup, aku harus tegar, nggak boleh cengeng! Lagian, memangnya aku bisa lari? Tiap hari aku bakal ketemu mereka di sekolah!
“Eh, bisa tukeran tempat duduk nggak?” tiba-tiba ada salah satu peserta piknik menghampiriku, ngajak tukar tempat duduk. Anak kelas sebelah.
“Kenapa? Bukannya di depan lebih enak…?” aku balik nanya.
“Aku nggak cocok sama si Eka tuh…!” jawab anak itu.
Aku masih ingat, dia anak yang kemarin pas berangkat datangnya ngaret. Sekarang ngajak tukar tempat duduk. Ribet amat nih anak…?!
“Nanti kalo aku juga nggak cocok sama dia, gantian aku yang rugi?” aku nggak langsung ngasih. Pikir-pikir lah!
“Kamu kan pendiam, cocoklah sama si Eka tuh… Aku nggak betah duduk sama orang yang ‘nggak bisa’ ngomong…! Lagian kamu sendiri bilang lebih enak buat duduk di depan? Masa nggak mau duduk depan?”
Wee, kok sekarang dia membalik alasan itu? Hmmm, gimana ya…? Duduk sama si Eka yang…?
“Udah, sono… Asyik kan dapat kursi depan…?” ternyata Bambang malah mendukungku buat pindah.
Sebenarnya aku masih ragu. Tapi… Ya udah. Aku berdiri dari kursiku. Kubawa sekalian ransel dan bawaan lainnya. Pindah ke depan.
“OK, makasih ya…” ucap anak itu kelihatan puas.
“OK!” sahutku simpul sambil melangkah, pindah ke depan.
Bus juga mulai bergerak. Mulai berangkat. Aku segera duduk di kursi baruku. Sekarang aku duduk bersebelahan dengan Eka, anak kelas sebelah yang katanya… bermasalah itu…
“Hai!” sapaku mencoba ramah lebih dulu.
Eka cuma tersenyum dingin, menatap sekilas padaku lalu segera kembali memalingkan mukanya, diam menatap ke luar jendela. Cuek banget. Rambutnya rada gondrong, matanya tajam tapi agak kosong. Serem… Aku jadi rikuh. Kok aku mau sih pindah kemari?! Sial!
Ahhh, tapi segalak-galaknya dia, nggak bakal makan orang juga lah!
Aku kan juga bisa cuek!
Tapi… aku jadi tertarik waktu melihat gitar Eka yang ditaruh di dekat kakinya. Beberapa hari nggak pegang gitar, jariku mulai gatal-gatal. Tapi mau bilang pinjam, masih agak-agak gimana gitu… Takut.
“Kenapa mau pindah kesini?” tiba-tiba Eka ngomong.
Blaikk…! Kaget aku! Dia mau ngomong juga ternyata…?
“Diajak tukar sama teman kamu itu…” jawabku agak gugup.
“Si Aris? Dia bilang alasannya pindah nggak?” tanya Eka lagi.
Nah… Rada-rada grogi nih mau jelasinnya… Masa mau terus terang, “Temanmu bilang katanya kamu nggak bisa ngomong…” gitu? Kalo aku nanti malah ditonjok gimana…?
“Katanya… kamu terlalu pendiam gitu… Bener ya?” aku ragu-ragu menjawab. Jadi berasa blo’on banget ngomongku!
“Hahaha…” Eka ketawa perlahan. Lho…? Malah ketawa? Atau habis ketawa terus nonjok aku nih…?
“Kok ketawa? Bener kok dia tadi bilangnya gitu…” ucapku.
“Alesan…!” tukas Eka.
Nah… Mulai marah kayaknya…?! Siap-siap menangkis kalau tangannya tiba-tiba melayang…!
“Yang bikin rencana buat mindahin kamu kan si Bambang…!” celetuk Eka kemudian.
Hah?!
“Bambang…? Kok gitu?” aku langsung bingung. Tambah bingung!
“Tadi malam Bambang main ke kamarku. Aku dengar waktu dia bikin rencana sama si Aris buat mindahin kamu,” gumam Eka tenang.
“Tapi… kenapa?” kulikku. Dahiku berkerut.
“Yang aku tangkap sih, Bambang nggak mau duduk sama kamu. Makanya dia nyuruh si Aris buat pura-pura ngajak kamu tukar kursi…” jelas Eka.
“Kenapa nggak Bambang sendiri aja yang pindah depan? Kok malah nyuruh si Aris pindah belakang? Ato dia takut sama kamu kali ya?” aku bingung menganalisa teori konspirasi soal pindah-pindahan kursi itu.
“Si Aris juga nggak mau pindah ke belakang kalo duduknya sama kamu! Aku juga nggak mau, aku udah nyaman di depan!” tukas Eka dengan santainya. Lalu dia menatapku sambil tersenyum tipis. “Memangnya kamu nggak nyadar akibat berita soal kamu sama Erik itu?”
Deg…! Kaget…
Ohhh… Lagi-lagi masalah itu…?! Huhhh!!! Ternyata masalah itu sudah tambah jauh nyebarnya…! Seperti yang sudah kucemaskan!
Aku paham sekarang, jadi ternyata si Bambang sekarang juga ‘jijik’ sama aku. Makanya dia bikin rencana sama si Aris, nyuruh aku pindah tempat duduk dengan bawa-bawa Eka sebagai alasan! Padahal sebenarnya yang ingin mereka singkirkan itu adalah: AKU!
Hebat…!!!
“Baru nyadar, ternyata ada hubungannya sama itu… Padahal kalo mereka ngomong terus terang, pasti aku akan pindah juga sih… Ngapain duduk sama orang yang nggak suka sama aku?” ucapku lesu.
“Namanya juga cemen…!” komentar Eka.
“Siapa yang cemen…?” aku jadi agak kaget.
“Mereka. Yang berlagak straight itu…!” tukas Eka.
Haaa…???
Aku langsung bengong dibuatnya! Wow…! Si Eka bisa ngomong gitu? Apa jangan-jangan, dia juga…?
“Kamu ngomong gitu, kok kesannya kayak kamu bukan straight…?” gumamku jadi ragu, ngerasa ada yang aneh sama komentar Eka.
Eka langsung memandangiku dengan tajam. Hiii… Aku salah ngomong ya…???
“Memangnya aku bilang gitu?” tukas Eka.
“Yaa… nggak tahu! Aku bingung sama maksud kata-katamu tadi…” kelitku gugup.
“Maksudku, straight soal sikap! Aku lebih suka punya musuh gentle, daripada teman pengecut yang ngaku teman tapi punya niat jelek di belakang…!”
Wowww…!!! Statement yang benar-benar keren…! Aku sampai ternganga dan rasanya pingin tepuk tangan
“Tapi, kamu nggak masalah, kalo aku duduk dekat kamu…?” tanyaku masih tetap ragu sama Eka.
“Hey! Aku nggak seperti kamu, tapi aku juga nggak punya masalah sama orang seperti kamu. Just be your self…!”
Lagi-lagi wowww…!!!
Gila! Si Eka cool gini kok dibilang ‘nggak bisa ngomong’ sih?!! Kayaknya aku malah suka sama anak ini…! Maksudku, enjoy duduk sama dia!
“Idolaku juga ‘cowok yang suka cowok’ kok…” celetuk Eka, kali ini terasa nada konyolnya!
“Oh ya? Siapa?” tanyaku jadi bersemangat dan penasaran.
Eka mengambil gitarnya. Lalu jari-jarinya segera memainkan satu intro lagu… Lagu yang aku kenal banget…!
“Tebak…!” tantang Eka sambil memainkan intro lagu itu.
“Freddie Mercury… Absolutelly…!” tebakku.
“Love of my life, you’ve hurt me…!” Eka langsung meneruskan ke lirik lagu dengan suaranya yang pelan tapi cadas! (*)
Wahh, badass!!! Suaranya agak serak tapi lentur, seperti rocker-rocker rambut gondrong tahun 80'an… Ehemm, kayaknya… Erik aja musti hati-hati kalau mau saingan nyanyi sama dia…!
Aku nggak mau ketinggalan, aku menyusul dengan suara dua di bait berikutnya. Dengan volume setengah suara, menyanyikan lagu itu sampai habis…!
“Waahhh… Keren!” pujiku.
“Mantap juga kamu suara duanya…!” Eka balik memuji.
“Masa sih? Hahaha…” aku tertawa bangga. Siapa bilang aku nggak bisa nyanyi?!!
“Kamu bisa main gitar juga kan? Dulu kayaknya kamu pernah ikut band kan di sekolah?” tanya Eka.
“Iya… Kok ingat sih? Haha… Ikut band cuma sebentar kok. Katanya aku nggak cocok main gitar listrik…” jawabku. Jadi ingat sama pemecatanku dari band waktu dulu. Kalau itu sih nggak bisa dibanggakan!
“Biasa main akustik ya?”
“Iya. Dulu les gitar, diajarin-nya lagu-lagu klasik gitu soalnya.”
“Wah, klasik? Coba main!” Eka langsung mengulurkan gitarnya padaku.
Wedeewww… Akhirnya, dapat kesempatan pegang gitar juga! Musti kutunjukkan kemampuanku nih! Kujajal fret sama string gitar milik Eka. Hmmm… Mantap!
Mulai kumainkan salah satu komposisi gitar klasik favoritku.
Sampai rampung…!
“Woww… Keren juga mainnya…! Itu Gavotte-nya Bach kan?” ujar Eka. (**)
“Lho, tahu juga ya?” balasku sumringah. “Tapi aku masih banyak cacatnya kok…”
“Udah bagus kok kamu mainnya! Aku suka dengar symphonic metal, kadang mereka juga main komposisi klasik. Dari situ jadi suka dengerin lagu klasik juga, tapi aku belum banyak yang tahu.”
“Kalo aku sukanya cenderung yang Folk sama Baroque. New Age juga. Musik metal dengerin juga sih, dikit-dikit…” sahutku.
Kuamat-amati gitar Eka. Warnanya coklat gelap, kokoh. Sekilas aku tertarik mengamati sticker tulisan yang nempel di dekat pangkal neck, di sisi belakang…
“BEN… Apa nih artinya?” iseng-iseng aku bertanya soal tulisan sticker itu.
“Singkatan namaku…” jawab Eka.
“Ohh… Wah, bisa dijadiin nick nih…!” cetusku.
“Iya, kadang aku juga dipanggil gitu kok. Teman-teman ngeband-ku dulu yang suka manggil gitu…”
“Hmmm…” aku manggut-manggut. “Sekarang? Masih ngeband?”
“Udah nggak.”
“Kenapa?”
“Yaaahh… beda prinsip aja soal musiknya, soal bandnya…”
“Ooo…” aku manggut-manggut lagi. “Kayaknya, aku juga lebih sreg manggil kamu Ben aja…” celetukku sambil tertawa cerah. “Eh, iya… aku sendiri belum sebutin nama…! Namaku…”
“Udah tahu kok. Dimas kan?” potong Ben seraya tersenyum simpul.
“Hemm…” gumamku sambil mengangguk, membalas dengan tersenyum pula. Entah dari mana dia bisa tahu, mungkin karena saat-saat ini aku memang lagi sering diomongin…
Ahh, yang penting kan… dia bisa menerimaku…
Yaa… Ben, anak yang katanya bermasalah, ternyata nggak seburuk yang orang lain bilang! Anaknya memang cuek, tapi menurutku dia ramah, dan kelihatan apa adanya… Nggak pura-pura. Terus terang, aku mulai kagum sama dia…
Aku rasa, tiap orang pasti punya masalah. Aku dengar dari omongan-omongan yang beredar di sekolah, Ben ini katanya pernah overdosis karena pakai narkoba. Hampir tewas, katanya. Memang itu masalah yang serius. Tapi… kenapa banyak orang yang sepertinya begitu gampang menghakimi orang lain…?
Aku nggak perlu ikut menghakimi dia. Karena aku sadar, bahwa aku sendiri punya masalah… Dan aku sendiri nggak mau orang lain dengan seenaknya menghakimiku.
Ben… Siapapun dia, yang aku tahu dia ramah padaku, dan mau menerimaku di saat orang lain menjauhiku. Aku menghargainya. Terima kasih sudah menerimaku…
Perlahan jariku mulai bergerak lagi, memainkan satu lagu lagi. Buat dia, dan juga buatku sendiri…
Ben, the two of us need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own, I’ll never be alone
And you my friend will see, you’ve got a friend in me
Ben, you’re always running here and there
You feel you’re not wanted anywhere
If you ever look behind
And don’t like what you find
There’s something you should know
You’ve got a place to go
I used to say “I” and “me”
Now it’s “us”, now it’s “we”
Ben, most people would turn you away
I don’t listen to a word they say
They don’t see you as I do
I wish they would try to
I’m sure they’d think again
If they had a friend like Ben… (***)
Ben tampak merenung menatap ke luar jendela.
Dan di akhir lagu, sesaat dia menatapku…
Dan tersenyum tipis penuh arti…
;)
... .. Tak Seorang pun Sempurna .. ...
Pura Besakih benar-benar memukau. Aku berkeliling melihat-lihat komplek Pura Besakih yang merupakan salah satu icon wisata Bali ini. Sampai capek, lutut pegal semua! Saking luasnya area pura dengan undakan di sana-sini. Aku duduk istirahat menjulurkan kaki di teras salah satu komplek Pura. Megap-megap kecapekan.
Baru enak-enak istirahat, seketika perhatianku tercuri. Sekilas kulihat Erik lewat di seberang teras…
Dia jalan berduaan… sama cewek…
Ohh, aku masih ingat itu cewek yang kemarin aku lihat dari kaca bus, orang yang sama! Kayaknya mereka nggak ngeliat aku. Aku langsung bangkit lagi, sembunyi. Ngumpet sekaligus mengawasi mereka dari balik bangunan Pura.
Mereka kelihatannya… mesra…?
Kenapa perasaanku sepertinya… cemburu…?
Ahhhh… Tentu saja! Menyukainya dan memendam perasaan hampir satu tahun lamanya, dua hari cukup buat menghapus semua sisa perasaan itu?! Nggak! Nggak semudah itu…! Meski udah nggak bisa berharap apa-apa, tapi tetap masih tersisa rasa cemburu seperti ini saat ngeliat dia bergandengan mesra dengan orang lain…! Huuhhh…
Aku nggak goblok buat menebak kalau kayaknya Erik sedang ada ‘hubungan istimewa’ sama cewek itu. Bergandengan, berduaan memisah dari rombongan yang lain… Sinyalnya jelas! Entah sedang PDKT, atau… memang udah jadian…? Sejak kapan? Kaget juga rasanya, mengingat baru dua hari kemarin Erik nolak aku!
Ahh, sudahlah! Soal pacar Erik, seharusnya itu bukan urusanku lagi! Sekarang ada urusan lain yang harus segera kucari kejelasannya! Aku harus ngomong sama Erik…!
Kuperhatikan dua orang itu. Mereka sedang melihat-lihat salah satu komplek pura. Kayaknya perhatian mereka tersita sama bangunan Pura, si cewek mulai memisah dari Erik… dan kayaknya Erik nggak terlalu menyadarinya… Erik sekarang sendirian di salah satu sisi Pura…
Ini saatnya…!
“Rik…” sapaku setengah berbisik.
Erik menoleh, dia langsung kelihatan kaget dan gugup. Sorot matanya yang was-was seolah ingin menyuruhku segera pergi.
“Aku cuma mau minta waktu bentar aja…” kataku agak pelan.
“Mau apa?” Erik setengah berbisik, kelihatan nggak nyaman dan gelisah.
“Mumpung nggak ada temen-temen lain yang lihat, aku cuma mau nanya, Rik…”
Erik tengak-tengok. “Ya udah cepetan!”
“Kenapa orang-orang jadi pada tahu soal kita? Terutama… soal aku…?” tanyaku langsung to the point. Inilah urusanku sekarang!
“Soal kita apa? Kok nanya ke aku…?”
“Rik, nggak usah pura-pura lah… Pas malam kita berdua ngomong di taman itu, cuma kita yang ada di situ. Tapi kenapa kemarin orang-orang bisa pada tahu…? Malah… nggak cuma tahu… mereka juga…” aku sulit mengutarakannya di depan Erik, mengingat kejadian di ruang makan tadi malam…
Erik terlihat bingung. Tapi gelagatnya makin kelihatan kalau dia nggak bisa pura-pura lagi. Kayaknya nggak masuk akal kalau dia sampai nggak tahu…! Malah yang ada di kepalaku, kecurigaan bahwa dia memang punya peran di balik itu…
“Oke… Gini… Waktu itu kita memang berdua di taman. Kelihatannya buat kita memang gitu. Tapi… pas aku mau balik ke kamar malam itu, ada anak-anak kamar sebelah langsung nyamperin. Malam itu mereka lihat kita…!”
“Hah?!” aku kaget. Tapi menurutku, kayaknya tetap masih ada yang janggal… “Yaa… Ngeliat sih bisa aja… Tapi nggak mungkin kan mereka dengar semua yang kita omongin…?”
“Memang, tapi wajar kan mereka berprasangka macam-macam, ngeliat kita malam-malam di taman berdua…? Aku cuma ngejelasin aja, kalo aku nggak ada apa-apa sama kamu… Tapi mereka tetap aja mengolok-olok aku… Aku udah lama muak jadi sasaran kayak gitu!”
Aku menatap makin tajam dan sangsi pada Erik… Gelagatnya kelihatan bingung. Dia belum jujur sepenuhnya! Dia masih berusaha menutupi sesuatu…!
“Mereka mengolok-olok kamu…? Kamu merasa muak… dan… terus…?” aku mengurai pernyataan Erik dengan hati-hati…
Erik meremas kepalanya sambil menghela nafas lesu. “Hhhh… Aku terpaksa bilang ke mereka… Kalo aku… habis nolak kamu…”
Batinku miris seperti tersengat es yang sangat beku…
Oohhh… DAMN!!!
Ternyata benar!!! Erik yang mengatakan semua itu ke mereka!!! Ya Tuhan… Siapa orang yang sudah kucintai setengah mati ini…?!! Ternyata dia sampai hati melakukannya…!
“Rik, perlu ya kamu jelasin sampai segitunya…?!” desahku kecewa. Untuk sekali lagi, kecewaku makin besar…
“Mas, sebelum itu bukannya orang-orang udah pada ngomongin soal kamu…? Dari dulu udah kelihatan sama orang-orang kalo kamu tuh deketin aku…! Kamu boleh punya perasaan, tapi aku juga punya perasaan dan aku nggak suka terus-terusan jadi bahan ejekan…! Kalo orang neriakin kamu gay, paling nggak kamu memang seperti itu. Tapi kalo aku ikut dikira gay juga… kamu pikir aku nyaman…? Apa aku nggak berhak menjaga nama baikku sendiri?” Erik berkelit, meski dia melirihkan suaranya tapi tetap saja terasa mengecam.
Aku mengerti perasaannya… aku memahami alasannya. Dia cuma ingin cari aman. Tapi… dengan cara menjebloskanku ke tengah cemoohan…? Aku nggak tahu apa aku boleh menyalahkan dia. Aku cuma merasa kalau sakit hati ini jadi makin berat, karena pembelaan Erik buat dirinya sendiri berujung pada caci maki terhadap diriku… Padahal aku berusaha tetap percaya padanya, bahwa dia bisa jaga rahasia ini…
“Oke…” akhirnya aku harus mengucapkan itu, meski rasanya perih. “Kamu memang berhak membela diri, Rik… Aku cuma berharap, orang-orang nggak setega itu ngata-ngatain aku…”
Semua sudah jelas. Sad but true, satu lagi kenyataan pahit yang harus diterima. Dengan lesu kubalikkan badanku. Saatnya pergi. Aku tahu Erik pasti juga ingin aku lekas pergi. Dia pasti sedang ingin menikmati waktunya dengan orang lain, bukan denganku… Jelas bukan denganku. Dan dia pasti juga nggak mau diganggu.
“Mas…” Erik ternyata masih memanggilku lagi…
Aku menoleh lagi.
Erik menatapku seperti memohon sesuatu. “Aku harap kamu bisa ngerti… Nggak mungkin buatku menerima image yang sama seperti kamu. Aku sedang dekat sama seseorang…” ujarnya dengan sedikit terbata.
“Ohh… Cewek tadi ya…?” gumamku masam. Aku sudah menebak sebelumnya, ternyata benar. “Kok aku sampai nggak tahu ya kalo kalian sedang pacaran? Eh, kalian udah jadian…?”
Erik rupanya bisa sedikit tersenyum. “Baru jadian semalam… Aku udah lumayan lama mendekatinya. Jadi… aku nggak mau semuanya berantakan, karena gosip soal kita…” terangnya kelihatan gundah.
Aku tersenyum kecut. “Akhirnya… dari sekian banyak cewek yang ngefans sama kamu, kamu ambil satu juga…” balasku pelan sedikit menyindir.
Erik menggeleng. “Dia bukan fans, ato apalah istilahnya. Sebenarnya aku nggak nyari orang yang tergila-gila sama aku… Aku lebih suka sama orang yang bisa melihatku sebagai… cowok yang sewajarnya… Yang juga bisa serba salah…” ucapnya dengan tersenggal tawa masam. Sorot matanya sayu mengawang jauh, menyiratkan bagian dirinya yang lebih sederhana sebagai cowok yang bisa salah… dan juga bisa rapuh.
Perasaanku seperti tersentil. Karena akulah salah satu orang yang tergila-gila dengannya. Maksudku… pernah. Dan merenungkan hal itu, membuatku harus tersenyum di sela-sela sakit hatiku. Erik memang cowok yang diberkati dengan fisik yang nyaris sempurna, dan talenta yang mengagumkan… tapi dia tetaplah manusia biasa yang punya kelemahan juga… Bisa salah, bisa mengecewakan… Seperti halnya aku, tergila-gila dengannya mungkin adalah bagian dari kelemahanku. Lalu patah hati, itu juga tanda kelemahanku… Ahhh… Lucunya orang kalau sudah terjerat sesuatu yang bernama: cinta!
Sudahlah. Menyalahkan atau mencari pembenaran, aku rasa hanya akan menambahi kemunafikan…
“Oke… Goodluck…” ucapku lirih disertai senyum pahit.
Dan Erik termangu menatapku. Seolah ingin mengucap sesuatu, tapi dia cuma bisa terdiam. Ahh, entahlah. Saatnya aku pergi…
Kubalikkan badanku. Beranjak dari hadapan Erik. Meniti langkah menuruni undakan Pura Besakih yang agung dan anggun, bersama tumit dan lutut letihku.
Erik.
Cinta.
Secawan madu yang pahit…
Aku akan terus berjalan dengan beban-beban yang tersisa, dan belajar memaafkannya…
:cry:
... .. Kintamani yang Berkesan .. ...
Aku turun dari busku bersama rombongan piknik saat sampai di obyek wisata kedua hari ini, Kintamani. Katanya ini lokasi paling bagus buat melihat indahnya Danau Batur. Tapi dari kejauhan pastinya.
Para peserta piknik segera berhamburan ke trotoar, mencari lokasi pandang yang baik buat menyaksikan Danau Batur. Danau yang berwarna biru kehijau-hijauan itu kelihatan cukup jauh di lembah seberang sana. Anggun, indah dan teduh… Pesonanya menghiasi sisi jalan Penelokan, di Kintamani yang sejuk dan berkabut. Aku duduk di atas beton trotoar, takjub memandangi danau di kaki Gunung Batur itu.
“Sendirian aja?” seseorang menghampiri dan menyapaku.
“Hai, Ben. Biasalah. Kamu juga nggak gabung sama yang lain…?” timpalku ringan. Tadi kami turun dari bus berbarengan, aku langsung kemari sedangkan dia cari kamar kecil. Aku kira habis itu dia ingin menikmati waktunya sendiri. Ternyata dia menghampiriku kemari.
“Biasa juga sih…” sahut Ben datar. Dia ikut duduk di sampingku sambil memetik-metik gitar yang dibawanya.
“Kita rupanya nggak jauh beda ya, suka menyendiri…” gumamku seraya tertawa ringan. “Sebenarnya baik nggak sih kalo kita menyendiri?” aku memancingnya ngobrol.
“Baik ato jelek kan tergantung situasinya. Kalo kamu ngerasa nggak diterima, mending nggak usah sama mereka… Kan nggak ada gunanya, rame-rame tapi hati nggak tenang?”
“Kamu sendiri, apa ngerasa gitu juga?”
“Seringnya sih…” gumam Ben singkat.
“Tapi, bukan berarti kamu nggak butuh teman kan?” lontarku.
“Ya butuh lah. Tapi sekarang, aku ngerasa baru jadi outsider, di mana aja sama siapa aja. Asing…” ucap Ben pelan. Matanya memicing dibalik kibasan rambutnya yang dikibarkan angin.
“Kenapa kamu ngerasa begitu?”
“Kerasa aja…” jawab Ben menerawang kosong.
“Kamu pernah ngelakuin sesuatu, yang bikin kamu ngerasa orang lain jadi benci sama kamu…?” tanyaku sedikit hati-hati. Sebenarnya, aku ingin tahu ceritanya yang pernah terlibat masalah itu. Dari ucapannya sendiri, bukan mulut orang lain yang tujuannya cuma bikin gosip…
Ben nggak jawab. Jarinya masih memetik-metik gitarnya. Tapi matanya kelihatan melamun, kosong… Aku jadi kuatir, jangan-jangan pertanyaanku udah menyinggung perasaannya…?
“Aku memang pernah ngelakuin hal bodoh. Tindakan yang bakal aku benci seumur hidupku…” ucap Ben akhirnya, setengah merenung.
Aku mengangguk pelan. Aku mengerti apa yang ingin dia ungkapkan. “Menurutku, nyari kelemahan orang lain itu memang lebih mudah dibanding mengakui kelemahan sendiri. Kenapa ya, kadang banyak yang lebih suka menghakimi orang lain daripada introspeksi…? Kan nggak ada orang yang sempurna…?” gumamku ikut merenung.
Aku dan Ben diam termenung di hadapan Danau Batur yang teduh dan anggun. Kami punya sisi yang sama sebagai orang yang terjebak dalam sebuah situasi, di mana kami merasa terasingkan…
Ahhh… Saatnya mendobrak perasaan itu!
“Pinjam gitarnya dong…” cetusku.
Ben mengulurkan gitarnya padaku. Kupegang gitarnya, lalu aku mulai memetiknya. Di pinggir jalan Penelokan, di tengah sejuknya udara pegunungan yang bercampur dengan hangatnya matahari siang ini…
Sunshine on my shoulders makes me happy
Sunshine in my eyes can make me cry
Sunshine on the water looks so lovely
Sunshine almost always makes me high
If I had a tale that I could tell you
I’d tell a tale sure to make you smile
If I had a wish that I could wish for you
I’d make a wish for sunshine all the while… (*)
“Kamu juga bukannya nggak butuh teman kan…?” pertanyaan Ben terselip di akhir nyanyianku.
“Ya pasti butuh lah! Tapi yaa… kamu tahu sendiri kan, baru soal tempat duduk aja aku udah dijauhi…” jawabku sedikit mengeluh.
“Nggak semua kok, yang menolak duduk sama kamu…” sahut Ben. Dia tersenyum sedikit konyol.
Aku cuma memandanginya dengan agak bengong. Tapi lalu aku pun ikut tersenyum seraya berucap dalam hati, “Aku tahu kamu menerimaku. Aku percaya kok…”
“Sini gantian aku nyanyi…” Ben mengambil gitarnya lagi dari tanganku.
“Yang bisa dinyanyiin bareng dong!” cetusku.
“Apa?”
“Terserah. Tapi kalo lagu metal aku nggak hafal ya…!”
Ben berpikir-pikir sesaat. “Kamu sukanya klasik sih ya…?” lontarnya kemudian.
“Nggak juga. Pop juga dengerin kok!”
“Aku tahu lagu yang… kayaknya klasik juga. Aku suka, tapi liriknya nggak gitu hafal.”
“Coba…”
Ben mulai memetik gitarnya, memainkan intro. Lalu… “I… don’t have to say a word to you…” ia mengeja lirik dengan ragu-ragu…
“You seem to know whatever mood I’m going through… Feels as though I’ve known you forever…” susulku dengan senyum lebar. Aku tahu lagu itu! “You can look into my eyes and see. The way I feel and how the world is treating me, maybe I have known you forever…”
Reffrein, now…! Nyanyi bareng…!
Amigos para siempre means you’ll always be my friend
Amics per sempre means a love that cannot end
Friends for life not just a summer or a spring
Amigos para siempre…
I feel you near me even when we are apart
Just knowing you are in this world can warm my heart
Friends for life not just a summer or a spring
Amigos para siempre… (**)
“Lanjut…!” Ben mengomando.
“Aku lupa lanjutannya…!” aku garuk-garuk kepala.
“Aku juga nggak hafal!”
“Ya udah, balik reffrein lagi…!”
Reffrein pun akhirnya diulang-ulang, usil bermain modulasi sampai mulut capek! Aku dan Ben tertawa-tawa. Lepas… Beban-beban seolah… lenyap, yang ada adalah… sebuah persahabatan yang terasa mengembang!
:D
... .. Apel Untuk Monyet .. ...
Objek Wisata terakhir untuk piknik ke Bali ini, adalah Sangeh, dan bus kami baru saja tiba. Sebelum turun dari bus, lebih dulu panitia membagikan makan siang kardusan. Setelah pembagian sudah rata, barulah satu per satu peserta piknik mulai turun dari bus. Ada yang makan di halaman parkir, ada juga yang makan di dalam bus. Aku pilih makan di luar aja, sekalian hirup udara segar.
Di pinggir halaman parkir bus, aku duduk-duduk di bawah pohon sambil siap-siap membuka jatah makan siangku.
“Nggak dimakan nanti aja?” tanya Ben yang mengikutiku.
“Sekarang aja ah, aku udah lapar!” sahutku.
“Aku duluan masuk aja ya?”
“Oke. Nanti aku nyusul!”
Ben menduluiku masuk ke hutan Sangeh. Sedangkan aku mau ngisi perut dulu. Udah lapar…!
Kubuka kardus makan siangku. Wow…! Ada Sate Lilit-nya lagi! Dan juga ada…
Apel…
Hmmm… Jadi ingat ‘si itu’… Si rambut jabrik. Ahhh, biarin! Saatnya makan ya makan…! Ngapain mikir yang lain?
Kulahap makan siangku. Sampai habis. Cuma satu yang tersisa, buah apel-nya. Buat dimakan nanti aja. Sementara ini kusimpan aja dulu di kantong jaket.
Sekarang, saatnya nyusul ke hutan!
Tadi sudah dijelasin sama Mas Awan pas masih di bus, kalau masuk ke hutan Sangeh sebaiknya jangan bawa barang-barang penting yang gampang diserobot, seperti HP, kamera, kalung, dan benda-benda semacamnya. Kalau memang pingin bawa, harus dijaga ekstra ketat! Soalnya nyemot-nyemot di Sangeh terkenal jahil, suka nyerobot barang milik turis. Sebenarnya aku pingin foto-foto sama nyemot, tapi mending nggak usah daripada kameranya malah ilang diserobot! Kamera digital-ku aku tinggal di tas, di dalam bus. Aku bawa HP dan kusimpan di kantong jaketku bagian dalam, mungkin kalau situasi aman aku akan ambil foto dengan HP aja. Harus selalu waspada!
Masuk di hutan Sangeh, beneran gokil…! Langsung disamperin monyet-monyet yang berseliweran di mana-mana. Meski lucu-lucu, tapi bikin bergidik juga! Takut aja kalau-kalau ada yang agresif. Tapi overall sih, asyik lah buat tontonan!
Aku masuk agak ke dalam. Mencari Ben yang tadi jalan duluan. Sambil sesekali memperhatikan monyet-monyet yang lagi gaya. Hahaha… Menghibur! Dan makin ke dalam, monyetnya makin banyak!
Tapi… Aku rasa udah cukup jauh aku jalan, belum juga ketemu Ben…? Kuhentikan langkahku, aku duduk di sebuah bangku beton yang agak berlumut. Istirahat, siapa tahu aja nanti Ben malah lewat sini.
Hmmmhh… Kuisi nafasku dengan hawa sejuk hutan Sangeh ini. Udara hutan memang cukup lembab, rimbun dan menyegarkan…! Suara kicau burung bersahutan dengan suara monyet, dan juga gemerisik daun-daun pepohonan yang lebat membuat suasana alam ini sangat menentramkan. Apalagi di beberapa bagian hutan juga tampak berdiri pura-pura yang kelihatan sudah sangat tua. Tapi bangunan-bangunan suci itu kelihatannya makin tua makin bertambah wibawanya… Membuat suasana menjadi makin teduh dan damai.
Sambil duduk-duduk menikmati suasana hutan, aku mengamati pengunjung-pengunjung yang lewat. Sesekali bertegur sapa juga, karena banyak di antaranya adalah teman-teman satu sekolah. Meski kadang aku masih merasa ada prasangka, mengingat kejadian-kejadian semalam itu, mengingat reputasiku sekarang… Tapi aku tahu, meski konflik ini memang ada tapi aku nggak boleh membenamkan diri dalam keterasingan. Aku harus besar hati untuk memulai senyuman, dan harus rendah hati untuk membalas teman-teman yang masih mau menyapa… Itu harus menjadi bagian dari usahaku, untuk merubah sifat sombongku selama ini. Karena kesombongan hanya akan mengasingkan diri sendiri!
Ngomong-ngomong, Ben benar-benar nggak nongol batang hidungnya…?! Aku jadi manyun sendiri di sini…
Eiitttt…!!! Ada yang menyita perhatianku! Ada satu monyet yang lain dari pada yang lain…! Gimana nggak?! Monyet satu itu berkalung Flashdisk…! Busetttt…! Pasti itu Flashdisk hasil nyerobot punya orang…! Kurang ajar tuh monyet!!!
Tapi jadinya lucu juga! Hahaha… Aku pingin ambil gambar dengan HP-ku, tapi nanti kalau diserobot juga gimana…? Ada kalung Flashdisk dilehernya aja sudah menandakan kalau monyet monyong itu cukup sukses menjahili orang! Kuraba kantong jaketku bagian dalam, hmmm… HP-ku masih tersimpan dengan aman. Jangan sampai ketahuan monyet itu! Oh iya, selain HP di kantongku juga ada apel…
Apel?
Ahaaa…!!!
Aku tersenyum sendiri menatap monyet nyentrik di depanku itu. Monyet itu pun balas nyengir padaku. Dasarrr…! Mau bergaya di depanku? Awas, gantian aku kerjain kamu!
“Denis… sini Denis…” kupanggil monyet itu. Hihihi… Nggak tahu gimana caranya manggil monyet, yang terpikir malah si Denis. Mungkin karena sama-sama tengil! :lol:
“Ngukk…” monyet itu cengar-cengir lagi di tempat duduknya.
“Sini…! Mau apel kan?” aku iming-imingi si monyet dengan apelku.
Benar dugaanku! Monyet itu langsung bangkit dari duduknya, jalan mendekatiku. Tepat di depanku monyet itu mau menggapai apelku…
“Eit…! Ditukar sama Flashdisk-mu dong!” cetusku sambil menarik lagi apelku. Dan kuulurkan tanganku satunya, isyarat meminta ke monyet itu.
Wahhhh…! Ideku benar-benar jitu! Monyet itu mulai melepas Flashdisk yang dikalungkan di lehernya! Kuulurkan apelku lagi, dan monyet itu mengulurkan Flashdisknya…
“Nih, tukeran ya…” kukasihkan apelku, dan kuraih Flashdisk yang diulurkan monyet itu.
Yesss!!! Deal! Transaksi sukses…!
Ahahahaha… Asyik dapat Flashdisk! Kuamati benda digital di tanganku dengan berbinar-binar. Delapan Giga…?! Lumayan!!! Hahahaha… Segera kumasukkan Flashdisk baruku ke kantong jaket, sebelum ketahuan monyet yang lain! Sedangkan monyet yang sudah dapat apel dariku itu masih nongkrong di depanku, langsung memakan apel itu sambil cengar-cengir.
“Enak kan?” candaku ke mahluk tengil itu.
Beberapa saat lamanya aku masih menikmati waktu duduk-duduk sendiri, sambil mengamati monyet yang lagi makan apel di depanku. Lalu aku mulai bangkit berdiri. Kayaknya aku harus segera balik sekarang. Soalnya Ben juga nggak nongol-nongol, mungkin aja dia malah udah balik ke bus.
“Dahhh…” aku berpisah sama Denis, maksudku… monyet tengil itu.
Aku melangkah pelan, berjalan santai menikmati suasana hutan. Sesekali masih tertawa melihat tingkah monyet-monyet yang lucu. Sampai tanpa terasa, aku sudah di ambang pintu keluar. Aku pun meninggalkan area hutan Sangeh.
Kulihat teman-temanku sebagian masih berada di sekitar area hutan, belum kembali ke bus. Masih ada sisa waktu buat persinggahan di Sangeh ini, tapi aku bingung mau ngapain lagi. Akhirnya aku nongkrong di halaman depan loket, duduk melamun lagi sendirian.
“Bli Dimas, kok masih sendirian juga?” seseorang menyapaku dari belakang.
Aku menoleh. “Ehh, Mas Awan… Iya nih. Tadi sih ada teman, tapi udah jalan duluan…” sambutku bersahabat.
“Ohh… Gimana, kesannya selama di Bali?” Mas Awan bertanya, sambil ikut nongkrong di sebelahku.
“Yaaa… Gimana ya…? Gara-gara ada masalah kemarin, jadi sempat nggak enjoy juga sih. Tapi sekarang udah lebih baikan kok. Overall, ada kesannya…” ujarku dengan yakin.
“Ooo… Jadi gimana kesannya?”
“Hmmhhh… Semua turis akan bilang hal yang sama kayaknya. Bali memang indah. Kereeenn! Hehehe…” jawabku sambil berkelakar. “Tapi secara pribadi, aku juga dapat pelajaran yang berharga selama di sini… Yaahhh… Yang Mas Awan bilang kemarin benar. Selama ini aku cenderung menutup diri dalam berteman. Nggak mau tahu urusan orang lain. Egois. Sombong. Seolah semua bisa aku hadapi sendirian. Tapi begitu masalah besar datang… aku baru sadar kalo menanggung beban sendirian itu sangat berat. Bahkan kayaknya aku nggak akan mampu… Memang, seharusnya aku punya sahabat, dan tahu bagaimana harus bersahabat…” ucapku pelan, terpekur menerawang. Aku pun tersenyum. “Setelah aku renung-renungkan, aku juga belajar bahwa… hal yang paling membahagiakan itu sebenarnya bukan saat kecerdikan kita berhasil menutupi rahasia-rahasia kita. Tapi justru di saat kita bisa membagi rahasia itu dengan orang yang bisa menerima kita sepenuhnya, sehingga itu bukan lagi sebuah rahasia, tapi sebuah titik pandang baru untuk saling mengerti satu sama lain…”
Mas Awan mengangguk-angguk. Tersenyum hangat padaku. Meski nggak berkomentar, tapi senyumnya itu terasa melengkapi semangatku.
“Mas Awan punya Facebook…?” tanyaku kemudian.
“Ada…”
“Emailnya dong… Nanti aku di-approve ya…!” selorohku bersemangat.
Mas Awan tersenyum. Lalu dia menyebut alamat email-nya. Kucatat di memo HP-ku.
“Sipp…” gumamku berseri. Lalu aku teringat sesuatu. Sesuatu yang lagi-lagi akan terasa berat hari ini. Akhirnya aku pun mendesah dengan sedih. “Hhhh… Nggak kerasa, habis ini kita udah harus pisah ya…”
“Hahaha… Memangnya kamu mau di sini terus…?” Mas Awan mencandaiku.
“Ya nggak, waktunya aja yang rasanya terlalu cepat… Nanti kalo aku mau main ke Bali lagi, aku cari Mas Awan aja! Nanti aku ditemenin keliling Bali ya! Kalo bisa dikenalin juga sama boyfriend-nya…” aku balas bercanda.
Mas Awan tertawa lagi. “Boleh. Tapi aku juga dikenalin boyfriend-mu ya?!”
“Ya makanya itu, doain lah biar aku dapat boyfriend!” celetukku.
“Memangnya kamu suka yang gimana?” tanya Mas Awan.
Aku langsung jadi sedikit gugup. Suka cowok yang kayak gimana??? Hmmm… Baru kali ini ada orang yang menanyaiku secara langsung soal tipe boyfriend… Sangat menarik!
“Kalo secara fisik sih aku suka yang kulitnya… nggak harus putih sih, tapi yang penting cerah, bersih. Postur nggak terlalu jomplang sama aku, terus… yahh seperti biasa, cakep. Ato minimal… nyaman dilihat lah…” aku nyerocos dengan pede.
Lalu bayanganku terbentur pada sosok… Erik!
Aku segera melanjutkan ucapanku. “Tapi… mau cakep kayak gimana, kalo nggak baik hati ya jadinya cuma makan hati ya, Mas…?” timpalku sambil garuk-garuk kepala.
“Hahaha…” Mas Awan langsung tertawa lagi. “Seringnya, cinta itu memang awalnya dari mata terus baru main di hati. Tapi, semua teori soal cinta itu nggak ada yang bisa benar seratus persen lho! Soalnya teori itu dibangun dari logika, sedangkan kenyataannya… cinta itu malah sering nggak logis. Iya nggak?”
Aku tercengang. “Iya sih, Mas…” gumamku bengong.
“Makanya, nggak usah terlalu dirancang. Mengalir aja. Nikmati aja hidup yang kamu punya. Asal nggak kebablasan. Setuju?”
“Sippp…!” anggukku seraya tersenyum mantap. “Menurut Mas Awan, orang yang masih muda kayak aku gini cintanya masih cinta monyet ya…?”
Mas Awan mendelik sesaat. “Cinta monyet itu yang kayak gimana memangnya?”
“Yaa… Mungkin yang masih rapuh, masih gampang berubah… Yang seharusnya nggak perlu dirasakan terlalu berlarut-larut…?” gumamku mengawang, membayangkan dan mulai mempertanyakan perasaan yang selama ini melandaku, semua perasaan yang muncul ketika aku menyukai cowok bernama Erik itu. Yang selama ini telah membuatku terbenam dalam banyak angan-angan, dan akhirnya aku pun jatuh juga…
Mas Awan tersenyum agak geli. “Menurutku… Cinta monyet tetaplah cinta. Ibaratnya buah, katakanlah sebuah apel… meskipun masih mentah itu tetaplah sebuah apel… Memang yang matang lebih manis sih… Makanya, sebaiknya cinta itu menunjukkan sikap yang dewasa. Yang sudah matang…!”
Apel…?!! :shock:
Ahhh… Kenapa harus apel…?!!
Aku terpekur takjub, dan tersenyum sendiri.
Sembari setengah merenung aku bertanya-tanya lagi. “Aku rasa aku setuju, sebaiknya cinta itu menunjukkan sikap yang dewasa… Tapi kedewasaan itu sebuah proses kan, Mas?”
“Ya.”
“Sebelum menjadi dewasa, pasti melewati proses saat masih mentah kan?”
“Betul.”
“Jadi, apa cinta monyet itu salah…?”
“Sama sekali tidak. Karena cinta juga butuh belajar…” ujar Mas Awan dengan senyum mantap.
Aku pun tersenyum lebar. “Oke… Aku rasa aku setuju sepenuhnya! Tapi… By the way, kenapa perumpamaannya harus apel…?”
Mas Awan tampak kikuk sejenak. “Hahaha… Nggak ada maksud apa-apa sih. Ada apel di kardus makan siang tadi, jadi itu aja yang langsung terpikir. Diganti buah yang lain juga nggak apa-apa kok…” jawabnya sambil nyengir.
“Hahaha… Sebenarnya, kebetulan aku memang suka apel sih…” sahutku sedikit tersipu.
“Lagian, kenapa juga ya pakai istilah cinta monyet? Kenapa harus monyet?” Mas Awan balik bertanya-tanya dengan gurauan.
“Nggak tahu juga!” timpalku.
Aku dan Mas Awan tertawa ringan. Lepas. Hangat… Hhhhhh… Keakraban yang pasti akan kurindukan!
“Oh iya, terus habis ini berarti Mas Awan balik kemana?”
“Emhh… Aku nggak ikut ke bus lagi. Kalian kan langsung ke Gilimanuk habis ini. Aku tinggal di sini aja, nanti ada yang jemput kok…”
“Ohh… Dijemput sama bironya Mas Awan?”
“Eee… Biasanya gitu sih. Tapi hari ini kebetulan boyfriend-ku juga sedang di Badung sini, nanti dia yang jemput aku…” ujar Mas Awan disertai senyum yang menyiratkan rasa senangnya.
“Wahhhh…” aku cuma bisa bergumam kagum. Nggak bisa berkata-kata ngebayangin betapa bahagianya Mas Awan sama boyfriend-nya, bisa menjalani hidup bersama-sama seperti itu…
“Temen-temen kamu udah pada ngumpul tuh…” ujar Mas Awan.
Aku memandang ke kerumunan di sekitar bus. Ya, rombongan piknik sudah mulai berkumpul lagi. Sebentar lagi pasti berangkat, pulang ke Solo. Petualangan di Bali sudah sampai pada akhirnya…
“Ya udah, Mas… Time to say goodbye…” ucapku dengan berat hati. Kuulurkan tanganku.
Mas Awan menjabat tanganku. “Selamat jalan ya… Goodluck…!”
“Makasih banyak ya, Mas… Ini pengalaman yang luar biasa!!!” sahutku dengan mantap.
Mas Awan mengangguk seraya menepuk-nepuk bahuku. Lalu… jabatan tangan kami saling terlepas… akhirnya…
Saatnya berpisah.
Aku melangkah dengan berat. Menuju kembali ke bus. Aku memang kangen rumah, tapi rasanya juga nggak mau mengakhiri pengalaman di pulau ini, yang sudah banyak menurunkan pelajaran berharga untukku… Berat berpisah sama Mas Awan yang baik hati dan banyak nasehat itu, sahabat yang kutemukan di sini, sahabat yang juga… sama sepertiku…
Ahhh… Ada pertemuan, ada perpisahan. Aku harus kuat hati…!
Dalam langkah beratku, selintas kudengar selentingan dari teman-teman satu rombongan yang kulewati…
“Flasdisk-nya Erik diserobot monyet tadi…”
“Sukurin aja, udah dikasih tahu jangan bawa-bawa barang gituan…! Hahaha…”
Kelakar sambil lalu dari mereka itu, seketika bikin aku agak terkejut. Erik kehilangan Flashdisk? Direbut monyet…? Apa jangan-jangan Flashdisk yang sekarang aku bawa ini…?!
Langsung tergagas di kepalaku. Aku nggak langsung menuju ke busku. Tapi aku menghampiri bus rombongan kelasnya Erik…
“Eh, Erik ada di dalam nggak? Kalo ada panggilin dong…” kutanyai salah satu anak dari rombongannya Erik. Anak itu langsung masuk ke dalam bus. Dan nggak lama kemudian, Erik muncul turun dari bus.
“Ada apa?” tanya Erik dengan muka nggak asyik begitu tahu yang nyariin dia adalah aku.
“Flashdisk-mu hilang?” tanyaku.
“Iya…” jawab Erik agak malas.
“Flashdisk-nya yang ini bukan?” kutunjukkan Flashdisk yang kubawa.
Dan muka Erik langsung bengong, seperti nggak percaya dengan apa yang kutunjukkan.
“Eh… Iya… Itu punyaku…” jawab Erik berbinar-binar, tapi juga sekaligus kikuk.
“Nih…” kuulurkan Flashdisk itu.
Erik masih bengong. Dia menerima benda miliknya itu dari tanganku, dengan agak ragu-ragu. Dia mengamati benda itu lagi beberapa saat. Lalu mukanya mulai terlihat lega, tersenyum senang.
“Ya ampun… Apa jadinya kalo sampai nggak balik…? Data-data penting aku simpan di sini… materi-materi buat rekaman band-ku…” terang Erik kedengaran masih agak kikuk. “Makasih banget ya…” akhirnya dia mengucapkan itu.
Aku cuma tersenyum mengangguk. Jadi, saatnya balik ke busku. Kewajiban udah selesai.
“Mas…” Erik memanggil lagi.
Aku menoleh lagi.
“Kok kamu bisa dapat Flashdisk-ku?”
Sekarang gantian aku yang agak kikuk. “Eee… Tadi aku tukar… sama apel…”
Wajah Erik tampak tercengang. Mungkin nggak percaya. Tapi kejadiannya kan memang begitu…! Aku musti bilang gimana?
Tiba-tiba…
“Nah loh…! Dimas masih dekatin Erik aja…?!”
“Hahaha… Ya iyalah! Hombreng!”
Ada teman-teman Erik yang lewat, dan langsung melempariku dengan cemoohan…
“Hei! Jangan ngata-ngatain dong…! Hargai perasaan orang!!!” Erik langsung mendamprat teman-temannya yang lewat itu!
Dan aku langsung ternganga kaget dibuatnya…! Erik melakukannya…??? Aku benar-benar nggak nyangka dia mau membelaku…! Tapi teman-temannya tadi cuma cengengesan sambil masuk ke bus, seolah nggak menggubris sama sekali. Erik pun segera menatapku lagi… Dengan wajah yang kelihatannya… terpukul.
“Maaf, Mas… buat semuanya…” ucap Erik pelan.
“It’s OK…” ucapku lirih, meninggalkan satu senyum pahit.
Pada akhirnya, Erik menunjukkan bahwa dia masih punya perasaan. Dia membelaku, dan juga mengucap maaf… Hmmhhh… Memang nggak ada orang yang sempurna, dan kadang situasi memang nggak mudah dan semua bisa jadi serba salah. Jadi, sudahlah…
Kutinggalkan Erik. Rasa pahit masih terselip di hati, tapi pada akhirnya… aku tetap merasa lega. Jauh lebih lega…
Aku masuk ke busku. Ben sudah stand by di kursinya.
“Tadi aku tungguin di dalam sana…” ujar Ben.
“Aku juga nyariin kamu tadi! Ternyata di sana jalannya masih bercabang-cabang… Bingung jadinya!” timpalku.
“Sekarang, akhirnya pulang…” gumam Ben.
“Iya…” bisikku pelan.
Mas Awan rupanya masih nyusul lagi naik ke bus. Pasti dia mau pamitan sama rombongan yang sudah dipandunya ini…
“Selamat siang adik-adik…” sapa Mas Awan. Dan segera disambut hangat oleh seluruh penghuni bus…! Senyum hangat Tour Guide itu pun mengembang lebar. “Wahhh… Sedih, karena kita akan berpisah di sini. Terima kasih sudah berkunjung ke Bali, senang bisa memandu adik-adik semuanya. Selamat jalan. Kalau ada waktu dan biaya, jangan sungkan berkunjung lagi…” pesannya dengan sedikit berkelakar.
Anak-anak langsung menyoraki…! Beberapa menghambur dan bersalaman sebagai salam perpisahan. Sebagian anak ada yang sedih-sedihan segala, terutama cewek-cewek. Mewek. Hmmm… Kayaknya di rombongan ini banyak yang suka juga sama Tour Guide yang cakep dan ramah itu. Aku cuma tersenyum haru di tempat dudukku. Mas Awan melirik ke arahku. Dia melambai… Kubalas lambaiannya. Selamat tinggal, Mas Awan…
Lalu Mas Awan turun dari bus diiringi keruyuk manja para cewek. Kupandangi dari jendela, Mas Awan melangkah meninggalkan area parkir menuju ke seberang. Di sana rupanya sudah ada yang menantinya… seorang cowok yang sedang duduk menunggu di atas motor. Itu pasti boyfriend-nya yang sudah datang menjemput. Mas Awan menghampirinya dengan langkah ringan, disambut senyuman kekasihnya…
Lalu busku bergerak. Pelan-pelan mulai meninggalkan area parkir. Melewati tempat Mas Awan berdiri di samping boyfriend-nya. Dia melambai lagi. Kami membalasnya, melambai dari dalam bus… Aku berdiri supaya lebih jelas melihatnya. Mas Awan melihatku, bertemu pandang denganku. Dia tersenyum dan mengangguk padaku. Kulihat juga dengan jelas boyfriend-nya yang tampak setia itu. Yaa… Mereka pasti bahagia… Pada saatnya nanti, aku pun ingin seperti mereka. Ya, suatu saat… Bahagia.
Akhirnya, harus siap berpisah dengan Bali. Kami telah meninggalkan objek wisata terakhir kami…
Tapi pasti, semua pengalaman ini nggak akan selesai di sini. Semangat ini akan terus menyambut waktu-waktu yang datang ke dalam hidupku. Aku akan terus melangkah ke sana!
“Mata kamu basah?” Ben tiba-tiba melongok ke wajahku.
“Ihhh… nggak…” jawabku berkilah, tapi sambil ngusapin mataku.
“Aneh ya… Di dalam bus AC kok bisa kelilipan…?” celetuk Ben.
Huaaa…!!! Aku lagi terharu nih…!!! :cry:
JANGAN DIBECANDAIN DOONG…!!!
:cry: :cry: :cry:
-----] #berpedang [-----
Kalo udah dibaca, komentarin lah. Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini, biar blognya rame n rajin di-update.
Kritik dan saran bisa dikirim lewat
e-mail: kulipembangun@gmail.com
-----] Thank’s for reading [-----
0 komentar