"Begini, om Liong suka sama kamu", aku sempat terperanjat mendengar ucapannya, tapi aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Jika kamu mau, om Liong ngajak kamu ngamar di President Hotel, ngak begitu jauh dari sini. Tenang aja, bayaran gede!"
Title:
A Versus Story 09: Jadi Pramubirahi, Part 1
A Versus Story 10: Jadi Pramubirahi, Part 2
A Versus Story 11: Jadi Pramubirahi, Part 3
A Versus Story 09: Jadi Pramubirahi, Part 1
A Versus Story 10: Jadi Pramubirahi, Part 2
A Versus Story 11: Jadi Pramubirahi, Part 3
Uploaded by: VERSUS
Submitted: 8 Mei 2003, 13 Mei 2003
Disclaimer: Cerita milik penulis
Genre:
Rate:
Length: Shortstory
http://berpedang.blogspot.co.id/search/label/
WARNING!
Typo
menXmen
Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan di ambil dari web.
Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!
-----] @bluexavier69 [-----
KISAH:
"Celaka! Sudah jam 7.30, pasti aku terlambat lagi", pikirku. Emang benar, seharusnya jam segini aku sudah harus berada di sekolah. Tapi ku dapati diriku masih telanjang bulat di atas ranjang. Memang aku lebih suka nude kalau lagi sendirian begini. Segera ku loncat ke kamar mandi yang terletak di dalam kamarku juga. Gosok gigi lalu bilas-bilas tubuh dan muka, ngak keburu mandi berendam. Saat keluar pintu depan, ku lihat Pak Asep, sopir pribadiku, telah menghidupkan mesin Bay-Benz yang diberikan oleh orangtua khusus untukku.
"Versus, kali ini kamu sudah keterlaluan! Sudah berapa kali kamu terlambat?", omel wali kelasku di ruang guru. Wajar saja beliau marah, aku baru habis didamprat dan ditolak masuk kelas oleh guru Matematika yang aku juluki si Killer, karena kebetulan jam pertama adalah mata pelajarannya di kelasku. Aku hanya diam, sebab memang salahku. Sejak masuk semester IV di kelas II SMA, konsentrasi belajarku menurun. Mungkin juga pengaruh kepergian Raka yang pindah sekolah (baca kisah 05-07). Apalagi sekarang aku lebih sering bergaul dengan anak-anak tetanggaku ketimbang teman sekolah.
"Mau jadi apa kamu? Cari uang aja belum becus, sekolah sudah mau berantakan juga! Ini gara-gara ibumu terlalu memanjakan kamu! Apakah tidak cukup uang dan fasilitas yang kamu dapat selama ini? (dst, dst)", omel ayahku malam harinya. Rupanya dari sekolah ada yang mengirim surat ke rumah untuk memberitahukan keadaanku akhir-akhir ini. Aku protes, walau hanya dalam hati. Selama ini ayahku terlalu sibuk dengan bisnisnya, tak ada waktu untuk memberi perhatian kepadaku. Tahunya yang penting saldo rekeningku nggak pernah kosong karena selalu disetor lewat sekretarisnya. Wah, kalau dia pikir ini namanya perhatian, salah besar! Sejak TK sampai SMA tidak pernah sekalipun ayah mau mengambil raporku di sekolah, apalagi membantu mengerjakan PR, kok tiba-tiba protes soal keadaanku?
"Apa, minggat? Nggak salah dengar?", tanya Alwi keheranan ketika aku muncul di rumahnya membawa tas ransel berisi beberapa potong pakaian dan seragam sekolah serta buku-buku penting. "Jangan Ver, aku nggak mau ambil resiko. Ayahmu kan pengusaha kaya yang berpengaruh besar di sini, nanti aku dan keluarga mengalami masalah!"
"Tenang aja. Nggak ada yang tahu kalau aku ke sini. Tadi Pak Asep nggak melihatku keluar, lagipula aku pakai taksi kok. Orang-orang suruhan ayahku tidak mungkin tahu kalau aku ngumpet di sini", tanggapku dengan nada memelas.
Akhirnya Alwi menyerah juga, apalagi karena hubungan kami yang sangat dekat (baca kisahku dengan Alwi di seri 08). Orangtuanya juga sebenarnya kuatir juga. Mereka juga tahu kalau ayahku bisa melakukan apa saja. Namun aku bisa memberi jaminan sehingga mereka agak tenang. Kalau Joni, adiknya yang sebaya denganku, sih setuju-setuju aja. Tadinya dia menawarkan aku tidur di kamarnya, tapi sudah pasti aku lebih memilih untuk tidur dengan Alwi.
Aku sih tidak berniat untuk lama-lama tinggal di rumah Alwi, sebab kekuatiran mereka ada benarnya soal ayahku. Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang ialah aku bisa berduaan dengan Alwi setiap malam. Meskipun lagi minggat, tapi aku tetap berusaha pergi ke sekolah. Ayahku tidak berani menyuruh orang mencegatku di sekolahan, sebab beliau kuatir kalau aku malah kabur terus tidak mau sekolah lagi. Jadi saat ini sekolah adalah salah satu tempat yang aman untukku. Jika pulang aku selalu ikutan mobil salah seorang teman sekelasku yang selalu di parkir di dalam kompleks SMA. Kacanya pun gelap semua, jadi kalaupun ada orang suruhan ayahku yang memata-matai di luar kompleks, mereka tidak akan tahu kalau aku ada di mobil itu. Teman-teman sekolah yang lain sudah ku ajak bersekongkol untuk merahasiakan hal itu.
Aku masih sering ketemu ibuku, tapi secara diam-diam. Beliau juga takut kalau sampai ketahuan ayahku. Ibuku memang terlalu sayang kepadaku. Wajarlah, aku adalah putera satu-satunya. Tanpa sepengetahuan ayahku, beliau membelikan satu unit suite di sebuah apartemen megah. Maksudnya supaya beliau juga bisa dengan leluasa menemuiku. Aku sempat tinggal dengan Alwi hampir 6 bulan di sana. Sampai suatu saat, orang suruhan ayahku berhasil mengetahui tempat persembunyianku itu. Untungnya aku sempat kabur lagi, walau hanya dengan baju di badan.
Singkat cerita, dalam pelarian aku berkenalan dengan seorang anak buah kapal di pelabuhan. ABK itu sudah setengah baya, dan dia bekerja sebagai koki kapal. Pada saat itu aku sedang kelaparan dan dia memberiku makanan. Pakaianku sudah kumal, dan aku tidak punya uang sepeser pun sebab buku tabunganku tidak sempat ku bawa ketika kabur dari apartemen (saat itu belum ada ATM). Kartu Siswa pun ketinggalan bersama dompet, sehingga sama sekali tidak mungkin ke bank mengambil uang tanpa buku dan kartu identitas sama sekali. Pak koki itu bilng bahwa hari ini kapalnya akan bertolak ke Jakarta. Aku yang sudah kepalang tanggung, minta untuk ikutan bersamanya. Mulanya sih dia ragu sebab baru mengenalku, tapi melihat sikapku yang sepertinya anak baik-baik, sang koki pun akhirnya setuju juga.
Perjalanan ke Jakarta berlangsung 3 hari 3 malam. Selama perjalanan aku membantunya di dapur untuk menyiapkan makanan bagi para ABK. Inilah pertama kalinya aku belajar hidup keras, sebab di rumah serba dilayani oleh para pembantu, bahkan menginjak dapur pun mungkin hampir nggak pernah. Namun aku belajar banyak dari pak koki. Terkadang dia senyum sendiri melihatku tidak becus kerja, tapi dia bisa memakluminya. Setelah sandar di pelabuha Tanjung Priok, aku pamitan kepada pak koki. Dia sempat menanyakan ke mana tujuanku, aku hanya bilang tidak tahu. Ke mana saja kaki ini melangkah, itulah tujuanku. Kedekatan kami selama 3 hari membuatnya iba terhadapku. Ia memberiku beberapa pakaian bekas dan uang sebesar Rp.5000 (waktu itu jumlah demikian cukup besar). Ia sempat menawarkan aku untuk terus bekerja di kapal, tapi aku menolak halus. Aku telah siap menantang beringasnya Jakarta yang kini tepat di depan hidungku. Aku sadar bahwa kali ini bukan sedang jalan-jalan berlibur dengan pesawat dan tinggal di Hilton.
Setelah mengembara 2 hari, tibalah aku di belakang Stasiun KA Bungur, Senen. Uang Rp.5000 yang diberikan pak koki sudah ludes. Aku membongkar sisa-sisa makanan di belakang warung-warung dekat stasiun itu, barangkali masih ada yang layak masuk ke mulutku. Beberapa kali aku diusir dan ditendang. Pada saat seperti ini, aku teringat empuknya kasur dan lezatnya makanan di rumah orangtuaku. Aku berusaha untuk tidak menangis!
"Hei, bangun! Jangan tidur di situ! Inikan tempat orang lalu lalang!", terdengar sebuah suara kasar membangunkan tidurku. Setelah ku kucek mata, tampak seorang lelaki berdiri di sampingku.
"Siapa mas?", kali ini suara seorang wanita dari arah gubuk kardus munggil tak jauh dari situ. Rupanya aku tertidur di tempat gubuk-gubuk kumuh yang dihuni para pemulung dekat lintasan kereta di Bungur.
"Maaf, aku tidak tahu", jawabku. Untunglah setelah berbicara sebentar, ternyata lelaki itu tidak kasar lagi. Namanya mas Amin, sedangkan wanita tadi adalah isterinya, mbak Sumi. Mas Amin dan mbak Sumi adalah penghuni gubuk itu. Aku memperkenalkan diri dengan identitas palsu, nama Ivan, asal Sulawesi Tengah. Aku sengaja, sebab di Jakarta banyak tinggal kerabat keluargaku, dan apapun yang terjadi aku tak mau menemui mereka sama sekali, itu sama saja menyerahkan diri kepada ayahku.
Mas Amin ternyata bukan seorang pemulung, tapi pengamen. Pucuk dicinta ulam tiba. Aku memang punya bakat menyanyi sejak kecil. Mas Amin mengajakku tinggal di gubuknya. Untuk sesuap nasi, aku ikut dengannya mengamen di bis kota, berbekal sebuah gitar butut. Jalur yang paling sering kami naiki adalah bis tingkat 14A jurusan Senen - Blok M. Penghasilan kami pas-pasan untuk makan saja.
Suatu hari aku dan mas Amin seperti biasa ngamen di bis 14A. Pada saat aku mengumpulkan uang dari para penumpang, ada seorang lelaki usia 20an memberiku kartu nama. Katanya dia tertarik mendengar suaraku, dan bisa membantuku. Jika aku berminat, disuruh menghubungi ke alamat yang tertera di kartu itu. "Wahyu Alam", demikian nama yang tertera di kartu itu. Mulanya aku tak ingin menanggapi, tapi mas Amin dan isterinya mendesak aku terus. Akhirnya, berbekal pakaian baru murahan yang dibeli mas Amin di Pasar Senen, serta sedikit uang receh untuk perjalanan, aku beranikan diri mencari mas Wahyu.
"Oh, kamu?! Saya kira kamu tidak berminat. Sini masuk!", ujar mas Wahyu ketika aku diantar masuk oleh sekretarisnya di kantor yang terletak di Jl.Sudirman. "Wah, sayang sekali cowok ganteng begini pakaiannya kumal begitu. Desi!", mas Wahyu memanggil sekretarisnya, "coba lihat ukuran pakaiannya dan beli baru yang bagus di Ratu Plaza!". Sang sekretaris segera memenuhi permintaan bossnya.
Selanjutnya aku diwawancarai banyak hal. Sekali lagi, aku berbohong tentang identitasku. Dari mas Wahyu ku ketahui bahwa aku akan dijadikan penyanyi di sebuah club malam di kawasan Gajah Mada. Aku sih setuju saja, berapa pun bayarannya, pasti lebih besar daripada jadi pengamen. Aku pikir, dengan demikian aku bisa juga meneruskan sekolahku yang terputus. Apalagi jam kerjanya hanya malam hari.
Hari pertama bekerja, aku masih kaku. Club itu remang-remang dan ku lihat tamu-tamu di situ kebanyakan dari etnis Tionghoa, usia mereka rata-rata sudah di atas 40an. Aku jadi kikuk, beberapa tamu memandangi seperti mau ditelan pada saat aku menyanyi. Aku sama sekali tidak menduga apa yang akan terjadi kemudian.
"Van, tamu di meja nomor 5 minta kamu menemani. Cepat ke sana!", ujar seorang pelayan sambil menunjuk ke arah meja dimaksud. "Menemani tamu? Untuk apa?", tanyaku dalam hati, tapi tetap saja aku melangkah ke arah meja itu. Di sana duduk 2 orang pria yang sedang memandangku.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu", tanyaku.
"Oh kamu anak baru itu ya?! Kenalkan, namaku Liong, dan ini temanku San.", ujar lelaku yang kelihatan lebih tua umurnya, "silahkan duduk di sini."
"Terima kasih pak Liong."
"Ah, panggil saja Liong, nggak usah pake pak segala."
Walaupun belum tahu ujung pangkalnya, ternyata aku bisa cepat akrab bercakap-cakap dengan mereka. Baru ku tahu bahwa dia adalah seorang pengusaha kaya asal Johor Bahru, Malaysia, tapi sering sekali ke Jakarta. Temannya si San adalah pengusaha rekan bisnisnya dari Singapura, dia kurang fasih berbahasa Indonesia, jadi aku ladeni dengan bahasa Inggris. Begitu lama kami bercengkerama sambil sesekali terbahak-bahak. Aku sudah mulai mabuk oleh whiskey yang disajikan di meja.
Peristiwa selanjutnya, sungguh di luar dugaanku! Nah, pembaca, ingin bagian yang erotis, silahkan ikuti kelanjutannya di kisah 10, sebab kalau disambung di sini terlalu panjang...
-----] @bluexavier69 [-----
KISAH:
Dalam keadaan setengah mabuk ku lihat pak Liong berbisik dengan salah-seorang pelayan. Setelah itu, sang pelayan mengajakku ke belakang.
"Ivan, kamu mau dapat uang banyak, kan?! Nah, aku punya tawaran untukmu, tapi nanti aku dapat komisi 20% ya?!", ujar pelayan itu dengan nada membujuk.
"Begini, om Liong suka sama kamu", aku sempat terperanjat mendengar ucapannya, tapi aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Jika kamu mau, om Liong ngajak kamu ngamar di President Hotel, ngak begitu jauh dari sini. Tenang aja, bayaran gede!"
Aku sempat melamun sebentar. Well, aku memang bukan remaja polos yang belum mengenal seks. Tapi... menjadi pelacur? Aku tak sangka kalau permainan nasib bisa membawaku sejauh ini. Ya, tidak, ya, tidak... ya! Mengapa tidak? Toh tak ada yang mengenalku. Lagipula aku memang butuh uang untuk terus sekolah. Mungkin pertimbangan itu ku ambil di bawah pengaruh alkohol, sehingga aku tidak berpikir panjang lagi. Sudah basah, mandi aja sekalian!
Lampu di meja kamar hotel President itu menyala redup, sekedar hiasan. Dari balik jendela bisa ku lihat Bundaran HI yang mulai lengang, sebab jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Aku duduk sejenak menikmati segelas champagne sambil menunggu om Liong keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama kemudian, lelaki berperawakan tinggi besar itu keluar hanya mengenakan lilitan handuk di pinggangnya.
"Kamu bersih-bersih dulu ya...", ujarnya sambil menyerahkan selembar handuk baru. Aku segera gantian ke kamar mandi. Kepalaku agak berputar-putar juga oleh banyaknya minuman keras yang ku teguk malam itu. Aku sempat menggosok gigi untuk mengurangi bau alkohol dari mulutku. Ketika aku keluar dari kamar mandi, om Liong sudah berbaring di ranjang.
"Sini... jangan malu-malu", ajaknya. Aku gugup juga. Memang jam terbangku sudah cukup banyak dengan beberapa temanku, tapi baru sekarang aku melakukannya dengan orang yang sudah berumur, bahkan lebih cocok jadi teman ayahku. Ku telan ludah dalam-dalam, dan mendekati om Liong. Dadaku yang bidang segera menarik perhatiannya. Di baringkannya aku di sampingnya, lalu mengelus-elus lembut dadaku. Setelah itu tanpa permisi ia mulai menjilati putingku. Lidahnya lincah sekali, membuat aku cepat bereaksi. Perlahan bibirnya merayap ke atas, menuju ke leher dan daguku. Kali ini rangsangannya nikmat sekali, hingga tanganku meremas-remas sprey ranjang. Ia kemudian menyerbu bibirku yang seksi dengan belahan di tengahnya, dan mengebor rongga mulutku dengan lidahnya yang nakal.
Setelah kedua telingaku dijilat-jilat seperti lidah anjing, om Liong mulai nyosor ke bawah. Lilitan handuk dipinggangku dibukanya perlahan dengan giginya. "Adik kecil"-ku segera ngaceng mendapat sensasi seperti itu. Namun om Liong belum mau menyentuhnya. Diambilnya segelas champagne lalu menuangkan isinya ke atas kontolku. Aku menggeliat sedikit sebab rasanya dingin sekali. Barulah kemudian dia menyerbu batang lentur yang telah basah itu dengan sebuah serangan mendadak. Champagne yang terbuang disedot dan dijilatnya hingga kering. Nikmatnya bukan main!
Belum selesai sampai di situ, om Liong mengangkat pinggulku lalu mengganjal dengan bantal dari bawah. Pahaku dibukanya lebar-lebar sehingga terlihat belahan di bawah kantong zakarku. Om Liong menuangkan lagi champagne, kali ini terasa lebih dingin sebab daerah sekitar situ tentunya sangat sensitif. Ia mengejar tetesan champagne dengan mulutnya, sampai ke lubang anusku. Lidahnya bermain-main sejenak di sana hingga kedua kakiku bergetar menahan geli bercampur nikmat. Dibobolnya lubang itu dengan ujung lidahnya.
"Aaaahhh, om.... enak sekaleeeeee!", rintihku, membuatnya bertambah nafsu menyerang. Tiba-tiba dia kelihatan memajukan selangkangannya ke arah anusku. Meskipun agak mabuk, tapi aku tahu apa tujuannya. Segera ku turunkan pinggulku dari atas bantal, hingga om Liong memandang heran kepadaku.
"Maaf om, jangan sekarang. Aku belum bisa", ucapku lembut supaya dia tidak tersinggung. "Kalau om mau, saya aja yang bikin sama om."
Tampak senyum di wajahnya. Rupanya dia setuju juga. Segera kami berganti posisi. Om Liong menaikkan sendiri pinggulnya ke atas bantal. Lalu aku menggosokkan cream yang sudah disediakannya ke sekujur kontolku. (Maaf, ketika itu pemakaian kondom belum begitu populer sebab ketakutan akan bahaya HIV/Aids belum seperti sekarang ini.) Dengan satu gerakan kecil, ku masukkan ujung kontolku ke anusnya. Om Liong sepertinya ahak kesakitan, dia memberi kode agar aku menarik dulu kontolku. Setelah itu tangannya mulai membimbing kontolku ke arah anusnya lagi, kali ini lebih perlahan. Ku sodok sedikit, tarik lagi, sodok lebih dalam lagi, tarik lagi, dan seterusnya, hingga burungku benar-benar bersarang di sarang yang gelap itu.
Bagai joki memacu kuda, ku percepat gerakanku mengentot pantat om Liong yang liat itu. Nafasnya memburu, dan matanya terpejam menahan kenikmatan. Dengan gerakan cepat ia mengocok-ngocok kontolnya sendiri. Ketika gerakannya semakin cepat lagi, aku tahu ia akan segera mencapai puncak. Ku pacu lebih kuat pinggulku ketika ku lihat peju muncrat dari kontol om Liong, sampai ke dadanya. Dan hanya selang beberapa detik kemudian, aku juga memuntahkan lahar putih panas di dalam liangnya. Om Liong tersenyum puas. Ku biarkan dulu sejenak kontolku dalam anusnya, baru ku copot perlahan. Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Setelah itu gantian dengan om Liong.
"Wah, ternyata kamu hebat juga. Nggak salah si Wahyu memilih kamu.", komentarnya. Baru ku tahu ternyata sejak awal mas Wahyu sudah merencanakan hal seperti ini. Jadi, penyanyi itu hanya kedok rupanya. Aku baru sadar bahwa aku telah dijual sebagai pemuas nafsu lelaki hidung belang. Oh, gimana perasaan ayahku jika tahu aku jadi seperti ini? Tapi sudahlah... nasi sudah menjadi bubur. Aku jalani aja kehidupanku apa adanya.
Om Liong mengatakan bahwa dia harus pergi dan aku boleh nginap di kamar itu sampai pagi. Semua hal yang berkaitan dengan pembayaran kamar sudah diselesaikannya. Bahkan aku boleh mengkonsumsi semua isi minibar di kamar itu. Sebelum pergi, ia mencium pipiku, lalu meninggalkan segepok uang di atas meja. Setelah ia menghilang di balik pintu, aku menghitung uang yang ditinggalkannya. Rp.1juta dalam pecahan 10ribuan (waktu itu jumlah demikian cukup besar, sebab 1 Dollar AS baru sekitar Rp.1.800). Oh, tercapai juga keinginanku untuk sekolah lagi.
Di samping membeli keperluanku sendiri, aku juga membagi uang kepada mas Amin dan isterinya yang selama ini telah menampungku. Aku mengajak mereka untuk sewa kamar kost di sekitar Bungur situ juga. Mas Amin mengatakan bahwa aku mujur sekali, sebab seumur hidupnya belum pernah ia pegang uang sebanyak itu. Padahal dia tidak tahu siapa aku sebenarnya. Meskipun begitu, aku benar-benar bangga, setidaknya ini pertama kalinya aku mendapatkan uang dari hasil "keringat" sendiri (dalam arti sebenarnya). Hal itu lebih berharga dari jutaan uang yang diberikan ayah kepadaku setiap bulan. Padahal seharusnya aku malu sebab itu uang hasil melacur... tapi bodoh amat! Yang penting kata-kata ayahku bahwa aku belum isa mencari uang sendiri sudah bisa ku bantah.
Aku tetap menjalani kehidupan sebagai penyanyi di club malam itu, dan sekali-sekali mendapat orderan untuk melayani tamu yang rata-rata pengusaha dari luar. Dengan bantuan seorang guru yang dikenal mas Amin karena tinggal bertetangga dengan tempat kost, aku akhirnya bisa bersekolah lagi. Mau tak mau aku harus membuka nama asliku, tapi bukan data keluargaku. Aku tidak punya surat pindah atau buku rapor, jadi harus "nembak" dengan sejumlah uang. Jadi, siang hari aku jadi siswa, malam hari jadi penyanyi club dan gigolo.
Lepas dari hala-haramnya profesiku saat ini, yang penting aku sudah bisa mandiri seperti layaknya orang-orang lain yang mengadu nasib di ibukota nan kejam ini. Aku cukup puas dengan keadaanku, kecuali ada satu hal yang selalu membuat aku melamun, yakni aku merindukan ibuku. Beliau tentunya mengkuatirkan keadaanku yang sudah tanpa berita selama berbulan-bulan. Oh, semoga saja tidak terjadi sesuatu terhadapnya. Suatu hari aku memberanikan diri interlokal ke rumah. Di seberang terdengar suara ibuku. Aku terharu dan menangis, tak sanggup aku berkata apa-apa, lalu ku tutup teleponnya. Aku merasa diriku sudah terlalu kotor dan menjijikkan... aku tak pantas lagi menjadi anak ibu. "Oh ibu... maafkan aku!"
-----] @bluexavier69 [-----
KISAH:
Tak terasa sudah hampir 6 bulan berlalu sejak aku mendapatkan tamu pertamaku. Aku tetap kerja sebagai penyanyi seperti biasa di club setiap malam, sedangkan siangnya aku ke sekolah sebagai siswa. Memang kadang-kadang aku suka ngantuk di kelas, sebab pulang kerja sudah jam 2 subuh, bahkan kalau ada tamu yang booking bisa pulang pagi. Tapi itu sudah resiko profesiku. Untunglah sekolahku siang hari jam 12, jadi aku masih bisa istirahat 1-2 jam.
Di club aku suka memakai kostum yang dominan hitam, menjadi ciri khasku. Itulah sebabnya orang-orang menjuluki aku "The Black Rose". Mungkin mereka melihat persamaan ciri-ciri, indah bentuknya dan harum, tapi hati-hati bila dipegang sebab penuh duri. Bagiku saat itu Versus telah mati, yang ada hanya Ivan, sisi hidupku yang lain. Dalam seminggu sudah paling sial jika aku hanya dapat tamu 3 orang. Justru pendapatanku sebagai gigolo jauh lebih besar daripada menyanyi, tapi aku harus tetap kerja di club itu, sebab di sanalah aku mendapat objekan.
Berbagai macam tipe tamu sudah ku hadapi. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang suka menyiksa atau sebaliknya di siksa, ada yang fantasinya terlalu besar sehingga bertingkah seperti di film-film kerajaan. Namun suatu hal yang paling ku anggap mujur, meskipun begitu banyaknya tamu langgananku, tapi sampai saat ini aku tidak terkena penyakit menular atau Aids. Ada temanku yang nasibnya kurang beruntung. Dia dibawa orang ke Hong Kong, lalu suatu saat ia mengirm kabar bahwa dia tidak ingin pulang ke Indonesia lagi karena sudah HIV positif. Kasihan juga sih.
Suatu saat aku bertemu tamu yang bernama om Robin, seorang Cina Singapura. Dia punya banyak bisnis di Indonesia. Saat pertama kali om Robin melihat aku menyanyi di club, ia langsung tertarik kepadaku. Malam minggu aku dibawa om Robin ke Puncak, diantar oleh sopir pribadinya. Selama perjalanan, om Robin banyak bercerita. Vila yang kami tuju itu memang miliknya. Hanya saja memakai nama isterinya yang orang Sunda, sebab dia orang asing. Demikian pula seluruh perusahannya di Indonesia. Sepertinya mereka hanya kawin kotrak. Om Robin orang asing, kaya dan gay. Isterinya janda beranak satu dan tinggal di Bandung. Dengan menggunakan nama isterinya, urusan perusahannya jadi lancar dan tidak bayar pajak investasi asing. Di lain pihak, tentunya sang isteri menikmati kekayaan sebagai keuntungannya, tanpa perlu repot-repot melayani suami yang gay.
Kami tiba di vila om Robin tengah malam. Om Robin langsung mengajak aku ke kamarnya. Aku melayani on Robin seperti halnya tamu lainnya, mulai dari oral sex sampai ke sodomi. Tapi akulah yang menyodomi, bukan sebaliknya, sebab aku memang tidak mau disodomi tamu dan hal itu sudah kusebutkan sebelum booking. Om Robin mengajak aku bermesraan di kamar mandi sambil berendam. Setelah selesai, kami mandi lalu tidur berdua di kamarnya, aku langsung terlelap.
"Bangun! Apa-apaan ini!", terdengar teriakan seorang wanita mengagetkan tidurku. Mataku sempat silau oleh terpaan sinar mentari yang masuk dari ventilasi. Di depan mataku sedang berdiri seorang wanita setengah baya dengan tatapan tajam sambil ngacak pinggang. Om Robin yang juga turut terbangun baru saja hendak berkata sesuatu kepada wanita itu, tapi...
"Shut up! Pake dulu baju kamu!", bentak wanita itu kepadanya. Baru aku sadar bahwa saat itu aku juga tanpa sehelai benang pun. Ku tarik selimut menutupi tubuhku, tapi ditahan oleh wanita itu. Dia lalu membelakakkan mata ke sekujur tubuhku, membuat aku merasa risih. Setelah berpakaian rapi, aku diminta datang ke ruang keluarga. Di sana, tante Elvi, demikian nama wanita itu yang ternyata adalah isteri om Robin dari Bandung, telah menungguku.
"Hei, kamu pelacur homo dari mana? Siapa namamu?" tanyanya agak kasar. Aku menjelaskan semuanya kepada tante Elvi, tentunya dengan sedikit kebohongan di sana sini untuk sedikit membela om Robin. Setelah lama bercakap, memang sikap tante Elvi jadi lebih lunak. Aku jadi terperanjat mendengar cara penyelesaian masalah yang tante Elvi tawarkan. Sebenarnya dia akan mengadukanku ke polisi sebab telah berbuat mesum dengan suaminya, tapi dia akan mengurungkan rencananya jika aku mau bersedia meladeninya juga. Oh my goodness! What can I do? Aku berkilah bahwa aku ngak bisa terangsang dengan wanita, tapi dia bilang ada obat yang bisa ku minum sebelum melayaninya sehingga burungku bisa berdiri. Saat itu aku ketakutan sekali. Polisi? Jika hal itu terjadi, aku bisa-bisa masuk koran, lalu hal itu akan diketahui oleh keluargaku! Mau ditaruh di mana mukaku ini? Tidak! Seberat apapun aku harus memenuhi permintaannya, sebab hanya itulah cara satu-satunya aku terbebas dari ancamannya.
Sejak itu aku jadi pemuas nafsu sepasang suami-isteri. Terkadang sendiri-sendiri, terkadang pula main bertiga sekalian di atas ranjang. Lebih sial lagi, aku dipaksa harus tinggal di vila itu, tentu setelah aku mengambil barang-barangku di tempat kost, diawasi langsung oleh tante Elvi. Kepada mas Amin (baca kisah sebelumnya) aku disuruh bilang bahwa tante Elvi adalah bibiku yang sudah berhasil menemukanku. Memang mas Amin sempat heran juga sebab semuanya begitu tiba-tiba, tapi aku sempat meninggalkan uang yang cukup banyak untuk bayar kost mas Amin dan isterinya serta keperluan mereka sehari-hari. Dan itu adalah bagian dari perjanjian antara aku dengan tante Elvi supaya aku mau pindah ke vila. Itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan mas Amin dan isterinya, walau uang yang ku tinggalkan cukup untuk biaya mereka selama berbulan-bulan. Otomatis aku tidak bisa lagi nyanyi di club, dan sekolahku yang sudah berjalan baik selama 1 semester harus terhenti juga.
Hidupku di vila memang cukup nyaman, meski sebenarnya vila itu kalah besar dengan rumah orangtuaku. Tante Elvi tidak kalah uniknya dengan suaminya. Jika sedang melayani nafsu bejatnya, aku sering ditunggangi seperti kuda lalu pantatku di pukul-pukul. Mengenaskan juga nasibku, tapi sebagai imbalan aku diberi banyak fasilitas. Bahkan ada mobil dan sopir pribadi yang khusus mengantarku ke mana-mana. Di samping itu ada juga credit card platinum yang bisa ku belanjakan sesukaku. Hanya saja sopir pribadi itu bertugas merangkap pengawal. Aku boleh ke mana saja, termasuk di Jakarta, tapi dia tetap harus berada dekat di sampingku. Dan aku dilarang berkunjung ke club atau ke bekas tempat kostku di Bungur.
Hampir 2 bulan berlalu, aku mulai muak dengan keadaan di situ. Aku selalu mencari cara untuk lolos, tapi tidak pernah berhasil. Sopir merangkap pengawal pribadi itu terlalu lihai. Sampai suatu saat aku berhasil menyusun strategi. Ketika berbelanja ke salah satu butik langgananku di Ratu Plaza, aku sempat meninggalkan sepucuk surat secara diam-diam kepada pelayan di situ yang sudah mengenalku. Kebetulan itu adalah juga butik langganan Doni, teman penyanyiku di club lain. Surat itu ditujukan untuknya. Aku minta kepada Doni untuk mengatur sebuah sandiwara. Dan ternyata berhasil!
Suatu sore seperti yang sudah diatur, aku dan tante Elvi sedang duduk minum teh menikmati pemandangan di depan vila. Doni datang dengan taxi sesuai rencanaku, dengan gaya yang dibuat serius. Ah, anak ini emang pantasnya jadi aktor film, pikirku. Dia memperkenalkan diri kepada tante Elvi sebagai karyawan di club tempat aku kerja. Katanya mereka menerima kabar dari Palu bahwa kakekku sakit keras dan sedang sekarat. Aku memang jauh-jauh hari sudah berbohong kepada tante Elvi bahwa asalku dari kota Palu, dan sejak kecil aku dipelihara oleh kakekku, orang yang paling aku sayangi dalam hidupku. Demi mendukung drama itu, aku langsung menangis tersedu-sedu di depan tante Elvi. Ia merasa iba juga melihatku. Sepertinya bisa berhasil nih, pikirku. Dan memang, rupanya tante Elvi sangat tersentuh juga.
"Tante, aku mohon, tante boleh jadikan aku budak tante seumur hidup sekalipun, tapi ijinkan aku menemui kakekku. Aku akan menyesal sampai kapanpun jika kakek menutup mata tanpa aku di sisinya. Selama ini aku sudah menunjukkan kesetiaan kepada tante. Setelah urusan semua selesai, aku akan balik ke tante lagi, percayalah!", aku memohon kepadanya sambil terus menangis pilu. Sandiwara itu berlangsung begitu sempurna dan spontan, sehingga tante Elvi bisa terkecoh juga. Akhirnya dia mengijinkanku pergi, tapi tetap saja ada syaratnya. Aku harus pergi bersama sang pengawal sampai ke Palu dengan pesawat terbang, setelah itu kembali lagi ke Jakarta barengan. Jika aku menolak balik, pengawal itu disuruh untuk membeberkan rahasiaku kepada keluargaku. Pintar juga! Tapi aku lebih pintar lagi. Palu bukan kota tempat keluargaku berada, tapi aku punya banyak teman di sana.
Pada hari keberangkatan, tante Elvi mengantar aku sampai ke airport. Setelah itu ia balik menyetir sendiri, sebab pengawal yang ku maksud adalah sopir pribadi yang selama ini ditugaskan mengawasiku. Perjalan dari Jakarta ke Palu dengan pesawat domestik cukup mendebarkan. Sepanjang jalan aku terus memutar otak agar rencanaku bisa berhasil. Semuanya sudah ku pikirkan dan ku rencanakan matang-matang. Kesalahan sekecil apapun akan membahayakan diriku, sebab aku tahu sang pengawal membawa sepucuk pistol kecil. Begitu tiba di Bandara Mutiara Palu, aku jadi tegang. Inilah kuncinya aku bisa lolos. Aku mengatakan kepada sang pengawal bahwa aku kebelet ingin ke toilet. Aku sudah hafal sebelumnya bahwa toilet pria di bandara ketika itu ada 2 pintu, yakni depan untuk tamu masuk dan sebuah pintu kecil di belakang yang menuju ke ruang crew. Biasanya tertutup tapi tidak dikunci. Aku tahu hal itu sebab aku sering sekali tiba dan berangkat di bandara itu kalau lagi jalan-jalan. Tadinya sempat aku kuatir jika ternyata toilet itu sudah dipugar atau pintu belakangnya dalam keadaan terkunci, mati aku! Seluruh rencanaku yang sudah disusun rapi dari puncak bisa berantakan (dan memang saat kisah ini ditulis, keadaan di sana sudah dipugar).
Ku tutup pintu dari depan, sementara sang pengawal menunggu di luar pintu. Untunglah dia ceroboh tidak memeriksa dulu keadaan di situ. Tapi memang agak aneh sih dilihat orang jika hal itu dia lakukan. Ku buka keran supaya terdengar bunyi berisik air. Aku jalan ke arah belakang, mendekati pintu kecil itu. Jantungku berdebar kencang ketika tanganku memegang handle pintu itu. Ternyata bisa dibuka! Wah, senangnya bukan main! Segera ku tutup lagi lalu berlari ke ruang crew di belakangnya. Aku tidak peduli lagi ketika ada seseorang di sana yang ngomel bahwa itu bukan tempat untuk umum. Aku berlari keluar dan... bebas!!!
Singkat cerita, aku telah berhasil kembali ke kotaku setelah berangkat dari Palu atas pertolongan seorang temanku di sana. Aku terkejut ketika memanggil pembantu di depan rumahku, ternyata yang muncul ayahku! Padahal itu siang hari dan biasanya orangtuaku tidak di rumah. Aku baru saja mau berlari balik karena takut kepada ayahku, tapi di luar dugaanku, beliau segera mendekati dan merangkulku erat-erat. Aku tak kuasa menahan airmataku. Tak ada suara yang keluar dari mulut kami masing-masing.
Sorenya ketika ibuku pulang, suasana haru terjadi lagi. Beliau rupanya sudah sempat sakit-sakitan selama tidak ada kabar dariku. Aku merasa sangat bersalah. Aku berjanji kepada ibuku tidak akan bertindak seperti itu lagi. Kini aku telah kembali ke rumahku. Lembaran kisah yang hitam itu aku kubur dalam-dalam, sambil tetap berharap tak ada orang di sana yang tahu keberadaanku selama ini. Aku sekolah lagi, walau harus mengulang dari awal kelas. Jelas aku pindah sekolah lain, dan secara keseluruhan masa SMA harus ku tempuh dalam 4 tahun. Yang jelas, aku yang dulu pergi dari rumah, tidak sama lagi dengan aku yang kembali!
-----] #berpedang [-----
Uploaded Contact: versusierra@gmail.com
Source: menonthenet.com
Kalo udah dibaca, komentarin lah. Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini, biar blognya rame n rajin di-update.
-----] Thank’s for reading [-----
0 komentar