Pembalasan Markonah [3]

Monday, July 30, 2018







. . .



Title: Pembalasan Markonah 3
Uploaded by: Tommylovezacky
Submitted: 6 Februari 2012
Disclaimer: Cerita milik penulis
Rate: M
Length: Chaptered


WARNING!

Typo

menXmen

Cover terinspirasi dari @Princess_Seruni.


Cerita ini rated M. Buat adek-adek dibawah umur gk diperkenankan buat baca. Kalo maksa ya gk papa.. wkwk
Yang baik-baik dicerna, yang buruk dijadiin pembelajaran.

Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!

-----] @bluexavier69 [-----




“Kamu pasti anggota baru di sini?” terka Tuanku Datuk Syah Alam.

“… “

“Kenapa kamu bengong?”

“Onah, ayo jawab pertanyaan Tuanku Datuk Syah Alam! Jangan diam saje!” bisik Cik Tinah. Tak henti-hentinya pamongku ini mengguncang bahuku.

Tuanku Datuk Syah Alam menggenggam tanganku dan mengelus punggung tanganku yang teramat halus. Marpunah bilang halusnya tanganku bak pualam nan mengkilap. Lalu Tuanku Datuk Syah Alam mencium tanganku.

“Siapa namamu cantik?”

Goda sang Bandot Tua

“….”

Aku masih terdiam, di benakku terus berpikir apakah aku harus melayani kakek tua bangka ini? Oh, tidak…
Bagaimana rasanya nanti bila aku harus melayaninya? Tak terbayang olehku bila nanti harus menjilati batang kemaluan dan meminum pejuh si kakek tua ini, seperti yang Mas Dony perintahkan saat aku harus melayani nafsunya tadi siang. Hiii.. Aku bergidik, bukan karena ngeri! Melainkan karena jijik! Semakin tua pasti rasanya semakin alot, dan rasa pejuhnya pun pasti semakin asin pula. Bukankah ada pepatah yang mengatakan “Orang tua sudah banyak makan garam!”


Kutarik jemari tanganku, Tuanku Datuk Syah Alam telah mengecup punggung tanganku.

“Ada apa, cantik? Ko malu-malu gitu?” Kakek centil ini menyentuh daguku dengan telunjuk dan jempolnya. Seakan ia berusaha mengecup bibirku yang merah merekah.

Aku mencampakkan diri dengan membuang muka dari pandangan matanya. Lalu ia terkejut melihat reaksi ku ini.
“Maaf tuan, dia terbilang baru beberape jam di sini. Jadi die masih awam. Namanye Onah Markonah, tuan!”
Cik Tinah menyela setelah menangkap sebuah bahasa isyarat yang diberikan Mas Dony untuk mengantarku ke kamar tidurku bersama Tuanku Datuk Syah Alam. Lantas tak perlu menunggu waktu lama Marfuah, Maradonah, dan Marsemah membantu Cik Tinah menggiringku menuju ruang pembaringan.
Cklik!
Terdengar suara pintu dikunci dari luar. Sekarang hanya ada kami berdua: aku dan si kakek tua bangka yang ada di hadapanku.
“Oh, ambo suko! Markonah rancak jo elok bana!”
Terdengar kata-kata Tuanku Datuk Syah Alam begitu nafsu padaku. Dari bahasa yang diucapkan olehnya sedikit kuketahui kalau ia bukan orang pribumi Kalimantan. Dulu aku sering diajak Mas Dony jalan-jalan dan makan di rumah makan Padang. Kalimat yang diucapkan Tuanku Datuk Syah Alam sering kudengar dari pemilik rumah makan Padang yang tinggal tak jauh dari panti asuhan kami. Ya, sepertinya kakek tua ini orang Padang.
Tanpa kusadari ternyata kakek tua centil ini sudah menanggalkan pakaian atasannya. Ia bertelanjang dada di hadapanku.
“Ayo, Onah sayang, merapatlah kemari! Kamu mau berapa sayang, pasti abang kasih!”
What??! Abang??! Dia menyebut dirinya dengan panggilan abang?! Nggak salah tuh?! Huueeek… Mau muntah rasanya. Tubuh kakek ini sudah kering kerontang, nyaris tinggal tulang-belulang.
Masih penuh percaya diri si bandot tua bergeser maju mendekatiku. Kedua tangannya bergerak melepas ikat pinggang serta membuka resleting celananya. Celaka dua belas! Bagaimana ini?! Aku tak mau menjadi santapan makan malam si juragan sawit yang sudah tua renta ini. Pandanganku menyapu seluruh ruangan. Kuberusaha mencari celah, berharap dapat meloloskan diri. Namun percuma, tiada jalan sekecil apa pun itu yang dapat kubuka untuk melarikan diri. Dan pada akhirnya..
“Jangan Kek! Jangan lakukan ini pada Onah! Onah memang suka pada laki-laki, tapi cinta Onah hanya untuk Mas Dony!” aku bersimpuh di hadapan Tuanku Datuk Syah Alam,
“Kurangajar wa’ ang kasiko indak tahu diraso!”
Tuanku Datuk Syah Alam menyeretku ke peraduan. Ditamparnya aku berkali-kali. Aku meronta-ronta tubuhku menggelepar. Bagaikan ikan yang baru saja berhasil ditangkap pemancing lalu menggelepar di tanah.
Tubuhku begitu lemah tak berdaya dan tak kuasa untuk melawan. Dengan sangat terpaksa aku hanya bisa pasrah, rudal si kakek tua kini telah meluncur ke lubang anusku. Bergerak maju dan mundur dengan tempo irama yang sangat cepat. Tragedi kembali terulang, aku terus berteriak kesakitan tanpa ada yang mau menyelamatkanku.
***
“Duh, kasintrong si Markonah! Doi pastong kesaktian dirojong rudal tu cukong ne!”
Diam-diam Mardianah menguping di balik pintu kamarku.
“Alamak, biarkan sajadah! Sudah nasi goreng ne, kitong jadi paicong kaya gene!” timpal Marfuah
“Apa tu paicong?!” tanya Marsemah yang turut menguping
“Perempuan laki bencong!” jawab Mardianah dan Marfuah serempak
***
“Aaaaawww….”
Aku berteriak karena sakit,
Tuanku Datuk Syah Alam menyulutkan rokok yang baru saja dihisapnya tepat ke puting susuku. Hingga menyebabkan luka lecet pada puting susu sebelah kiri. Rasanya benar-benar panas. Kulitku melepuh terbakar bara rokok.
Sementara Tuanku Datuk Syah Alam memandangku dengan roman wajah penuh kebencian, tak sekalipun aku ada tersenyum kepadanya. Aku sungguh takut padanya. Semua yang dilakukan olehnya padaku tak jauh berbeda dengan sikap Mas Dony. Penuh dengan penyiksaan! Apakah semua lelaki memperlakukan waria sama? Atau apakah Tuanku Datuk Syah Alam melakukan kekerasan fisik ini padaku karena aku tak bersedia melayaninya? Aku tak tahu.. Aku gamang..
“Ciuh!”
Tuanku Datuk Syah Alam meludahi wajahku dengan air liurnya. Tangan kanannya menjambak rambutku dengan kasar.
“Waang itu lonte disiko! Mesti mau malayani ambo sabagai tamu di rumoh ni!”
Diputar-putarnya kepalaku masih dalam jambakan tangannya. Aku berusaha berontak. Namun tubuhku terlalu lemah untuk melawannya.
“Indaklah ado cinto di tampek macam ni!”
“Sakit Kek! Tolong lepaskan saya! Saya tak mengerti maksud ucapan Kakek!” aku menangis meraung-raung memohon ampun
Kenapa kakek tua ini suka bercinta dengan waria? Di usia senja seperti ini seharusnya ia tengah bahagia bersama anak dan cucunya. Tidakkah ia seorang yang kaya raya? Sungguh membuatku heran dan galau.
Akhirnya Tuanku Datuk Syah Alam melepaskan tangannya dari rambutku. Sambil mengenakan kembali pakaiannya ia terus ngedumel tanpa henti yang sama sekali tidak kumengerti. Hanya satu ucapan terakhirnya yang terdengar jelas di telingaku:
“PANTEKLAH GADANG!”
Dan aku sangat mengerti arti kalimat tersebut.
Setelah beberapa menit Tuanku Datuk Syah Alam keluar meninggalkan kamarku, Marfuah dan Marjombah datang menghampiriku.
“Onah, kamu tak apong-apong ne?” Marfuah membelai rambutku
Aku menggeleng. Ada kelembutan kurasakan belaian tangan Marfuah di kepalaku.
“Duh, Onah, jangan sedong! Hapuslah air matong mu! Eike jadi ikutan sedong bow!” Marjombah menimpali
Tiba-tiba Mas Dony masuk dan menyeretku ke luar kamar. Ditariknya tanganku dengan paksa.
“Ayo Onah, ke sini kamu!” hardik Mas Dony
“Jangan bow! Jangan Mas Dony cucok! Kasintrong si Markonah disiksong sama tu cukong!” Marfuah membelaku
Amarah Mas Dony tak terkendali. Ia bahkan mendorong Marfuah hingga jatuh tersungkur.
“Adowh… Sakit ne!” histeris Marfuah
Marjombah membantunya untuk bangkit.
Mas Dony membawaku ke sebuah ruangan. Sepertinya semacam ruang penyiksaan. Dia lalu menghempaskan tubuhku ke lantai. Teramat kasar! Aku terjatuh membentur lantai. Dia lalu mengeluarkan sebuah gunting dari dalam lemari. Lantas dengan gunting itu ia menggunduli kepalaku.
“Ampun mas! Tolong hentikan!” lagi-lagi aku menangis
“Ini sebagai hukuman untuk kamu karena tidak mau melayani Tuanku Datuk Syah Alam!”
Buk!
Mas Dony mendaratkan sebuah bogem mentah di perutku. Aku meringis. Perutku sangat sakit dan perih. Sejak tiba di desa Air Upas ini aku belum diberi makan oleh Mas Dony.
“Dan ini sebagai peringatan supaya kamu mau melayani semua tamu kita dengan baik!”
Sekali lagi Mas Dony menghantam tubuhku dengan sebuah pukulan tepat mengenai dadaku. Persis di puting susuku yang terluka karena dibakar oleh Tuanku Datuk Syah Alam. Rasanya nyawaku seperti baterai hp yang tinggal satu balok. Mungkin tak lama lagi aku akan mati.
“Sesungguhnya aku hanya mencintaimu, Mas! Dan aku mau bercinta hanya dengan Mas Dony seorang!” rintihku di sela isak tangisku
Mas Dony menatapku terpaku. Sejenak ia terdiam entah iba, atau benci aku tak tahu!
Aneh! Kemudian Mas Dony tertawa terkekeh. Seakan ada hal lucu yang patut ditertawakan. Kemudian pula pandangan matanya berubah menyeringai.
“Cinta! Apa itu cinta? Markonah mau ya mengajari aku cinta?! Dengar ya, kita di sini tidak butuh yang namanya cinta! Yang kita perlukan adalah seks!”
Derai tawa Mas Dony semakin lebar..
Tangannya yang berotot kembali meraih tanganku. Kali ini tanganku diikat pada dua utas tambang. Kembali ia melepaskan ikat pinggang dari celananya hendak mencambuki tubuhku seperti yang dilakukannya tadi siang.
Ctarr!
Suara ikat pinggang disabetkan ke udara.
“Hentikan!” terdengar suara Cik Tinah di ambang pintu
“Hentikan Bang Dony! Onah kan masih baru di sini, die belum mengerti akan tugasnye! Biar saye nak mengajarinye dulu, sampai die bise melayani tetamu kite di rumah ni! Kiranye Bang Dony mahu mengerti!”
Cik Tinah berusaha melepaskan ikatan pada tanganku.
“Tidak usah! Lebih baik kita tinggalkan dia di sini!” Mas Dony menarik tangan Cik Tinah ke luar meninggalkanku di ruang penyiksaan
Cklik!
Pintu pun dikunci dari luar.
Tubuhku merasa lelah, sakit, panas, dan perih. Mungkin kedua mataku sudah bengkak karena sehari ini tiada henti menangis.
“Tuhan, dosa apa hamba sehingga harus menderita seperti ini? Karma apa atas kesalahan orang tua hamba sehingga hamba yang harus menanggung siksa? Ibu di manakah dirimu? Aku kangen ibu…ibu kumohon lepaskan aku bu…” rintihku
Tanpa kusadari mataku akhirnya terpejam. Penglihatanku berubah menjadi gelap. Beberapa detik kemudian mulai terlihat secercah titik cahaya. Kulihat di sekitarku penuh dengan berbagai macam bunga berwarna-warni harum dan indah. Di kejauhan lamat-lamat ku lihat seorang wanita berambut panjang terurai tengah duduk di sebuah ayunan. Wanita itu menoleh padaku menyunggingkan sebuah senyuman.
“Markoni kemari nak! Sini, ibu sudah pulang! Kamu senang kan?”
“Ibu… Tunggu aku! Aku rindu ibu! Aku sayang pada ibu, jangan tinggalkan aku lagi ya bu!” rengekku
Ibu hanya tersenyum membalikan badan.
“Ibu.. Ibu.. Ibu..” panggilku
Tapi ibu tak menggubris
***
“Onah.. Onah.. Bangun nak!” Cik Tinah menepuk-nepuk pundakku
Aku membuka kedua mataku perlahan. Astaga, rupanya aku bermimpi.
“Saye datang bawakan kau makanan! Sudah tentu kau lapar kan nak?”
Disuapinya mulutku penuh kasih.
Aku menggeleng lemah
“Aku rindu ibu! Delapan tahun aku tak bertemu ibu! Aku ingin bertemu ibuku! Katakan Cik Tinah apa salahku sehingga aku harus mengalami hal seperti ini?”
Kutatap dinding dimana tubuhku dirapatkan karena kedua tanganku yang diikat melekat pada dinding.
Cik Tinah menatapku dengan wajah sendu. Ia pun menangis merengkuh tubuhku yang tak berdaya.
***
“Duh, Markonah nan malang kutung bow! Eike kasintrong sama doski! Hikz.. Jadi pengen nangka eh, maksud akikah nangis bow!” Marjombah menitikkan air mata
“Markonah yang tabret ya ne! Kitong semua sampret kaya you.. Dulu juga kitong sukong disiksong sampret Bang Dony bow!” imbuh Marfuah
“Nasi goreng kitong sampret! Bagindang susah e…” Marsemah turut menimpali
“….” Aku terdiam
Lidahku kelu untuk berkata-kata.
Berkat bujuk rayu para waria ini akhirnya aku dikeluarkan oleh Mas Dony dari ruang penyiksaan. Dari cerita mereka pula aku mulai tahu nama ruangan tersebut adalah KAMAR PENIS (Kamar Penyiksaan dan Nista). Pernah dulu katanya setelah Maradonah berhasil ditangkap para bodyguard Mas Dony karena mencoba meloloskan diri lalu Maradonah digiring masuk kamar penis. Lantas punggung Maradonah disetrika oleh Mas Dony hingga melepuh besar. Tak cukup sampai disitu, Maradonah pun disetrum di kursi listrik.
Maradonah membuka resleting gaun yang dipakainya dan memamerkan luka bakar bekas penyiksaan Mas Dony pada punggungnya.
“Hiii…” aku bergidik ngeri melihatnya
Maradonah hanya tersenyum kecut atas responku padanya.
***
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa sudah 3 bulan aku tinggal di kompleks rumah bordil milik Mas Dony ini. Sejak kejadian tempo hari aku mulai menjadi penurut pada perintah Mas Dony maupun Cik Tinah. Aku tak pernah sekalipun berpikir mencoba untuk kabur. Bahkan aku berhasil meraih kembali rasa kasih Mas Dony yang dulu masih aku rasakan saat masih tinggal di panti asuhan. Terkadang aku bisa kembali merasakan hangatnya tubuh Mas Dony tanpa sedikitpun penyiksaan. Ini semua berkat perubahanku yang menjadi penurut atas semua keinginannya. Aku benar-benar bahagia apabila sedang bercinta dengan Mas Dony. Perubahanku yang lainnya adalah…
“Onah, ini uang kamu! Thanks ya, sudah bikin abang puas malam ini! Hati-hati wig kamu lepas tuh!” Bang Herman salah satu pelangganku mencium keningku
“Iih, abang belum puasong ne…” kucium pipi Bang Herman sebagai ucapan terima kasih karena telah memberiku uang lebih banyak dari biasanya
Ya! Mungkin karena pergaulan, bahasaku menjadi terbiasa menggunakan bahasa waria. Penampilanku sekarang terdapat rambut palsu yang selalu melekat di kepalaku setelah Mas Dony membotakiku di kamar penis 3 bulan yang lalu itu. Anehnya aku sekarang merasa sangat nyaman memakai semua aksesori wanita itu. Dan tak ada rasa untuk melepasnya lagi. Walau terkadang masih terdapat sebersit rasa ingin tetap menjadi lelaki gemulai seperti dulu dan bercinta dengan Mas Dony sebagai sesama gay!
“Onah, you ambil alih kemudong langganan eike yuah! Cukong dudukong di serambi sindang!” Marsemah menyuruhku untuk mengambil alih melayani pelanggan pribadinya
Sebab entah mengapa hari ini Marsemah mendadak sakit perut. Sudah hampir sepuluh kali dalam satu jam dia keluar masuk toilet hanya untuk buang air besar.
“Hahaha.. Jangan-jangan you mau melalaikan eh saltrong bow maksud akikah you mau melahirkan!” Godaku pada Marsemah
“Eh, sialantrong lu Markonah, berandong lah lu nyumpretin eike! Kesambret kontol gede baru nyaho lu!” rutuk Marsemah sambil menahan perutnya yang sakit menuju wc
Aku dan teman-teman tertawa cekikikan. Kuhampiri tamu yang dititipkan Marsemah padaku tadi. Selang tinggal beberapa meter, aku terkesima menatap wajah sang tamu. Aku berdiri mematung di hadapan sang tamu. Dia ternyata..
Tidak mungkin! Kali ini aku tidak salah lagi, pria yang sekarang ada di hadapanku tak lain adalah Pak Konisius Virgo, ayah kandungku sendiri. Aku tak akan mungkin melupakannya begitu saja wajah orang yang telah menelantarkanku dan menganggapku sebagai aib keluarga, bahkan menuduh ibuku bahwa aku adalah anak hasil perselingkuhan ibuku dengan lelaki lain. Ternyata kini manusia tak bertanggung jawab itu menampilkan mukanya ke permukaan.
“Kamu pasti Markonah ya? Ratu bintang di rumah ini?” tebak ayah
Ee… Apa? Ayah sama sekali tak mengenali aku? Batinku bergemuruh. Ahaa…. Aku jadi punya ide! Aku ingin mengorek secuil informasi tentang masa lalu keluargaku. Tiba-tiba timbul begitu saja di benakku pikiran untuk mengerjainya. Toh, ayah sama sekali tak menyadari kalau aku ini sebenarnya Markoni anak yang telah ditelantarkannya selama ini.
“Hai Om! Iya, nama eike Onah Markonah! Maaf ya Om, Marsemah hari ini sedang sakit bow! Doi menderitong penyakit bulekimia! Gara-gara dientot sama bule kemarin malam bow!” karangku asal
Ayah mengernyitkan kening
“Ah, sutralah! Tak usah dipiko-piko bow!” Aku menghamburkan diri ke pelukan ayah
Dalam hati sebenarnya aku merasa sedih, selama 8 tahun lamanya aku sangat merindukan belai kasih seorang ayah. Tapi mengapa kami harus dipertemukan seperti ini? Sungguh menyesakan dada.
Ayah merangkul tubuhku dan mulai merayuku.
“Oh, tidak apa-apa! Kan kalau Marsemah tidak sakit, kapan lagi kita bisa bercinta seperti sekarang ini? Kamu cantik sekali Markonah!”
“Idih, Om bisong sajong deh!” kujentikan jariku tepat di bibir ayah yang berusaha mencium leher jenjangku
“Ngomong-ngomong jangan panggil Om donk!”
Kembali ayah merayuku
“Terus Onah panggil apa donk? Panggil ayah ya?” gurauku
Kelihatannya ayah sama sekali tak menyadari siapa diriku sesungguhnya,
“Eh, janganlah! Panggil abang aja! Abang belum pantas disebut ayah! Istri saja tak punya!”
“Masong seeh?” tanyaku antusias
“Abang gak suka wanita tulen sayang!” Kali ini jari tangan ayah sudah bertindak nakal menyelusup ke dalam rok yang kupakai
Akhirnya kami bangkit dari tempat duduk dan langsung menuju kamar tidurku.
Ayah langsung menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya. Wow, meski sudah berusia 36 tahun, body ayah tetap terlihat keren dan macho. Benar-benar tubuh lelaki kesukaanku. Hatiku menjadi kebat-kebit, antara risau dan nafsu. Risau karena dia adalah ayah kandungku sendiri. Nafsu karena lekuk tubuh ayah memancing gairahku untuk bercinta dengannya walaupun ia tidak mengetahui bahwa aku sebenarnya adalah putra yang selama ini dibencinya.
“Ayo, Onah, segera lepaskan seluruh pakaianmu! Abang sudah tidak tahan lagi sayang!”
Ayah mendekatiku, mengecupi kedua pipiku seraya kedua tangannya bergerilya melepaskan resleting gaun di punggungku.
Akhirnya bibir ayah berlabuh di dermaga bibirku.
Nafas itu begitu memburu.
Oh, bagaimana ini??!
#BERLANJUT#




bersambung . . .




-----] #berpedang [-----

Uploaded Contact: -
Source: indahnyacintapelangi.wordpress.com
https://indahnyacintapelangi.wordpress.com/2012/02/06/pembalasan-markonah-3/

Kalo udah dibaca, komentarin lah.  Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini, biar blognya rame n rajin di-update.


-----] Thank’s for reading [-----




  • Share:

You Might Also Like

0 komentar