Misteri Siluman Terbang, Bag 2
By Fred Batavia
submitted December 28, 2001
Categories: In Indonesian
Part 5: Rahasia Lukisan.
Satu jam kemudian Kapten Polisi Jose Gomez mengetuk kamar mereka.
“Selamat malam Pak, saya mendapat surat perintah (ia memberikan surat itu pada Jon-jon) untuk membawa Saudara Ben Figeroa ke kantor kami malam ini”
“Lho… lho kenapa Pak?”
“Pasalnya pemilik perkebunan sudah memberi tahu kepada yang bersangkutan untuk tidak memasuki wilayah ini dan tidak dituruti… dan sekarang beberapa pencurian telah terjadi. Harap kerjasamanya dengan pihak kami untuk diinterogasi”
“Lho gimana sih Pak? Memangnya mentang-mentang begitu anda bisa menuduh saya pencuri?” tanya Ben dengan kesal.
“Maka dari itu kami akan mengadakan penyelidikan lebih lanjut terlebih dahulu… apalagi menilai kasus yang hampir sempurna ini… maka dari itu saudara Ben menjadi salah satu tersangka utama.”
Dengan paksa mereka menyeret Ben keluar dari ruangan itu.
DEG.
“Kasus yang hampir sempurna… apa maksudnya?”
Kamar itu masih terkunci rapat ketika mereka akan memasukinya. Lubang pintupun tak dirusak. Semuanya bekerja dengan baik. Satu-satunya clue yang tersisa hanyalah pecahan kaca pada balkoni itu yang menunjukkan cara penjahat itu masuk ke perpustakaan. Siluman terbang.
“Siluman terbang pengejar lukisan. Kedua lukisan ditempat yang berbeda menghilang dalam waktu yang sama. Tapi… Kok ada yang aneh ya?” ia membuka balkoni itu sekali lagi.
(Garis Pembatas Jeda…..)
Keesokan harinya,
“Has, sori nih ada berita buruk ya…” Jon-jon menceritakan semuanya pada Hastomo tentang pencurian dan tertuduhnya Ben dalam kasus tersebut.
“Lima menit lagi aku telpon kamu deh…”
“Knapa?”
“Aku mo ngurus tiket buat ke sana nanti sore…
“Yang bener?”
KLIK.
(Garis Pembatas Jeda…..)
Di lobby, Jon-jon mendudukkan dirinya pada sebuah sofa kecil yang berhadapan langsung dengan lukisan karya Nyonya Finchley satu-satunya yang tersisa.
“Selamat pagi, silakan duduk Pastur…”
“Mungkin saat ini saya orang satu-satunya yang pernah melihat kelima lukisan itu sebelum semuanya terpisah-pisah.”
“Lukisan yang lain itu tentang apa sih Pastur Titus?”
“Semuanya menggambarkan keramaian kota kuno. Diperkirakan lukisan-lukisan itu bayangan Nyonya Finchley atas keadaan Roma pada masa kejayaannya dahulu.”
“Lho kan lukisan-lukisan itu tidak diberi judul… taunya itu kira-kira pemandangan kota Roma dari mana Pastur?”
“Di setiap lukisannya ia selalu menuliskan urutan huruf-huruf SPQR di lokasi-lokasi yang berbeda-beda…”
“Senatorus Populus Que Romanus…” Jon-jon berkata.
“Hanya ibukota kerajaan saja yang berhak menampangkan tulisan itu!”
“Iya bener… kalo gitu memang gambar-gambar itu mencerminkan kota Roma kira-kira duaribu tahun yang lalu ya Pastur? Obyek dari lukisan itu sama tidak?”
“Semuanya beda-beda, pokoknya kira-kira tentang pemandangan di dalam kota saja”
“Pastur… ada yang janggal pada lukisan ini... Masak di Eropa ada pohon kelapanya?”
DEG.
“Oh iya, memang selalu diselipkan tanaman-tanaman tropik-subtropik pada lukisan Nyonya. Mungkin ia mulai mencintai Tual ini dan menambahkan kekayaan alam daerah sini pada imajinasinya. Dan satu lagi… Ini kayaknya hanya saya yang sadar….”
“Sadar tentang apa Pastur?”
“Nyonya Finchley memakai figura yang sama jenisnya untuk setiap lukisannya”
Mereka berdua hanya duduk di sana mempelajari sebuah lukisan pada kanvas di depan mereka. Jawaban dari teka-teki apa yang dicari oleh sang siluman pencuri lukisan ini?
(Garis Pembatas Jeda…..)
Siang itu Jon-jon menghabiskan waktunya di perpustakaan Nyonya Finchley untuk mencari clue lebih lanjut tentang teka-teki ini.
“Gile, seluruh koleksi bukunya hanya berisi tentang flora dan fauna saja. Ada yang berisi gambar-gambar… keterangan… cara bertani dan memelihara tanaman… sampai-sampai novel tentang flora dan fauna juga. First printing…. First edition… Audubon…. Audubon… Frateli… Ck..Ck…. Finchley… Finchley… mungkin kalo dijual mahal ya…”
“Ahhhh, SPQR…. SPQR…. SPQR…… apa sih maksudnya ……. Coba lukisan itu masih ada di sini… saya harus cepat menyelesaikan kasus ini agar Mas Ben dapat keluar segera!”
Ia memandang tembok kosong dalam figura yang lukisannya telah hilang itu. Figura yang sama untuk membingkai tiap lukisan Nyonya Finchley.
Jika diperhatikan keempat sudut figura itu tidak sama seratus persen. Pada sudut kanan atas sudutnya melancip sedikit.
“Hmm, mungkin maksudnya ini sebagai tanda panah yang menunjukkan sebuah lokasi…”
Ia menginjak lemari pendek dibawah figura tersebut agar dapat memeriksa langit-langit ruangan pada posisi yang ditunjukkan oleh sudut yang aneh itu…
“Waduh… ini plafonnya ngga ada yang bisa kebuka gini… masak sih beneran? Paling pikiran saya saja.”
Limabelas menit berlalu ia tak menemukan lokasi rahasia tempat persembunyian.
(Garis Pembatas Jeda…..)
Berkali-kali ia mendatangi ruangan-ruangan yang pernah ditempati lukisan-lukisan lainnya. Tak satupun ia menemukan jawaban atas teka-teki ini.
Akhirnya ia putus asa dan hanya duduk sembari menyantap makan siangnya di ruang makan konservatori.
Ia memandang figura kosong yang warna cat temboknya dibalik bekas lukisan itu lebih cerah daripada warna cat tembok di sekelilingnya.
“Mungkin karena tertutup oleh lukisan dalam waktu yang lama, cahaya tidak memudarkan warna cat tembok di belakang lukisan ya? Tapi…”
Ia bergegas menuju kamarnya…
“Nah benar kan? Warna wallpapernya tidak pudar dibelakang figura itu!! Berarti… lukisan ini pernah dipindahkan!!!”
Segera ia berlari lagi…
“Mbak Rini… Lukisan yang hilang di kamar saya itu, tadinya dipajang di mana sih?”
“Eh, kok tau, kita mindahin? Iya, dulunya ada di kamar mandi di kamar Bapak, karena tingkat kelembaban yang tinggi, kami takut akan lebih memudarkan warna cat dalam lukisan. Maka dari itu mulai tahun yang lalu kita pindahkan ke perpustakaan saja. Lho mo kemana Pak? Iya… tadi ada orang yang mencari Bapak……”
Jon-jon tak menggubrisnya. Ia segera berlari ke ruang tidurnya.
“Hey…hey… kok lari-lari Jon?”
“Eh, Hastomo kok udah dateng, kirain ntar sore?”
“Iya aku udah pusing mikirin masalah ini… mana Mas Ben di penjara pula. Tadi malem saya sudah telpon mamahnya, mungkin dua hari lagi beliau baru sampai di sini…”
“Aduh…, kita cuman punya dua hari sebelum semuanya bertambah runyam…..”
Ia membuka pintu kamar tersebut. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi.
“Has sini!!”
“Lho kebelet kok ngajak-ngajak……”
“Kalo saya duduk di pundak kamu, kuat kan gotong saya?”
“Mau ngapain?”
“Di atas sana ada potongan plafon yang dapat dibuka!!!”
Lokasi bukaan plafon itu terdapat di langit-langit sebelah kanan atas dari tembok yang cat-nya berwarna lebih cerah dari sekelilingnya.
Jon-jon kemudian membuka dan menurunkan tutup plafon tersebut. Ia menjulurkan lehernya ke dalam lubang di langit-langit itu.
“Waduh Has… ngga ada apa-apa tuh di sini…”
“Ya udah kamu turun dulu deh… berat nih… EH!!!”
“Jon, cepetan turun…i…ini ada peta kuno yang di rekatkan pada belakang tutup plafon tadi!!!!”
DEG.
Peta kuno yang digambar tangan tersebut berjudul The Most Wonderful Treasure in the World: Phalaenopsis Arcadia Negrita.
“Nah, ini dia yang dicari-cari Darwin!!” ujar Jon-jon. Ia pun melanjutkan keterangan yang juga sepertinya ditulis tangan oleh Nyonya Finchley: “Phalaenopsis Arcadia Negrita is one of the world’s rarest….”
“Ayo Jon, kita pelajari petanya… Itu di atas lemari kecil itu aja… Oh ini ya figura kosong dari lukisan yang dicuri kemaren itu?”
“Iya benar…”
Jon-jon melebarkan peta kuno tersebut di atas lemari pendek itu.
“Mendingan kita tarik dikit lemari ini menjauh dari tembok supaya lebih gampang mempelajarinya…” kata Hastomo.
GRRRETTT. GRRETTTT.
“Jon… ini mainan kamu bukan? Jatuh dari belakang lemari…” Abing.
DEG.
(Garis Pembatas Jeda…..)
“Sekarang saya tahu semua jawaban dari teka-teki ini!!! Has, kamu pengen Mas Ben bebas dengan cepat kan?”
“Iya dong…”
“Sebentar ya… saya mau nulis surat keterangan ini untuk Kapten Kepala Polisi Tual. Langsung saja kamu serahkan kepada beliau… tapi barang bukti ini saya bawa dulu yah… Hanya dia seorang yang dapat melakukan pencurian ini!”
Bersambung…
(Garis Pembatas Jeda…..)
Part 6: Eksplorasi.
KRING.
“Selamat pagi Suster Clara!”
“Selamat pagi… eh, Jon-jon, kamu di mana sih?”
“Suster lagi sibuk ngga?”
“Memang kenapa Jon?”
“Saya minta tolong di cariin data dong di Lexis/ Nexis komputer perpustakaan sekolah…”
“Data tentang apa?”
“…”
“Kalau sudah ketemu gimana Jon, kamu di luar kota gini…”
“Bisa tolong Suster fax-kan untuk saya? Ini nomernya….”
“Oh iya, Pastur Titus titip salam buat semua di sana ya! Makasih Suster!”
KLIK.
(Garis Pembatas Jeda…..)
“Mbak Rini, bisa tolong hubungi keluarga Finchley yang barusan datang ke tempat ini sebelum saya? Ada hal yang ingin saya bicarakan…”
“Wah mungkin mereka sudah tidak berada di Indonesia lagi lho…”
“Saya yakin mereka pasti masih ada di sini, karena misteri ini pun belum dapat mereka pecahkan sendiri!”
“Has… kamu bawa ini aja buat Kapten Kepala Polisi” Jon-jon menyerahkan secarik laporan singkat kepada Hastomo.
“Lalu?”
“Bilang sama semuanya supaya bertemu lagi di lobby hotel besok pagi jam sepuluh. Termasuk Tante Marini dan Paman Pedro-nya Ben.”
(Garis Pembatas Jeda…..)
Tak lama kemudian Jon-jon-pun memisahkan diri dan bersiap-siap mengisi tas punggungnya dengan peralatan-peralatan kemping.
“Wah, untung saja pembangunan di daerah ini tidak sepesat pembangunan di pulau-pulau lainnya. Gambar-gambar ini masih cocok dengan keadaan alaminya…”
Ia melewati jalan setapak di samping perkebunan tembakau raksasa itu. Pemandangannya sangat indah. Ratusan bukit saling kejar mengejar dengan gradasi warna yang spektakuler.
“Ini harus melewati jalan ditengah dua tiang raksasa… mana ya? Hmm… mungkin diantara kedua pohon kayu putih raksasa ini… Iya benar… oke lanjut lagi….”
Kakinya mulai membawanya ke daerah hutan yang cukup lebat. Aroma alami yang sangat segar merasuki indra penciumannya. Banyak tanaman-tanaman indah yang tak pernah ia lihat sebelumnya, begitu juga berbagai spesies kupu-kupu, burung-burung dan hewan mamalia lainnya yang tak pernah ia lihat di Jawa.
“Oke saya sudah menemukan batu besar bujur sangkar ini… Perintah selanjutnya… berjalan-lah sekitar setengah jam ke arah utara sampai menemukan sebuah danau kecil yang airnya berasal dari air terjun…”
Iapun segera membongkar tas punggungnya untuk mencari sebuah kompas.
“Waduh, kompasnya ngga kebawa… gimana nih? Aku ngga tau mau jalan ke arah mana nih….”
Siang itu, terik mataharipun tak ia rasakan karena ia berada dalam perlindungan kanopi dedaunan dari pohon-pohon yang tinggi. Ia pun memutuskan untuk beristirahat sejenak menyantap roti yang telah ia bawa.
“Ahh, duduk dulu… capek nih…”
Ia mengeluarkan sebuah botol minum dan roti berisi telur dadar itu.
“Aduh, ini kok basah sih batang pohonnya… waduh, lumutan pula…. Ntar tambah kotor pakaian saya... EH!!!!”
Ia memperhatikan pohon-pohon yang ada disekitarnya, bagian pepohonan yang berlumut itu hanya menghadap ke satu arah…
“Oh iya!!! Dulu waktu masih aktif di Pramuka pernah diberitahu teknik sederhana ini… lumut itu hanya akan tumbuh di tempat yang lembab pada bagian selatan batang pohon ini…. Kalau begitu….”
Ia menggigit rotinya dan bergegas berjalan menuju arah utara…
“Setengah jam lagi sampai ke danau kecil!”
(Garis Pembatas Jeda…..)
“Welcome to Nirvana…” Jon-jon membaca tulisan yang diukir pada sebuah batang pohon tua yang sudah mati.
Ia melanjutkan perjalanannya ke arah utara sekitar limaratus meter lagi ke depan.
CIRP. CIRP. CIRP.
Cicitan burung-burung bernyanyi terdengar sangat ramai dan merdu, mereka saling beradu vokal dan berharmonisasi. Sinar mentari menyusup dari balik dedaunan memberikan siluet alami yang mengagumkan.
“Wah…. Bagusnya…..”
Pepohonan yang lebat dan tua itu dihiasi dengan berbagai macam pakis-pakisan alami yang tumbuh mendompleng pada induk tanaman. Ribuan jenis anggrek yang tumbuh dengan sendirinya mencapai kepanjangan tangkai luar biasa. Warna-warna cerah beradu dengan kesejukan warna dedaunan yang hijau. Tak lama kemudian tampaklah sebuah danau kecil.
Di sekelilingnya ditumbuhi berjenis-jenis tanaman genus bromeliad yang sangat indah… pisang kipas raksasa, dan tentunya ratusan jenis anggrek yang tumbuh secara alami.
“Tak heran orang tadi menuliskan kata Nirwana untuk menggambarkan daerah ini!”
Air terjun itu cukup deras… suaranya air yang jatuh dari ketinggian sekitar duapuluh lima meter itu sangat membuai. Bahkan Adam dan Hawapun akan senang tinggal di sini.
“Clue selanjutnya… Enter the enclosed walls… Tembok apa ya?”
Ia mengitari daerah itu untuk mencari tembok yang dimaksud.
“Hmm… mungkin maksud dari tembok ya sisi dari dasar tebing ini yang diujung atasnya menjadi awal air terjun…”
“Bagaimana saya harus berhayal ya… untuk memasuki tembok ini? Ngga ada apa-apa gini… cuman batu-batuan tebing dan… AIR TERJUN!!!”
Ia menyusuri pinggir danau yang berhimpitan dengan tembok dasar tebing tadi. Karena pijakan yang harus ia lalui sangat kecil, ia menjadi sangat berhati-hati. Air mulai mengguyur dari atas dengan hebatnya, ia mendekati air terjun tersebut.
“Nah, benar juga, ada celah kecil dibelakang air terjun!!”
Dengan susah payah ia menembus hantaman kejam air terjun itu dan akhirnya ia berhasil memijakkan kakinya pada gua dibalik air terjun tadi. Bayangan sinar matahari yang tersaring oleh air terjun itu menari-nari pada tembok gua.
“Take only memories… Leave only footprints…”
“Sajaknya bagus juga yah? Memangnya harta itu benar-benar ada di sini kok sampai ditulisi sedemikian rupa?” pikir Jon-jon.
Ia menyusuri gua itu menuju ke arah yang mendalam. Lama-kelamaan cahaya mentaripun berangsur-angsur pudar karena lika-liku dalam gua tersebut yang sangat kompleks.
“Duh gelap nih… nyalain senter dulu ah….”
CTEK.
“Aaaaaaaahhhhhhhhhh!!!!”
Bersambung…
(Garis Pembatas Jeda…..)
0 komentar