Toro, Aris, dan Fizkar [6]

Wednesday, September 19, 2018


“Ro! Boleh gue cerita banyak tentang diri gue ke elo?” Tiba-tiba Fizkar berbicara berbisik. Aku mengangguk dengan beribu tanya. Fizkar merebahkan kepalanya di pangkuanku. Diraihnya tanganku dan dibimbingnya supaya membelai kepalanya.



Title: Toro, Aris, dan Fizkar [6]
Uploaded by: 
Submitted: 
Disclaimer: Cerita milik penulis
Genre: Drama, Romance, School-life
Rate: M
Length: Shortstory


WARNING!

Typo

menXmen

Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan di ambil dari web.

Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!

-----] @bluexavier69 [-----





Seminggu ini rasanya aku selalu tersenyum. Belajar lebih semangat meskipun konsentarsi belum fokus. Khayalanku tidak lagi terlalu mengembara. Paling-paling aku cukup membagi konsentrasiku antara belajar dengan mengingat kebaikan Fizkar di sekolah. Aris? Lupakan dulu! Ia bukan untukku.

“Besok kita ke Monas, yuk!” tawar Fizkar di kelas padaku. Hari itu hari Sabtu.

“Mau apa ke sana?” Tanyaku polos.

“Yah, rekreasi lah… kan libur!” Bibirnya sengaja dimonyongkan. Lucu! Tapi tetap jantan…

“Mahal?” Tanyaku lugu.

Belasan tahun di Jakarta aku baru sekali ke Monas. Itu program MOS waktu aku baru masuk SMA ini. Saat itu dipungut bayaran cukup besar karena ada tiga tempat yang dikunjungi. Lubang Buaya, Museum Teknologi, dan Monas. Aku tidak tahu harga tiket masing-masing tempat.

“Gratis! Kita nggak usah masuk ke dalamnya cukup duduk-duduk di taman. Ongkos gue yang tanggung!” Fizkar memainkan alisnya. Oke tampan! Aku tak akan menolak ajakanmu! Apalagi kamu janji akan menjemput. Wah, laksana puteri raja.



Minggu …

Aku sudah berada di halte bersama Fizkar. Secara tidak sengaja aku melihat Aris sekelebatan. Ia membuntuti kami? Kuharap Fizkar tidak melihatnya. Aku tak ingin terjadi kekerasan antara keduanya.

Bus yang ditunggu datang. Fizkar membimbingku duduk di kursi belakang. Kulihat Aris muncul dari balik gang. Ia sudah tahu kalau aku hari ini dengan Fizkar hendak ke Monas. Kami duduk dekat jendela. Fizkar merengkuhku penuh kasih. Masih ngerikah aku dengan orang seperti ini?

Sepanjang jalan ia menyebutkan nama-nama wilayah yang dilewati bus yang kami tumpangi. Seperti seorang guide terhadap turis asing. Aku sangat berterima kasih. Meski tidak langsung hafal tetapi aku sudah pernah tahu wilayah-wilayah yang selama ini hanya bisa sekadar aku dengar.

Satu jam dalam perjalanan, kurasakan kepalaku mulai pusing. Perutku mulai berontak. Aku mabuk perjalanan. Kebiasaan yang sangat memalukan! Ini salah satu penyebab aku tidak suka berpergian.

“Mau muntah, Ro?” tanya Fizkar saat melihatku pucat dan berkeringat dingin. Aku mengangguk lemas. Fizkar mengajakku turun. Tujuan kami masih jauh, namun aku lebih nyaman kalau segera turun dari bus ini.

Kami turun di sebuah halte. Lega sekali. Perasaan ingin muntah agak berkurang. Fizkar mengeringkan dahi dan leherku dari keringat. Lembut, untung tidak ada orang lain di halte itu. Perjalanan dilanjutkan kembali setelah aku benar-benar merasa baik.


Di Monas…

Kami mencari tempat yang paling teduh dan jauh dari keramaian orang yang juga sedang bersantai. Fizkar merapatkan tubuhnya yang hangat, aku menikmatinya. Akh… kami seperti orang yang berpacaran. Apakah Fizkar tidak menyadarinya?

“Ro! Boleh gue cerita banyak tentang diri gue ke elo?” Tiba-tiba Fizkar berbicara berbisik. Aku mengangguk dengan beribu tanya. Fizkar merebahkan kepalanya di pangkuanku. Diraihnya tanganku dan dibimbingnya supaya membelai kepalanya yang ditumbuhi rambut keriting pendek. Aku menyayanginya. Kubelai.

Fizkar sama seperti aku. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, namun kakaknya lelaki semua. Abangnya yang pertama meninggal dunia karena over dosis saat berusia sembilan belas tahun. Abangnya yang kedua masuk penjara akibat terlibat pembunuhan terhadap rekan kerja abangnya yang sulung, yang menurutnya telah menyeret abangnya ke dunia obat-obatan terlarang. Ayahnya tidak kuat menghadapi semua itu hingga sakit dan meninggal. Ibunya setahun kemudian menyusul ayahnya. Fizkar diasuh pamannya, adik ayahnya. Saat itu ia berusia sebelas tahun.

Sejak itu Fizkar menjadi anak yang pendiam. Padahal sebelumnya ia dikenal sebagai anak yang banyak bicara dan selalu bergerak. Perubahan ini berlangsung hingga ia masuk SMP. Pamannya sengaja menyekolahkannya di sekolah yang jauh dari rumah orang tua Fizkar. Tujuannya untuk menghindari Fizkar berteman dengan anak-anak yang mengetahui episode hitam keluarga tersebut.

Suatu hari dalam perjalanan pulang sekolah ia diisengi oleh sekelompok siswa STM. Ia yang sendirian tiba-tiba dibekap dari belakang oleh salah seorang di antara mereka. Yang lain memegangi tangan dan kakinya. Ada juga yang menelanjanginya hingga bugil. Tak berhenti di situ, salah seorang di antaranya mempermainkan kontol Fizkar dan mengocoknya hingga muncrat. Mereka meninggalkan Fizkar sambil tertawa-tawa. Bara dendam muncul di dada Fizkar. Suatu hari ia berjumpa dengan anak STM yang mengocok kontolnya. Ia menghajar dan membuat kepalanya bocor. Hanya dengan tangan kosong.

Ia diamankan di kantor polisi. Ia tidak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya, malu. Parahnya, anak STM itu justru memberikan kesaksian seolah-olah ia diperlakukan seperti itu tanpa ada sebab atau kesalahan yang ia lakukan. Fizkar menginap dua hari di kantor polisi. Pamannya menjemputnya tanpa berbicara dengannya sama sekali. Fizkar menjadi semakin pendiam.

Fizkar dikeluarkan dari sekolah akibat kasus tersebut. Ia dimasukkan pamannya ke sebuah SMP milik sebuah yayasan yang cukup terkenal. Sayangnya, masalah kembali datang. Seusai mata pelajaran olahraga saat berganti pakaian, anak ketua yayasan yang sekelas dengannya membuat masalah. Kontol Fizkar dipegang-pegangnya di depan beberapa teman yang lain. Fizkar marah. Dipelintirnya tangan anak itu hingga menjerit. Cerita yang beredar hingga patah. Dalam kesaksian, keempat teman yang berada di tempat kejadian menyebutkan bahwa Fizkar memaksa meminta uang pada anak itu. Karena tidak diberi, Fizkar memelintir tangannya. Fizkar tidak mau menceritakan yang sebenarnya. Lagi-lagi karena malu.

“Mengapa kamu tidak ungkapkan kejadian yang sebenarnya?” Tanyaku penasaran.

“Elo pikir mereka akan percaya? Gue nggak punya saksi yang menguatkan alasan gue. Gue sendirian. Orang masih lebih suka mengaitkan gue dengan kedua abang gue. Mereka bilang dari tampang gue udah kelihatan penjahatnya! Padahal orang yang gue beri pelajaran itulah biang keroknya. Homo-homo sialan!” Makinya. Aku langsung membuang muka. Aku juga homo, Fiz! Rutukku dalam hati.

“Gue akan hajar orang yang macem-macem sama kontol gue! Kontol gue itu hal yang paling pribadi. Kalau ada yang mau macem-macem ke kontol gue berarti dia harus berhadapan dengan ini!” Fizkar mengepalkan tangannya. Kepalan seorang petarung. Aku jadi gelisah. Lalu hubungan apakah yang terjadi antara aku dengan kamu saat ini, Fiz?

“Elo nggak usah takut, Ro! Gue memang punya penampilan seperti berandalan, tapi menghadapi orang yang lembut seperti elo, gue bisa lembut juga.” Ucapannya memang sudah terbukti.

Lalu bagaimana dengan harapanku terhadap kontol Fizkar? Haruskah berakhir seperti dengan Aris? Kedekatan antara dua lelaki tetapi tanpa aktivitas seksual. Aku homo sejati! Tak mungkin aku bertahan dengan persahabatan seperti itu.

“Kita muter-muter yuk!” Fizkar bangkit berdiri. Dengan ujung mataku kuperhatikan tonjolan di depan celananya. Terlihat sangat menggunung. Menggairahkan! Akh! Harapan itu kembali punah …

“Fiz …” Sebutku, Fizkar tak jadi melangkah.

“Ada apa, Ro?”

“Kamu tahu kan kalau aku homo?” Tanyaku berat, Fizkar tertawa.

“Tahu! Sekali lihat gue tahu elo hombreng… ha… ha….” Tawanya membuatku perih.

“Terus… kenapa kamu masih mau berteman denganku?” Tanyaku ingin kepastian.

“Emang elo teman gue?” Ungkitnya.


Degggh…


lalu apa?


“Maaf… aku kegeeran. Aku pikir kamu menganggapku teman.” Pedihnya…

“Elo bukan teman gue… tapi pacar gue, Ro!” Aku menatapnya sendu. Ini bukan waktunya bergurau Fiz!

“Pacar? Kamu mau pacaran dengan hombreng?” Kugunakan istilah yang ia pakai.

“Kaum homo orang-orang yang tersisih. Gue juga tersisih. Kenapa gue nggak membahagiakan orang yang senasib dengan gue?”

“Kamu kan tak akan mau memberikan milikmu yang paling pribadi, sedangkan orang-orang seperti aku sangat menginginkannya…”

Hueksss… malu juga berbicara seperti itu, tapi aku tak ingin memungkiri. Tak ada homo yang tidak menginginkan kontol!

“Maksud elo ini?” Fizkar memegangi kontolnya yang masih terbungkus celana. Aku menunduk. Memalukan sekali. Rendah kamu, Ro!

“Akan tiba waktunya, tapi nggak sekarang! Gue benci orang-orang yang melecehkan gue sebelumnya. Mereka mengincar kontol gue buat dilecehkan. Elo bayangin laki-laki dikocok kontolnya tanpa bisa melakukan perlawanan. Mereka yang melihat hanya tertawa. Bagaimana kalau hal itu terjadi pada diri mereka sendiri? Masih bisa tertawa?” Wajah Fizkar mengeras. Aku memahami. Betapa hancurnya laki-laki jika dilecehkan dan ditertawakan.

“Sabar, ya Ro! Gue pasti jadi milik elo.” Fizkar memegangi pundakku. Mencium pipiku untuk yang kesekian kalinya.



cerita berlanjut...





-----] #berpedang [-----

Uploaded Contact: 
Source: 

Kalo udah dibaca, komentarin lah.  Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini, biar blognya rame n rajin di-update.


-----] Thank’s for reading [-----

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar