“Bukti? Kamu mengintipku waktu di kamar mandi? Atau melihatku kencing?!”
. . .
Title: Gara-Gara Kontolku Panjang
Author: seno
Submitted: Februari 2013-
Disclaimer: Cerita milik author
Rate: H
Length: Chaptered
Warning: Typo. menXmen. Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan diambil dari website. Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!
-------] @bluexavier69 [-------
Part 2
Dua Buah Biji
Part 2
Dua Buah Biji
---[9]---
Kuaduk ‘minuman kelas tiga’ sehingga menimbulkan sedikit gesekan di dinding gelas. Es teh, itulah yang kuanggap sebagai minuman kelas tiga. Kadang kita-kita satu geng dalam kepengurusan OSIS membagi ‘kasta’ seseorang berdasarkan minuman yang ada di kantin sekolah. Kasta tertinggi (pertama); jus buah termasuk disini es jeruk. Kasta kelas dua; soft drink termasuk dalam hal ini minuman bersoda dan teh botol. Kasta kelas tiga; teh hangat dan es teh. Kasta terakhir; air putih dan air es.
Hahahhaha sekedar intermezo saja sih, sehingga dalam milih cewekpun secara diam-diam diamati dari minuman yang dipilihnya. Jika kita memang suka cewek yang sederhana, pilih saja cewek yang suka minuman kelas tiga, dan aku termakan mitos ini.
Dulu, alasan utama aku milih Dita sebagai cewekku karena Dita suka banget dengan minuman kelas tiga ini. Nyatanya memang benar. Dita itu cewek yang sederhana, sopan tapi smart. Aku selalu mengamatinya sewaktu dia makan di kantin sekolah bersama temen-temen ceweknya yang super riang, dan hanya Dita saja yang pilih minum teh hangat. Dan setelah jadian dan jadi cewekku, aku baru tahu dia milih minuman itu karena dia tidak boleh minum es, amandelnya bisa kumat hahahhaha. Akhhhh kirain karena dia suka teh.
Dulu, alasan utama aku milih Dita sebagai cewekku karena Dita suka banget dengan minuman kelas tiga ini. Nyatanya memang benar. Dita itu cewek yang sederhana, sopan tapi smart. Aku selalu mengamatinya sewaktu dia makan di kantin sekolah bersama temen-temen ceweknya yang super riang, dan hanya Dita saja yang pilih minum teh hangat. Dan setelah jadian dan jadi cewekku, aku baru tahu dia milih minuman itu karena dia tidak boleh minum es, amandelnya bisa kumat hahahhaha. Akhhhh kirain karena dia suka teh.
Sebenarnya tak ada yang istimewa dari seorang Dita. Kalau dia dibilang cantik iya, tapi kalau tercantik di sekolah nggak lah, masih banyak yang ngalahin. Kalau dibilang anak pandai, iya juga sih, tapi tetep dia bukan yang terpandai, bahkan rankingnya masih dibawah rangkingku. Awal aku jadian ama Dita banyak banget yang komplain ke aku. Bisa-bisanya ya? Banyak yang bilang, anak sekeren dan seganteng Luthfi kok bisa-bisanya hanya macarin Dita? (bukan nyombong, tapi ini hasil pembicaraan beberapa cewek yang kudengar tak sengaja heheheh)
Dita anaknya biasa saja, sederhana lebih tepatnya. Karena dia kalem, tidak ceriwis seperti cewek lainnya. Dia tak pernah banyak menuntut selama pacaran sama aku. Nggak pernah tuh dia minta dibeliin ini-itu. Pakaiannya biasa, rambutnya juga lurus nggak ber-make up berlebihan. Yang aku suka lagi dari dia, hmmm apa ya? Oh iya, senyumnya. Ahhh, ada lesung pipit di pipi kanannya. Aneh memang, lesung pipitnya hanya sebelah, manis banget. Makanya kalau lagi berduaan ama dia penginnya godain dia terus agar dia tersenyum. Dilihat dari fisiknya dia biasa saja. Tubuhnya cenderung kerempeng tak berisi. Buah dadanya juga belum besar-besar amat, ukurannya aku belum tahu hahahhaha.
Kami pacaran sopan lah istilahnya, belum berani grepe-grepe. Palingan sekedar cium pipi, itu saja rasanya melayang sampai langit ke tujuh. Terus terang aku belum berani terlalu jauh dalam berpacaran, nama baikku di OSIS dan nama besar keluargaku bisa tercoreng. Aku memang mulai hati-hati dalam bertindak. Akhhh, mungkin ini juga karena hasil didikan dalam kegiatan organisasi yang sedang aku geluti di sekolah.
Untuk aku sendiri, siapa sih yang nggak tahu ‘Si Fifi OSIS’? Itulah sebutanku di sekolah. Fifi… aneh ya, mirip nama anak cewek, tapi aku tidak ambil pusing. Sebagai cowok aku seperti yang lainnya, aktif dan nggak mau diem. Tapi setahun di SMA, aku menyadari harus ada penyaluran yang tepat untuk keaktifanku. Makanya berbagai kegiatan ekstra aku gelutin, mulai dari basket, renang, pecinta alam, sampai rohis dan tentu saja pramuka. Aku suka olah raga, karena olah raga bisa menyeimbangkan fisikku menjadi lebih ideal dan tentunya lebih sehat. Aku sadar, jika tak diimbangi dengan olah raga, mungkin tubuhku yang bongsor akan jadi gendut luar biasa. Aku juga suka berorganisasi. Berorganisasi menurutku mengasah hidup kita menjadi lebih disiplin dan lebih bijak. Makanya tahun kedua di SMA aku terpilih jadi ketua OSIS, sebuah jabatan yang prestisius. Aku senang di OSIS, paling tidak aku belajar jadi orang dengan jiwa bijak, tidak arogan dan tentu saja aku punya banyak teman, teman dalam arti positif tentunya.
Banyak yang bilang, aku cowok terkeren di sekolah. Wajahku katanya mirip aktor ftv ganteng. Wahhh, menurutku jauh lah. Hidung mungkin mirip atau bibirku, tapi kulitku agak iteman. Rambutku semi keriting dan selalu kupotong pendek. Pokoknya, setiap orang ketemu aku pasti langsung bisa menebak aku Arab.
Aku sadari, dengan modal fisikku aku bisa saja macarin segudang cewek di sekolah. Atau paling tidak macarin cewek tercantik dan ter’hot’ versi polling anak-anak cowok yaitu si Nicky. Ya benar, Nikcy cantik banget. Dia model, walau masih skala lokal sih, tapi tetep saja luar biasa cantik. Bodynya putih dan terlihat sangat ‘berkelas’. Andai mau, aku sudah pacaran sama dia. Dulu waktu di kelas X, dia pernah nembak aku secara terus terang, tapi entahlah, aku tak suka. Melihatnya seperti melihat bintang sinetron tokoh antagonis yang cantik dan manja. Aku benar-benar nggak suka tipikal cewek macam dia. Ini masalah selera juga sih.
Sebelum jadi cewekku, sebenarnya aku kurang begitu mengenal Dita. Tapi secara diam-diam aku sering mengamatinya dan menanyakan beberapa sifatnya ke teman akrabnya. Swear, banyak yang nggak percaya, termasuk Dita sendiri. Dia menangis tak percaya ketika kuungkapkan rasa sayangku ke dia suatu saat di sebuah café. Masih ingat aku berkata apa waktu itu.
“Dit… hmm… aku sayang ma kamu, mau nggak kamu jadi pacarku?”
Swear, benar-benar mirip kata-kata di sinetron ketika cowok nembak cewek. Cueklah, memang itu yang bisa kuungkap ke dia. Dan reaksi pertamanya bukan senyum seperti yang kuharap, tapi menutup muka dengan telapak tangannya. Dia menangis, benar-benar menangis. Aku sempat bingung.
“Fi… napa aku?” ucapnya waktu itu di sela-sela tangisnya. Aku beku ketika dimintai alasan kenapa aku nembak dia.
“Hmmm… an.. anu... yahhh, karena aku sayang sama kamu Dit.”
“Banyak cewek lain yang lebih cocok ma kamu Fi, napa kamu sukanya sama aku?” Aku bingung lagi mau jawab apa. Swear, lebih berat daripada debat waktu rapat OSIS.
“Hmmm…karena aku sayang ama kamu Dit.” Dia terbelalak memandangku,
“Fi, kamu ketua OSIS. Kamu tampan, kamu cerdas, kamu keren. Mosok sejak tadi hanya jawab kayak gitu?” Aku hanya menggeleng lemah. Kuakui aku kalah kali ini, aku memang lemah dalam hal ‘percewek-an’.
“Ya.. itu memang.. ya.. ya.. Cuma itu memang Dit, cuma itu jawaban yang aku siapin, karena aku sayang sama kamu.”
“Ini beneran to? Ini serius?”
“Iya bener.. serius” jawabku tegas.
“Sumpah?”
Gila nih cewek, tingkat kepercayaan terhadapku sangat tipis rupanya. Aku mengangkat kedua jariku, “Sumpah…”
Dia kembali menutup mukanya sambil menangis dan mengangguk. Aku Cuma bengong, aneh banget.
Aku tersenyum sendiri jika mengingatnya. Kembali kuseruput minuman ini sekedar menghilangkan kegelisahanku. Kali ini aku menunggu Dita. Tadi pagi dia sms, janjian mau ketemu di café ini. Akhh… menunggu memang membosankan.
Seminggu sudah aku pulang dari Bali. Kehidupanku sudah kembali normal seperti biasa setelah acara hura-hura yang melelahkan di Bali. Berangkat sekolah, ngurus ini-itu, mengerjakan tugas, mengajukan proposal kegiatan sekolah, rapat osis, ikut ekstra basket, renang setelah pulang sekolah, dan.. hmmm… baru sekali sih ketemu sama Dita setelah dari Bali.
Ada satu hal yang mengganjal ketika aku pulang dari Bali, gosip tentang aku. Yah, namanya saja ketua OSIS, ada gosip dikit saja langsung membesar, dan gosip kali ini sangat berat menurutku. Aku dikabarkan punya penis sepanjang 25 cm. Gila banget gosip itu, kok bisa 25 centi ya? Panjang banget, dan parahnya lagi, sebagian besar percaya dengan gosip tersebut. Mereka semua percaya, karena aku keturunan Arab. Aku yakin dan seyakin-yakinnya, kalau gosip ini berkaitan dengan kejadian waktu di Bali kemaren, penelitian gila itu. Dan aku yakin, penyebar pertama gosip ini pastilah salah satu atau lebih dari ke-empat temanku yang sekamar waktu di Bali. Awalnya aku emosi sampai kupanggil keempat temenku di ruang OSIS sepulang sekolah, tetep saja nggak ada yang ngaku.
Seminggu sudah, dan gosip aku punya kontol 25 cm semakin hangat di bicarakan. Gila banget dampak gosip tersebut, beberapa cowok kelas 12, banyak banget yang secara sengaja meremas cepat penisku ketika berpapasan sambil bilang ‘woww…dualima centi booo’. Beberpa kali aku emosi dan hampir berkelahi dengan kakak kelas yang melecehkanku. Tapi akhirnya aku sadar, aku tak mungkin dapat membendung gosip tersebut. Kubiarkan saja, kubiarkan beberapa cowok menyenggol kemaluanku sambil teriak-teriak, kubiarkan beberapa cewek melirik selangkanganku, mungkin sekedar untuk melihat ‘bulge’ku. Akhh gila semua, bikin aku stress. Mungkin itu sebabnya Dita akhir-akhir ini begitu susah kutemui. Dan yang pasti, aku semakin nggak suka dengan ke-empat teman sekamarku di Bali itu. Semua gara-gara kalian!
. . .
Untuk yang ketiga kalinya aku menyeruput minuman ini, Dita belum muncul membuatku gelisah. Kulihat es di dalam gelas semakin menyusut. Kencan kali ini dia yang mengajak, makanya aku sedikit penasaran.
Ahhh... akhirnya sosok yang kutunggu muncul juga. Sosok ramping dengan rambut panjangnya yang bergerak tersentuh angin Aku tersenyum lebar menyambutnya, tapi wajahnya datar tanpa senyum seperti yang kutunggu.
“Mau pesen apa Dit?” tanyaku setelah dia duduk di depanku. Dia menggeleng lemah, kulihat lingkar hitam di kelopak matanya.
“Kamu kenapa Dit?” Dia menunduk. Ini aneh, mana senyummu?
“Kamu sedang sakit Dit?” tanyaku lagi, dia masih menunduk. Tiba-tiba emosiku naik.
“Dit, aku tak ingin suasana seperti ini, ayo cepet bicara, ada apa ini?!” Dia mendongak, memperlihatkan wajahnya yang kusut.
“Oke, beberapa malam ini aku susah tidur. Hmmm… aku sudah memikirkannya dengan mendalam Fi, sebaiknya kita akhiri, kita putus saja!” ucapnya datar. Aku terbengong kaget, benar-benar kaget. Duniaku terhenti sesaat.
“Kamu bicara apa Dit? Kita putus?” Dia mengangguk.
“Bukan anggukan yang kuinginkan, aku ingin kejelasan!” aku mulai emosi.
“Ya benar, kita putus saja.”
“Gila! Tak ada angin tak ada hujan main putus saja! Aku ingin alasan!” Dia menarik nafas panjang
“Berkaitan gosip yang beredar Fi” ucapnya lirih.
“Apa?!” Aku kaget kali ini.
“Iya, gosip itu, dan parahnya aku menyakini gosip itu benar. Terus terang aku takut, aku tak mungkin meneruskan hubungan ini Fi.” Aku geleng-geleng kepala.
“Dit, kamu ini pacarku. Harusnya kamu lebih percaya sama aku dari pada gosip yang memojokkanku. Harusnya kamu malah membantuku, bukan malah menenggelamkanku. Ingat Dit, kamu itu pacarku!” Dita hanya menggeleng lemah.
“Boleh aku tanya Fi?”
“Hmm..”
“Apa gosip itu benar?” Aku kaget.
“Menurut kamu?”
“Benar” jawabnya lirih.
“Apa alasanmu?”
“Hmm… aku dah lihat bukti…”
“Bukti? Kamu mengintipku waktu di kamar mandi? Atau melihatku kencing?!” jawabku sedikit emosi.
“Aku melihat bukti pengukurannya!” Glek! Aku tercekat. Ini pasti catatan Hari. Kurang ajar betul dia! Ini pasti mimpi. Mimpi buruk, bagi si pemilik kontol panjang.
---[10]---
Kupandang langit-langit kamar, pikiranku benar-benar kosong. Ternyata begini rasanya putus cinta, sakit, pahit bercampur jadi satu.
Aku sudah putus! Benar-benar putus! Sungguh tak mengira, aku hanya pacaran sekitar tiga bulanan saja. Dan alasannya sungguh tak masuk akal. Hanya gara-gara aku punya kontol yang panjang. Sungguh nggak masuk akal. Apalagi ketika kuingat Dita bilang, “Fi, aku sungguh takut malam pertama nanti.”
“Gila kamu Dit, kita masih SMA, mosok kamu sudah mikirin malam pertama!”
“Yah Fi, kita ini pacaran. Ujung-ujungnyakan juga kawin, sama saja kan, nanti juga ada malam pertama.”
“Dit, itu masih jauuuhhhh, masih lama Dit.”
“Lama atau tidak bagiku sama saja Fi, mumpung belum terlanjur, sebaiknya kita akhiri saja.”
Aku menghela nafas panjang, aku gagal menyakinkan Dita. Berapa kali aku selalu menang jika debat dengan temen saat rapat di ruang OSIS, tapi kali ini hanya dengan Dita untuk masalah sepele saja aku gagal. Aku benar-benar putus. Di sudut hatiku yang paling dalam kuakui, aku masih sangat sayang dengan Dita.
Akhhhhhhhhhhhhhhhhhh… ingin rasanya aku menjerit saja saat ini. Kuremas rambutku, sakit sekali kepala ini. Aku tak lagi bisa berfikir, kejadian ini seperti bertubi-tubi menyerangku.
Akhhhhhhhhhhhhhhhhhh… ingin rasanya aku menjerit saja saat ini. Kuremas rambutku, sakit sekali kepala ini. Aku tak lagi bisa berfikir, kejadian ini seperti bertubi-tubi menyerangku.
“Tok.. tok.. tok..” pintu kamar di ketuk.
“Masuk…” jawabku lirih.
“Fii makan bareng yuk temanin kakak, makan sendiri nggak enak neh” suara kakakku, Kak Rizal.
“Males kak” aku bersuara keras. Pintu kamar terbuka, dan Kak Rizal terlihat memandangku terpaku.
“Fi, wajahmu kok kacau gitu. Sedang sakit ya?” Aku diam, tak bergerak dan bersuara. Kupejamkan mata, malas. Bahkan untuk bicara dengan kakakku. Kurasakan Kak Rizal duduk di tepi ranjang, mengusap keningku.
“Kamu napa?” suaranya lembut.
Dia Kak Rizal, satu-satunya kakakku. Sekarang sedang duduk di semester akhir di sebuah PTS di kotaku. Fisiknya berbeda denganku, dia tinggi dan nggak begitu besar tubuhnya, Jangkung, sama denganku, rambut dimana-mana. Sekarang saja sudah tumbuh jenggot dan kumis, yang walau dicukur tiap hari tetep saja terlihat lebat. Kulitnya lebih hitam dibanding diriku. Hidungnya besar dengan rahang yang kokoh. Rambutnya keriting. Dan yang jelas, wajah Arabnya sangat kentara dibanding denganku. Yang sangat membedakan antara aku dan Kak Rizal adalah dia sangat lembut sedang aku mudah sekali emosi. Dia sangat dewasa dan sangat sayang kepadaku. Bagiku selain sebagai kakak, dia adalah temen curhatku.
Aku duduk sambil masih mengacak-acak rambut. Kulirik Kak Rizal, dia tak berkedip memandangku, memang ini jauh dari aku seperti biasanya. Biasanya aku begitu periang, dan kalau diajak makan pasti jawabnya ‘yess’. Kali ini beda.
“Kamu napa hah?” Aku menoleh, menatapnya. Kadang aku ingin bermanja sekedar memeluk.
“Hmmm nggak pa pa, cuma hmmm.. baru putus kak…” kataku menunduk.
“Putus? Putus apaan?” Kak Rizal kaget.
“Ya putus cinta lah!”
“Hahahahha kirain apaan. Udah ah, makan yuk, males banget nih kalau makan nggak ada temen.” Rumah memang sepi, kami cuma tinggal berdua. Papa mama biasanya pulang jam sembilan malam, menjaga toko meubel yang jaraknya agak jauh dari rumah.
“Lagi males kak. Ahhh… pusing neh.”
“Halahh… kamu tuh sok, emangnya kamu punya pacar po?” Aku kaget, emang bener sih selama ini aku belum ngenalin Dita ke Kak Rizal.
“Udah punya kemaren.”
“Tumben, kok aku nggak tahu?” Aku garuk-garuk kepala sambil tersenyum masam
“Baru 2 bulanan lebih kok kak…”
“Wahhh… hebat, masuk museum muri neh, pacaran terpendek se-Indonesia hahahahah”
“Uhhh Kak Ical ini… akhhh.. bukannya mbantu aku malah ngetawain.”
“Bantu gimana kalau dah putus? Emangnya kalau dah putus gitu, trus aku bantu bisa nyambung lagi? Udahlah, fokus ke study dulu. Mikir pacar segala, bikin pusing saja. Nih kakakmu, ampe sekarang belum punya pacar… nyante saja.”
“Uhhh… kalau kakak kan nggak ganteng kayak aku, jadi mana ada cewek mau?”
“Gila neh kamu hahahahha… Udah, makan yukk…” Aku masih tak bergeming.
“Kak…?”
“Ya…”
“Boleh tanya sesuatu nggak?”
“Boleh…”
Aku sedikit ragu…
“Hmmm…”
“Mau tanya apa?”
“Hmmm… kontol Kak Rizal panjangnya brapa centi Kak?”
---[11]---
“WHAAAATTTT…..” Kak Rizal melotot kaget, lalu menempelkan telapak tangannya di keningku.
“Kamu tidak sedang mabuk kan?” Aku tersenyum.
”Ya nggak lah, swear aku serius nanya kak.” Kak Rizal tertegun…
“Untuk apa kau tanyakan itu?” Aku menelan ludah. Sungguh sulit menanyakan hal yang dianggap tabu, tapi beneran, aku menanyakan ini sekedar ingin tahu saja apakah aku normal atau tidak. Mata kak rizal masih menatapku tajam, menyelidik lebih tepatnya. “Kenapa kamu tanyakan itu?”
“Pengen tau saja kok, berapa centi Kak?”
“Hahahhahaha… kamu nih, kurang kerjaan saja ngukur-ngukur gituan.”
“Oke.” suaraku mantab. Aku berdiri diatas ranjang dan kupelorotkan seluruh celana seragamku. Di hadapan Kak Rizal, terpampang kontol panjangku yang terkulai. Kulihat Kak Rizal melotot sejenak lalu memalingkan muka.
“Kamu gila ya? Ayoo tutup lagi… cepetan Fiii.” Kak Rizal berteriak. Kulihat kak rizal mulai tersinggung, dia beranjak dari sisi ranjang. Kupegang lengannya mencegah
“Oke.. oke kak… jangan pergi dulu, bentar…”
“Pake lagi celanamu!” Dia kembali duduk. Dengan pelan kupakai lagi celanaku. Aku duduk di sisinya, kutarik nafas panjang.
“Oke kak maaf, aku tak bermaksud apa-apa, cuma memang aku sedang ada masalah kak” Kak rizal menoleh tertawa lirih.
“Kamu aneh, sedang ada masalah malah pamer titit di depan kakakmu..” Aku tersenyum masam.
“Karena memang masalahku ya itu. Hmmm.. masalah dengan ukuran kontolku…”
“Ukuran? Kamu gila ya, memang ada masalah apa dengan ukuranmu Fi?” Aku menarik nafas panjang. Akhirnya kuceritakan peristiwa di Bali. Walau tak kuceritakan tentang pemaksaan temen-temenku. Kak Rizal mendengarkan dengan serius, kadang tertawa geli juga. Akhh.. Kak Rizal kan sudah dewasa, pastilah mengerti tentang problem anak-anak remaja kayak aku ini.
“Oke deh, aku dah tau alur ceritamu Fi. Sekarang apa masalahmu? Ukuranmu lebih panjang? Apa itu menjadi masalah?”
“Iya” jawabku singkat.
“Hehehe.. kamu ini Fi, kamu tuh harusnya bangga lho punya ukuran segitu. Di luar sana banyak lelaki sampai berobat ke sana ke mari untuk menambah panjang ukuran. Udahlah, syukuri saja.”
“Bukan hanya itu Kak, sekarang di sekolah sedang ada issue hangat, katanya aku punya kontol yang panjangnya dualima centi, gila nggak? Padahal ukuranku nggak sepanjang itu kan. Terus terang aku jadi terganggu dengan issue itu kak, beberapa temen dan kakak kelas sampai melecehkanku. Ada yang ketika berpapasan dengan segaja tangannya sambil meremas kontolku beberapa kali gitu…”
“Waaaaa.. kalau sudah sampai ke pelecehan gitu, baiknya kamu lapor tuh ke BK.”
“Nggak lah. Aku malu kak kalau sampai di tanya masalah kontol oleh guru BK” Kak Rizal menarik nafas panjang.
“Fii, kalau aku jadi kamu dan dilecehkan seperti itu, aku sudah amuk anak itu, beneran! Heran kamu ini kok nyante saja.”
“Wahhh kak, pengen juga ngamuk seperti itu, tapi aku kan sendiri mereka berombongan, kakak kelas lagi. Aku nggak mau mati konyol kak”
“Hmmm… ya udah, kamu yang sabar. Yang namanya issue bentar lagi juga hilang sendiri. Yang penting kamu sabar.”
“Bukan hanya itu kak, cewekku Dita termakan issue itu. Dia minta putus, dia takut dengan panjangnya kontolku”
“Hahaha dasar.. anak kecil kau pacari, ya jadinya gitu. Ya kalau putus nyari lagi lah, yang lebih dari Dita pacarmu itu.”
“Akhhh kakak, aku kan masih sayang.”
“Hahaha…makan tuh sayang.” Aku cemberut. Dalam hati aku berfikir, bukan pencerahan yang kudapat dari Kak Rizal, tetapi malah jadi tertawaan.
“Uhhh…” aku benar-benar jengkel. Kak rizal menepuk pundakku.
”Udaah, jangan cemberut gitu lah. Kamu masih muda, kalau cuma putus gitu gampanglah, biasa. Putus cinta itu biasa, kamu kan masih dalam masa pencarian. Lagian kamu tuh.. hmmm… ganteng lah, ganteng banget malah, pasti banyak cewek tuh yang takluk kalau kamu mengedarkan diri hehehe”
“Enak saja mengedarkan diri, emang aku ini apaan…”
“Hahaha…dan menurutku untuk ukuran tititmu, cuma delapan belasan senti to? Hmmm… mayan panjang dibanding cowok pada umumnya, tapi itu biasa kok, nggak panjang banget cuma sedang saja, jadi kamu nyante saja. Kalau ada yang nggosipin, anggap saja angin lalu.” Kali ini aku lega. Kurangkul pinggang Kak Rizal.
“Makasih Kak.. tadi dah lihat kontolku kan? Kalau dibandingin milik Kak Rizal panjang mana Kak?”
“Hmmm… hampir sama kok, tapi panjang milikku dikit lah, aku kan lebih tua dibanding kamu”
“Ohhhh… boleh lihat?” Dia kaget.
“Nggak. Nggak boleh!” Seumur hidup tinggal dengan Kak Rizal tapi belum pernah aku melihat kontolnya. Aku tersenyum jahat.
“Cuma lihat bentar kok, sekedar mbandingin saja.”
“Nggak!”
“Hehehe…” kulirik celananya, dia hanya pakai kolor saja, woww mudah nih memelorotkannya. Dengan cepat kuterkam tubuhnya hingga terhempas di ranjang.
“Bentar doang Kak… bentar…” aku memohon. Tubuhnya berontak walau lemah. Cepat kupelorotkan celananya. Dengan nafas menderu aku melihat bulu tebal di area bawah perut, dan terus kupelorotkan celananya. Aneh! Kak Rizal tak lagi berontak. Dia terkulai di ranjang.
“Oke, tapi bentar lhooo… jangan lama-lama.”
Aku melotot, sungguh tak mengira ini kontol milik kakakku. Hitam berurat memanjang. Kepala kontolnya mengkilat berwarna merah tua. Bulu kemaluannya sangat-sangat lebat. Buah pelirnya berkerut besar ditumbuhi rambut jarang. Akhhhh… Kontol yang gemuk, besar, dan tentunya lebih panjang dariku. Aku lega sekarang.
“Udah Fii…”
“Bentar..” Kak rizal berusaha bangun, dan entahlah, rasa penasaranku belum habis. Kupegang batang kontolnya, hangat dan kenyal. Lalu dengan cepat kontolnya mengembang di genggamanku.
“Gila! Sensitif amat Kak, baru dipegang saja udah ngaceng hahahhaha..” aku tertawa. Kontol Kak Rizal benar-benar memukau pandanganku.
Bersambung...
-------] #berpedang [-------
Uploaded Contact: -
Source: boyzforum.com
Kalo udah dibaca, komentarin lah. Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini. Biar blognya rame n rajin di update.
Kritik dan saran bisa dikirim lewat
e-mail: kulipembangun@gmail.com
-------] Thank’s for reading [-------
0 komentar