Gara-Gara Kontolku Panjang Part 3; Emosi

Wednesday, March 22, 2017



"Wowww… besar bro!"


"Kamu suka ya Frans?"



. . .



Title: Gara-Gara Kontolku Panjang
Author: seno
Submitted: Februari 2013-
Disclaimer: Cerita milik author
Rate: H
Length: Chaptered
Warning: Typo. menXmen. Gambar bukan milik saya, hanya untuk membantu imajinasi pembaca dan diambil dari website. Segala bentuk efek samping yang ditimbulkan cerita ini adalah tanggung jawab pembaca!

-------] @bluexavier69 [-------



Part 3
Emosi



---[12]---
Aku berjalan dengan santai di sepanjang teras kelas. Disampingku Hari beberapa kali mengajukan pertanyaan tentang artikel majalah sekolah. Dia bermaksud mengisi beberapa artikel dan banyak mengajukan beberapa pertanyaan mana artikel yang cocok. Maklum, aku juga masuk dalam dewan redaktur majalah sekolah. Aku tersenyum memandang Hari yang sedemikian semangatnya.

“Har, kirim semua saja, entar aku pilih.”

“Oke… aku duluan ya, mau ke kantin.” Hari melesat berlari kecil.

Aku lalu menuju ruang OSIS, kami ingin membahas bersama teman-teman pengurus tentang rencana tim yang akan dikirim untuk lomba futsal antar SMA se-kodya.

Hari ini, aku bahagia. Andai aku bisa melihat sendiri wajahku, pastilah wajahku berseri-seri dan bersinar laksana mentari pagi. Sambil berjalan, kubawa botol minuman kecil yang memang selalu kubawa kemana-mana. Sejak melihat ukuran kontol Kak Rizal, aku sedemikian bahagia. Napa? Entahlah, aku tak takut lagi dengan panjang kontolku. Toh ukuran kontol Kak Rizal jauh lebih panjang dan besar. Hmmmm… aku harus bahagia, aku tak sendirian punya kontol panjang, ada yang yang jauh lebih panjang, bahkan banyak.

Ada hikmahnya juga saran Kak Rizal, cuekin saja jika ada gosip tentang kontolku. Memang gosip belum mereda, bahkan ketika aku buka facebook jadi bahan diskusi temen-temenku rupanya. Di kantin juga, di kelas juga, di teras-teras juga. Akhh…cuek saja, cuek saat banyak cewek yang melirik arah selangkanganku secara terang-terangan. Hmmm… mungkin mereka sekedar mencari-cari jika ada ‘bulge’nya hahahha nggak akan lihat! Aku sudah mengantisipasinya, memakai celana dalam super ketat, biar dapat menghambat pertumbuhan kontol sekaligus bulgeku tak terlihat jelas.

Di depan sana, terlihat gengnya Frans. Frans berjalan di posisi paling depan diikuti oleh empat anak buahnya, mirip mafia. Di sekolah, frans terkenal. Terkenal dengan gengnya, terkenal tukang bully. Dan sebagian besar korbannya tak ada yang berani lapor ke pihak sekolah, takut.

Tubuhnya tinggi besar, hampir samalah denganku. Badannya kekar, mungkin terbiasa fitness. Rambutnya dipotong gaya punk. Wajahnya sebenarnya cakep, cuma dia lebih terkenal dengan kenakalannya. Kerjaannya bolos, merokok, mungkin juga mabuk-mabukan. Aku bersyukur, belum pernah jadi korban bully-nya.

Pihak sekolah masih saja mempertahankan, dan aku tahu mengapa, orang tuanya ‘tokoh’ dibalik lancarnya dana sekolah. Akhhh.. alasan klasik bagi sekolah-sekolah di Indonesia.

Dan ketika rombongan Frans mendekat, aku sudah siap-siap. Sudah beberapa kali dia meremas kontolku, kubiarkan. Kali ini aku harus menghindar. Aku tak ingin merusak suasana hatiku yang saat ini sedang bahagia.

Ketika jarak semakin dekat, aku sengaja bergeser ke samping. Seperti biasanya, dia tersenyum jahat sambil mengerling ke arah selangkanganku. Tak lagi dapat kuhindari, lagi-lagi tangannya menggapai selangkanganku, meremas sambil berbisik, "Wowww… besar bro!" Kali ini emosiku meledak sudah. Kupegang lengannya dan kutatap tajam matanya, dia cuma senyum nyengir mengejek. Akupun tersenyum…

”Kamu suka ya Frans?” Dia melotot kaget. Dia tak mengira aku akan seberani itu. Tanpa sempat mengelak, sebuah pukulan keras dengan energi besar yang selama ini kutumpuk menimpa wajah Frans.

BUGH!! Frans jatuh terjungkal. Dia memegangi hidungnya yang keluar darah. Matanya memancarkan kemarahan yang amat sangat. Dengan cepat anak buahnya menyerbuku, tapi aku sudah siap. Dua kali tendanganku mengenai dua anak buahnya hingga jatuh tersungkur.

Tiba-tiba suasana ramai. Beberapa anak menyeretku menjauh dan sebagian lagi menyeret gengnya Frans. Beberapa guru aku lihat berlari ke arah kami. Oughhh sial, aku harus berurusan dengan guru BK, dengan kasus yang tergolong berat, ‘perkelahian’.

---[13]---
“Jelaskan dengan jujur kronologi kejadian hingga kalian berkelahi.” Suara Pak Hartadi memecahkan kesunyian.

Kami duduk berenam. Aku, Frans dan keempat temannya. Kami duduk berderet menghadap Pak Hartadi guru BK dan guru dari Kesiswaan serta Kepala Sekolah. Di luar, suasana sepertinya ramai sekali. Aku maklum, jarang sekali terjadi perkelahian di sekolah ini. Apalagi kali ini melibatkan aku, ketua OSIS.

Aku diam…

“Ketua OSIS kok berkelahi. Memalukan!” Kepala Sekolah berggumam.

“Maaf Pak, jika saya lancang. Saya akan jelaskan. Saya berkelahi dengan geng ini...”

“Maaf Pak, kami bukan geng!” jelas Frans cepat.

“Oke. Saya berkelahi dengan beberapa orang ini karena saya menjaga kehormatan diri saya. Saya merasa dilecehakan secara seksual, maka sewajarnya saya membela diri.” Mendengar kata ‘seksual’ semuanya jadi sedikit heboh dan memandangku. Sudah terlanjur.

“Begini, sudah empat kali ini tiap saya bertemu dengan Frans dan teman-temannya, selalu saja tangan Frans hmmm… maaf, meremas kemaluan saya. Saya merasa dilecehkan!”

“Maaf Pak, saya merasa tak pernah melakukan perbuatan itu. Andai itu terjadi, kami pasti tak sengaja, maklum, teras sekolah kan penuh, jadi mungkin beberapa kali tangan kami secara tak sengaja menyentuh. Itu saja, nggak sengaja.” Gila, berani juga Frans ngarang! Aku menoleh marah ke arah Frans dan teman-temannya.

“Nggak Pak, ini beneran, saya tidak bohong. Frans benar-benar sengaja Pak!”

“Waahhh Pak, nggak bener neh. Saya kan cowok, mana mungkin lah sampai melakukan kayak gitu sama Luthfi ini… gila apa? Nih Pak saksinya temen-temen saya Pak, ya nggak temen-temen?”

“Iya Pak bener kok, saya saksinya. Si Luthfi saja yang kegeeran. Mosok cuma kesenggol gitu saja langsung emosi.” ucap temennya.

“Iya Pak, saya saksinya.” ucap yang lainnya lagi. Frans tersenyum tanda kemenangan.

“Oke, sudah saya putuskan. Sepertinya ini hanya salah paham saja. Saya berharap kejadian ini tak terulang lagi. Frans dan teman-temannya silakan keluar dulu.”

“Baik Pak, kami keluar. Tapi kami mohon keadilan Pak atas tindakan Luthfi yang semena-mena terhadap saya” Frans menjawab. Aku cuma terdiam. Posisiku gawat. Aku benar-benar sial, aku di fitnah, dan lebih menyakitkan lagi pihak sekolah lebih percaya Frans yang berandalan ketimbang aku. Frans dan teman-temannya keluar ruangan, tinggal aku sendiri, duduk seperti terdakwa di hadapan banyak guru.

“Tindakanmu sungguh memalukan. Ini peringatan untuk kamu agar kamu tidak mudah emosi. Bagi kami, pelanggaran yang kamu lakukan tadi tergolong pelanggaran berat. Dan kami dari pihak sekolah dengan terpaksa memberhentikan kamu dari segala kepengurusan di organisasi sekolah.” Aku benar-benar lemas kali ini. Rasanya dunia semakin tak adil bagiku.


. . .

Ketika keluar ruangan, kudapati teman-teman sekelasku menyambutku bak pahlawan. Wajah mereka berbinar.

“Fi, beneran ya kalau kamu menghajar si alay Frans itu? Hebat bener! Napa nggak bilang tadi. Kalau bilang ke aku, aku tentu bantu!” wajah Wahyu berbinar. Aku cuma tersenyum, sangat kontras dengan hatiku saat ini. Aku sedang sangat bersedih atas pemecatanku dari segala kepengurusan di sekolah. Akhhh… andai pihak keluarga tahu, pastilah aku dihajar oleh papa. Aku berjalan meninggalkan teman-temanku, dan semua mengiringiku layaknya pemimpin yang baru saja meraih kemenangan.

“Hidup Fifi!” teriak Wahyu di belakangku. Aku menoleh sambil tersenyum getir.

“Hiduupp!” teriak teman-temanku serentak. Aku paham, bagi mereka aku simbol perlawanan terhadap perusuh di sekolah. Akhhh… sangat kontradiktif! Ketika semua masuk kelas aku berdiri di depan. Aku menarik nafas panjang.

“Maaf temen-temen, kadang kebenaran sedang tidak berkawan dengan kita. Termasuk saat ini, walau aku membela diri karena merasa dilecehkan, tetap saja aku dinyatakan bersalah oleh pihak sekolah. Dan sekarang aku dikenai sanksi, dipecat dari segala kepengurusan di sekolah” suaraku tercekat. Semua yang duduk di kelas tiba-tiba hening.

“Wahhhh.. ini tidak adil. Ayo kita demo!” teriak Deni,

“Yooooo…” seluruh kelas berteriak.

“STOP! Sudah teman-teman, makasih atas dukungan kalian, tapi aku tak ingin kalian demo dalam bentuk apapun juga, paling tidak demi nama baikku. Aku tak ingin menambah masalah.” semuanya terdiam, dan aku tak lagi dapat berfikir.

---[14]---
Aku terduduk lesu di sudut ruangan. Ruangan kelas telah sepi, hampir semuanya sudah pulang. Aku duduk, lemas sudah seluruh sendiku. Kadang aku berfikir benar juga kata Hari mending punya ukuran yang kecil, toh nyatanya punya ‘ukuran’ yang panjang menyebabkan timbul banyak masalah. Entahlah, masalah terus muncul setelah banyak yang tahu ukuran kontolku.

Akhhhh… andai saja… andai saja aku dilahirkan kembali, aku tak ingin lahir sebagai keturunan Arab!

Pintu kelas terbuka. Sosok cowok berbadan ramping, berkaca mata minus muncul. Rambutnya lurus menutupi dahinya, kulitnya putih dan pucat, bibirnya tipis kemerahan. Dia berjalan menunduk mendekatiku. Aku mengenalnya sebagai ‘David si Einstein’ sekolah ini. Dia anak jenius, beberapa kali lomba dibidang sains selalu menang. Nilai matematika, ipa dan bahasa Inggris selalu sempurna, 10, tapi aku tak begitu mengenalnya. Bicara dengannya saja tak pernah. Dia terlalu tertutup, dan dia di kelas E, yang ruangannya sangat jauh dari kelasku. Yang kutahu dia penyendiri. Kegiatannya cuma satu, membaca buku! Lalu, kenapa dia mendatangiku? Aku menatapnya dengan penuh tanya.

Akhirnya dia duduk di depanku, wajahnya menunduk seolah menghindari tatapanku. Aku bingung mau berkata apa? Aku benar-benar tak mengenalnya. “Maaf, kamu… hmmm.. kok malah ke sini?” tanyaku membuka pembicaraan.

Dia menatapku, sejenak pandangan beradu. Baru kali ini aku menatapnya dari jarak dekat. Andai dia cewek, dia cantik! Cantik yang alami, dan aku paham dia Chinese. Akhhh… bukankah namanya David Wang?

“Hmmm... kita punya masalah yang sama, sudah selayaknya kita saling membantu,” ucapnya lirih.

“Kamu.. kamu juga pernah bermasalah dengan si Frans itu?” Dia mengangguk. Gila tuh si Frans, anak sependiam gini di-bully juga. Kasian amat...

“Kamu pernah di-bully?”

“Yaahh itu dulu, tapi masih terngiang dan takkan terlupa."

“Kamu diapakan?”

“Lupakan…” kata-katanya lirih tapi tegas. Aku mengambil nafas panjang

“Hmmm trus apa maksudmu ke sini?” Dia terdiam, menatap lekat-lekat wajahku.

“Aku tahu kondisimu saat ini, aku tahu… ini sangat berat bagi hidup kamu, aku pernah juga mengalaminya, sebagai kaum minoritas… ini adalah resiko yang harus kita hadapi.”

“Minoritas? Apa maksudmu?”

“Kamu Arab dan aku Chinese… kita minoritas di sini.”

“Truss…?”

“Hmmm… aku ingin jadi penguat bagi jiwamu saat ini.”

“Nggak perlu! Makasih!” aku sedikit tersinggung. Aku tak selemah yang kau pikirkan, aku kuat.. bisikku dalam hati. Dia tersenyum masam.

“Salah satu dalam prinsip hidupku adalah gini, jika kita hidup sendiri di tengah-tengah manusia yang tak menganggap kita lagi, maka tunjukkanlah kepada mereka bahwa kita itu ada, bahwa kita itu bermanfaat bahwa kita kuat, bahwa kita bisa lebih dari dia.” Aku terdiam berusaha mencerna apa yang dikatakannya. Yahhh benar, apa yang dikatakannya benar.

“Kamu telat berkata gitu! Sekarang hidupku telah hancur!” Dia tersenyum,

“Tak ada kata terlambat untuk menunjukkan bahwa kita masih bisa berprestasi, bahwa kita tak seburuk yang mereka sangka.”

“Oke, kamu ada ide?” tanyaku menantang. Dia kembali tersenyum. Aku paham, saat dia tersenyum aku selalu melongo, sangat manis, lebih tepatnya cantik!

“Untuk itulah aku ke sini, aku mau ajak kamu ikut lomba.”

“Lomba? Lomba apaan?”

"Penelitian,"

“Hahh!” aku kaget. Aku paling males dengan penelitian-penelitian.

“Nggak! Aku nggak bisa.”

“Pasti bisa, aku paham, kamu anak yang cerdas, aku butuh kamu, ini sifatnya kelompok.”

“Tetep nggak bisa!”

“Oke… dan kini aku baru tahu si fifi osis ternyata tak sekuat yang kuduga, bahkan disaat terpuruk seperti ini kamu malah menunjukkan kondisi semakin lemah saja.”

Aku terdiam… dan sekali lagi aku akui, yang dikatakannya benar. “Hmmm oke.. kamu yakin, kita dapat bekerja sama?”

Dia tersenyum, diraihnya telapak tanganku. Jari-jarinya yang kecil dan lentik sangat kontras dengan jariku yang berbulu, coklat dan kasar. Dia menggenggam telapak tanganku lembut. Aku cuma melongo menatapnya yang sedang tersenyum.

“Pasti bisa! Ayo kita tunjukkan bahwa kita tak selemah yang mereka kira,” jawabnya lirih tapi tegas. Aku mengangguk, dan entah energi dari mana yang muncul…. Aku tiba-tiba semangat.


. . .

Kami pulang bersama, berjalan sambil terus ngobrol dengan si David. Akhh…aku tak mengira, sungguh.. David yang terkenal sedemikian pendiam ternyata enak juga diajak ngobrol.

Ketika melewati sebuah gang yang sepi…. Tiba-tiba sekitar tujuh lelaki menghadangku, dan aku paham mereka adalah Frans beserta gengnya. Dia menghadangku, tersenyum mengejek.

“Hellooo onta Arab lagi ngapain neh? Wowww… lagi maen sama Cina culun ya? Hahahahahaa kasian bener…”

Emosiku kembali mendidih. “Mau ngapain kalian hah? Belum kapok juga ya Frans?”

“Hahahahahahha… belum! Sebelum kuremukkan tubuhmu hahahhaha”

“Dasar banci, beraninya keroyokan!” tantangku. Wajah frans menegang, matanya melotot marah.

“Ayooo hajarrr….” Frans berteriak.

Aku pasang kuda-kuda, David semakin pucat di punggungku. “Vid, kamu cepet lari… minta bantuan… cepeet…” dengan cepat david lari.

Sebuah tendangan berhasil kutangkis. Pukulan juga berhasil kutangkis, tapi lawan tak sebanding. Beberpa pukulan mengenai tubuhku, tendangan terakhir mengenai ulu hatiku, dan aku terpental. Kurasakan diseretnya tubuhku ke sebuah rumah kosong, dan beberapa pukulan kembali kuterima bertubi-tubi tanpa sempat kubalas. Aku terjerembab jatuh. Tendangan kembali menerjang tubuhku. Akhhhhh... aku berusaha meloloskan diri, tapi tak mungkin lagi.

Sampai ketika kudengar suara keras di pintu, “Woiiii… siapa kalian, aku bunuh semua.”

Mataku berusaha terbuka ke arah sosok di pintu, seorang lelaki membawa pedang panjang. Di sisinya aku kenal, itu david, dan… baru kusadari… itu Kak Rizal. Ya… itu Kak Rizal.

Seketika semua terhenti, dan… tanpa aba-aba semuanya berhamburan melarikan diri lewat pintu belakang. Kulihat Kak Rizal berlari mengejar, tapi semua tak terkejar. Kak Rizal menghampiriku, dan dengan cepat dipeluknya tubuhku. “Fii… kamu nggak pa pa Fi? Maafin aku Fi… aku terlambat..”

Aku berusaha tersenyum, tapi bibirku kaku dan perih, rahangku seperti rontok, dan penglihatanku semakin kabur dan… lenyap. Semua berubah menjadi gelap, hitam… dan samar. Hanya kudengar suara Kak Rizal memanggilku, “Fiiii…sadar Fiiiii… sadar Fiii..” Suara Kak Rizal semakin menghilang dari pendengaranku.



. . .

---[14]--- David ---
Jantungku kini berdebar keras, benar-benar berdebar keras. Jari-jariku bergetar hebat ketika dengan pelan mengusap bibirnya yang penuh noda darah. Akhhhh… aku lega darah tak lagi mengalir dari lobang hidungnya. Kuambil selembar tissue, dan pelan kuusapkan pada pipinya yang mulai tumbuh rambut. 

Akhhhhh…. mimpi apa aku semalam, aku bisa sedemikian dekat dengan wajah cowok idolaku. Andai boleh, aku akan terus mengusap-usap pipinya atau wajahnya atau seluruh tubuhnya. Akan kuhilangkan seluruh noda hingga wajahnya kembali bersinar laksana surya di pagi har, walau kuakui aku tak inginkan keadaan ini. Aku tak ingin cowok idolaku dalam kondisi tak sadar seperti saat ini.

Ohhh Luthfikuuu… Andai aku bisa membalas kelakuan preman-preman itu, akan kubunuh mereka semua, akan kucincang tubuh-tubuhnya kubuang ke laut hingga untuk santapan hiu. Laknatlah kamu Frans! Kenapa kamu tega melakukannya pada Luthfiku?

Luthfi… Dia memang cowok yang sempurna menurutku. Pertama lihat dia hampir dua tahun lalu. Saat kegiatan MOS, ada cowok yang berbadan lebih tinggi dibanding teman-temannya. Pertama lihat dia, mulutku sampai melongo, benar-benar laksana dewa dari kayangan. Wajahnya selalu berseri banyak senyum, hidungnya mancung, badannya jangkung tapi tegap, ibirnya kemerahan, dan kulitnya termasuk putih untuk ukuran cowok. Dia sudah mulai tumbuh kumis tipis dan itulah yang menyebabkan senyumnya jadi super duper manis. Pokoknya bikin aku benar-benar meleleh memandangnya.

Dia benar-benar idola di sekolah. Dia selalu di kerubutin cewek-cewek.. akhhh.. dan yang kutahu dia tidak sombong. Dia juga tergolong siswa yang pandai, di kelasnya dia selalu dapat peringkat tiga besar. Luthfiku memang sempurna.

Tapi apalah aku… Aku cuma cowok biasa, cowok keturunan Chinese dengan kaca mata minusku yang selalu menempel di wajah. Bagaimanapun aku dandan takkan menarik perhatian dia. Beberapa kali berpapasan aku sudah menyiapkan diri untuk mengenalnya lebih jauh, tapi… akhhh… kembali lagi… dia seperti tak pernah melihatku.

Setiap jam istirahat aku selalu berusaha ke perpustakaan lewat teras depan kelasnya, tujuanku satu… agar aku dapat melihat Luthfiku. Akhhh… Luthfi…aku di bumi, dan kau laksana di bulan sana sehingga tanganku mustahil untuk menjangkaumu.

Dalam sebuah kesempatan aku dekat dengan dia, selalu kugunakan moment untuk menghirup sepuas-puasnya aroma wangi tubuhnya. Akhhhhh… Aku tak pernah dapat menyentuhnya. Hingga suatu saat ketika dia terpilih menjadi ketua OSIS lewat pemilihan langsung, aku baru dapat menyentuhnya. Secara berbaris kami di beri kesempatan bersalaman dengan pengurus OSIS yang baru. Jantungku laksana akan copot ketika menyadari bahwa aku akan menyentuh telapak tangannya. Woww sebuah moment yang amat langka tentunya.. dan tibalah saatnya aku menyalami Luthfi, tak dapat lagi kugambarkan menyentuh telapak tangan idolaku. Hangat dan kekar itulah yang kurasakan. Dia tersenyum padaku dan itulah yang bikin aku hampir tidak tidur semalaman membayangkan bahwa aku dapat melihat senyum di bibirnya yang sedemikian manis dari jarak yang sedemikian dekat.

Aku selalu mengamati Luthfi dalam kerahasiaan yang selalu kusimpan. Beberapa kali kuambil secara diam-diam fotonya yang di pajang di mading sebagai foto dokumentasi kegiatan yang dia lakukan atau mengamati dari gedung perpustakaan di lantai dua ketika dia sedang bermain basket. Malamnya, aku senyum-senyum sendiri memandang fotonya Luthfi.

Pengin sekali aku kenalan, tapi aku benar-benar tak berani. Berada di dekatnya saja butuh mental baja. Memang di sekolah aku terkenal paling pandai, tapi toh itu bukan ukuran bahwa aku bisa menjadi cowok yang supel dalam pergaulan, makanya aku kadang ngiri dengan Luthfi, dia pinter, tidak sombong, aktif di segala bidang dan banyak senyum. Kebalikan seratus delapan puluh derajat denganku. Aku cenderung menyembunyikan identitas asliku, cenderung menyendiri dan hanya buku teman baikku. Aku merasa… yahhh… menjadi minoritas di lingkunganku.

Hingga akhir-akhir ini kudengar issue kurang sedap tentangnya, dia memiliki kemaluan yang sangat panjang. Aku selalu dengar beberapa temanku membicarakannya, tapi toh aku tak peduli lagi. Rasa cintaku tetaplah takkan bisa luntur hanya karena issue nggak jelas seperti itu. Hari berikutnya yang kutemui wajah Luthfi lain, dia cenderung masam mukanya. Aku paham, betapa beratnya menanggung issue tak sedap yang menimpa dirinya. Ingin sekali aku membantu membangkitkan semangatnya, tapi… sekali lagi.. aku takkan kuasa lagi jika sudah berdekatan dengannya.

Peristiwa tadi pagi adalah kumpulan dari emosional dia yang menumpuk. Aku melihatnya sendiri betapa Frans memang sudah sangat melecehkan dia dengan meremas penisnya, dan Luthfiku memang luar biasa, dia bisa mengalahkan Frans hanya dalam sekali pukul.. luar biasa. Andai sekolah itu sepi aku sudah bersorak kegirangan laksana suporter sepak bola, dan cintaku kepadanya semakin mendalam saja "I love u Fiii…"

Namun setelah itu dari teman-temanku aku baru tahu kalau Luthfi dipecat dari pengurus OSIS gara-gara memukul bajingan Frans. Aku ingin jadi saksi yang meringankan Luthfi, tapi toh semua sudah terlambat, keputusan sepihak sudah di keluarkan. Kembali hatiku terluka ketika menyadari cowok yang sedemikian kucinta pastilah sedang syock.

Siang ini aku benar-benar memberanikan diri untuk menemuinya. Otakku berputar alasan untuk menemuinya. Akhhh… bukannya aku sedang mempersiapkan lomba LPIR tingkat nasional, boleh juga Luthfi kuajak serta.

Kutunggu dan kutunggu di pintu gerbang dia tak muncul juga. Akhirnya kutemui dia di kelas sedang duduk dengan wajah muram di pojok kelas. Akhhh.. walau kamu muram… wajahmu tetaplah paling tampan Fii..

Kini Luthfiku terbaring lemah, dia tak sadar sudah sekian lama. Kulihat kakaknya yang tak kalah ganteng mondar-mandir melihat keadaan adiknya yang masih belum juga sadar. Beberapa kali kulihat Mas Rizal mengusap air matanya,
dia menangis. Akhhh Luthfi… betapa beruntungnya kamu punya kakak yang sedemikian sayang padamu.

Wajah Luthfi mulai bergerak, bibirnya bergerak. Aku terkesiap. Kuambil selembar tissue sekedar untuk mengelap keringat yang muncul di keningnya. Akhhh… tissue ini takkan kubuang, akan kusimpan dan kubaui semalaman nanti. Dan benar saja, mata Luthfi mulai terbuka. Dia mengerang… atau apalah… yang jelas suara lenguhan muncul.

“Mas Rizal, Luthfi sudah sadar, tolong panggil perawat,” aku berteriak. Mas Rizal langsung berlari.

Aku tersenyum memandang Lutfi. Yahhh… aku hanya ingin memperlihatkan senyuman terindahku di saat dia membuka matanya pertama kali.

“Ahhhh… ahhhh…. ahhhhhh…” dia mengeluarkan erangan. Aku paham, pastilah dia kesakitan. Ingin sekali aku menangis.

Beberapa perawat datang diikuti Mas Rizal dan dua orang yang aku yakin itu mama dan papanya Luthfi. Aku beranjak dari dudukku memberi kesempatan kepada perawat untuk memeriksa. Aku berdiri di samping papanya Luthfi yang tinggi besar.

“Dik makasih ya, adik sudah menolong Luthfi.”

“Iya pak,” ucapku lirih sambil mengamati kondisi Luthfi. Kulihat mamanya Luthfi tak mampu berucap, dia terisak menangis memandang anak kesayangannya terbujur lemah penuh luka.

“Hmmm… adik namanya siapa?” tanya papanya Luthfi,

“Hmmm… David pak… David Wang,” ucapku mantap.



. . .

---[15]--- Frans ---
Aku dan kawan-kawan berlari tak tentu arah menerobos halaman belakang rumah kosong ini. Akhhh… ini sudah diluar skenarioku. Sebenarnya awalnya hanya sekedar ingin membalas saja pukulan telak di pipiku. Menurutku Luthfi pantas mendapatkannya. Bukankah aku hanya meremas pelan saja kontolnya, napa dia jadi begitu kepadaku? Uhhh… menurutku itu sangat berlebihan, dan sebenarnya dia sudah mendapatkan balasan yang setimpal, yaitu di pecat dari kepengurusan OSIS. Rasain tuh Fii… emang enak!

Aku lega, bener-bener lega melihat bagaimana si Fifi yang biasanya sok gitu tertunduk di depan guru-guru, tapi temen-temenku berpikiran lain. Sebuah pukulan sekecil apapun harus dibalas, apalagi kami kan dari kelas 12 (tiga SMA), harga diri kami selaku kakak kelas terasa sedemikian diinjak oleh Fifi, dan kami merencanakan pembalasan. Aku sendiri cuma ingatkan saja, boleh pukul, tapi hanya sekali saja, nggak boleh lebih.

Dan rencanaku gagal total. Semua sudah diliputi emosi yang menyala. Aku sendiri ngeri melihat keberingasan teman-temanku. Aku lihat si Fifi sedemikian tak berdaya menghadapi gempuran teman-temanku, dan yang kulihat terakhir kali pada Fifi, dia benar-benar hancur. Aku berharap saja dia tidak sedemikian parah. Ada ketakutan juga, jika aku harus berurusan dengan pihak yang berwajib.
Akhhh… jika sampai keluarga Fifi lapor ke pihak kepolisian tamatlah riwayatku.
Bukankan ada si Cina culun itu yang jadi saksinya? Dan Malam ini aku merencanakan menculik si Cina culun itu untuk kuancam agar tidak lapor polisi atau paling tidak, tidak akan bersaksi di kepolisian. Akhhh… kenapa hanya gara-gara meremas kontol gedenya Fifi masalah jadi rumit gini?

Argggghhhhh… aku menjambak rambutku sendiri. Sebenarnya aku tidak membenci si Fifi, tapi entahlah, ini masalah harga diriku saja yang merasa terancam setelah kehadiran si Fifi itu.

Dulu sebelum si Fifi masuk ke SMA ini, hanya diriku yang menjadi idola di sini, dan kehadirannya sedemikian mengancamku. Dia memang benar-benar sempurna untuk ukuran seorang cowok. Wajahnya pastilah jauh lebih cakep, secara dia kan keturunan Arab. Postur tubuhnya jangan dibilang lah, aku harus mengakuinya, sangat jantan, dan satu kelebihannya yang tak dapat kudapat dari dia, yaitu satu kecerdasannya, makanya dia diidolakan di sekolah ini.

Tapi entahlah, dari sudut hatiku ada perasaan tak suka padanya. Ada bagian dari diriku yang seolah diambil darinya. Apalagi setelah dia dipilih jadi ketua OSIS. Gila deh… sempurna sudah dia di sekolah ini.

Untuk menyainginya aku berusaha keras. Aku sadar aku takkan dapat menyaingi disisi kecerdasannya, makanya aku harus ‘lebih’ secara fisik dibanding dia. Aku mulai fitnes, giat juga di basket. Akhhh… aku tetep saja kalah dari dia. Bukankah dia juga jago di basket?

Tubuhnya seperti terbentuk secara alami. Lengannya kuat, dan aku sering juga mengamati. Kakinya kokoh, berambut dan sangat lelaki. Apapun yang kulakukan untuk menyaingnya, rasanya tak mungkin aku dapat mengalahkannya. Sampai akhirnya ada issue besar di sekolah. Dia punya kontol yang panjang. Aku yakin tak hanya diriku, semua yakin walau tak melihat secara langsung, pastilah kontolnya panjang. Dia keturunan arab, itu yang ada dipikiranku dan semua teman-temanku.

Sebenarnya aku tak peduli dengan issue tersebut, tapi entahlah… menurutku inilah satu-satunya kelemahannya. Pertama kali yang kudekati si Dita, ceweknya yang imut. Kutakut-takuti secara serius tentang resiko cewek yang punya pasangan berkontol besar, dan benar saja, dita putus dari si Fifi. Akhhh lega aku, dan satu lagi, aku ingin dia secara psikis tertekan dengan kuremas kontolnya setiap kali ketemu. Walau dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam penasaran juga dengan ukuran kontolnya, dan sejauh yang kurasakan dari ‘remasan’ memang kontolnya gede.

Akhhh… sekarang gimana ya kondisi si Fifi? Moga dia tidak parah, tapi tadi terakhir si Cina culun minta bantuan seseorang, dan dia membawa pedang mengkilat yang membuat kami lari tunggang langgang ketakutan.

Aku berjalan kaki pulang. Mobilku kutinggal di sekolah, mungkin nanti Pak Darto pembantuku yang akan aku suruh mengambilnya. Tadinya aku mau ‘ngumpet’ di rumah Vina cewekku. Entahlah… aku merasa dalam waktu dekat ini, pastilah polisi mencariku, tapi kubatalkan. Aku harus sportif, berani berbuat haruslah berani menanggung!

Lega rasanya ketika rumahku yang berada di sebuah kompleks perumahan mewah terlihat. Setengah berlari, baju seragam SMAku sedikit kotor dengan peristiwa tadi. Kuusap sedikit sehingga nantinya tak jadi bahan pertanyaan mama.

“Dik… maaf, bisa bantu?” suara seorang lelaki. Aku menoleh, seorang cowok usia kuliahan sedang mengubek-ubek mobilnya yang sedang mogok. Kap depannya terbuka dan dia sedang menunduk mengamati mesin.

“Iya Mas, mobilnya kenapa?” tanyaku. Dia masih saja menunduk.

“Nggak tahu neh, mesinnya tiba-tiba mati, kamu bisa bantu?' Akupun ikut menunduk sekedar mengamati mesin mobil. Sebenarnya aku nggak paham-paham amat dengan mesin mobil, tapi siapa tahu aku bisa membantu. “Eh… dik, di SMA 3 ya? Wah… ponakanku si Dita sekolah di sana juga, kamu kenal?” dia hanya sedikit menoleh kemudian kembali sibuk dengan mesin mobilnya.

“Dita? Jadi Mase ini omnya Dita ya? Kenal mas, cuma dia duduk di kelas dua Mas.”

“Iya hehehe… adik namanya siapa? Siapa tahu nanti Dita kenal.”

“Frans mas…” dia pelan berdiri, mengambil saputangan di sakunya. Aku masih menunduk mengamati mesin mobil. Tiba-tiba bekapan saputangan tepat di hidungku beserta sekapan tubuhnya. Aku kaget! Tapi yang kurasakan selanjutnya aku seperti sesak nafas, dan penglihatanku seketika menghilang.


. . . 

Mataku pelan mulai terbuka. Ingatanku langsung kembali. Aku.. hahhh… aku…hahhhh… mungkinkah aku diculik? Dan benar saja, aku sulit bergerak! Kuamati tubuhku, seketika aku kaget. Kedua tanganku terikat di batas ranjang, mulutku di lakban, gila! Mataku melotot berusaha melepaskan diri dengan mengeluarkan jeritan lirih tertahan.

Dan…. pintu kamar terbuka. Di manakah aku ini? Cowok tadi yang kulihat sedang membetulkan mesin.. ternyata dia penculik. Mungkinkah dia mau minta uang tebusan?

Dia tersenyum. Wajahnya sebenarnya bukan tampang kriminal. Wajahnya tampan, hidungnya sangat mancung, rambutnya berombak dan sorot matanya sayu. Dia benar-benar penjahat profesional, sama sekali tak ada tampang kriminal.

“Mmmpppphh… mmmppphh…” aku berusaha berteriak, tapi dia hanya tersenyum sambil membawa pisau yang berkilat terkena lampu kamar. Dan saat inilah kurasakan, aku dalam titik yang betul-betul kritis.

Dia mendekatiku. Sangat dekat sehingga sebagian tubuhnya terasa berat menindih tubuhku. Akhhhh... Wajahnya sangat dekat denganku. Kurasakan hembusan nafasnya yang panas menyapu wajahku. Dan… dia tersenyum. Aku baru sadar, senyumnya sebenarnya bukan senyum seorang penjahat.

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan terhadap adikku hari ini hmmm… Jika adikku kenapa-kenapa… ini hukumannya...” Okhhhh… baru aku sadar, pastilah dia kakaknya si Fifi. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Ini pastilah nyawa taruhannya. Di sudut hati yang paling dalam aku ingin si Fifi nggak kenapa-kenapa.

Dia menempelkan pisau dipipiku, terasa sangat dingin. Pisaunya terus turun... ke leherku... dadaku... di perutku... dan berhenti tepat di kemaluanku. Hahhh? Aku melotot kaget.

Dengan cepat dia membuka paksa celanaku. Aku terus bergerak memberontak, tapi aku benar-benar tak berdaya.. sangat tak berdaya. Ketikan kurasakan telapak tangannya menyusuri pahaku… dan semakin ke atas… ke atas. Dan kurasakan pisaunya terasa sangat dingin di kontolku. Aku melotot ngeri.

“Frans… jika adikku sampai kenapa-napa, ini… kontolmu akan kupotong. Kamu kan banci, sukanya maen keroyok, biar jadi banci beneran kalau tanpa kontol hahahhahah”

“Mmmpppphh… mmmpppphh…..” aku berusaha menjerit memohon ampun. Aku akan bunuh diri beneran jika hidup tanpa kontol. Ohhh Fiii… moga kamu nggak kenapa-napa.

Dia kembali ke atas menemui wajahku. Dia tersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba dia bangkit, dengan pelan dia membuka celananya. Aku melotot kaget. Tubuhnya bagiku mengerikan! Mulai dari batas pinggang ke bawah penuh bulu. Kemaluannya besar... hitam... dengan jembutnya yang lebat. Paha dan kakinya menghitam penuh bulu. Gila! Bagiku ini mengerikan!

Dia mendekatiku. Gila! Dia mau apa lagi? Dengan cepat dia membuka lakban di mulutku hingga terasa perih di sekitar bibirku. Aku bergetar ketakutan karena pisau tajamnya masih menempel di leherku.

“Aaammmpun mas.. ampunnn…” suaraku bergetar. Kali ini aku memang benar-benar ketakutan. Terasa penyiksaan menjelang kematianku telah menghadang di depan mata. Dia tersenyum…

“Hey banci! Kamu kan senengnya ngemut kontol… kali ini aku ingin… kamu emut kontolku…' Gila! Aku melotot kaget. Aku menggeleng lemah. Dan langsung dalam perutku bergejolak. Mual luar biasa membayangkan aku harus ngemut kontol hitam mengerikan, dan dia tahu itu karena aku sudah akan muntah. “dan kalau kamu sampe muntah.. langsung kupotong kontolmu saat ini juga!” Aku melotot kaget.

“Ammpuun mass.. ampunnn..” Aku pasrah… ketika dengan pelan dia duduk di dadaku, terasa sangat berat, dan pelan dia mendekatkan kontolnya di dekat wajahku. Dari jarak yang sedemikian dekat kontolnya jauh lebih mengerikan lagi. Berurat.. hitam dan super besar, mirip milik orang-orang Negro dalam koleksi bokepku. Akhh… dan aromanya… benar-benar bikin aku mual. Baunya mirip bau celana dalamku yang seharian kupakai. Ohhh Tuhaannnn… aku tak kan mungkin kuat menghisap kontolnya tanpa muntah!

Ku memejamkan mataku ketika kurasakan kepala kontolnya mendekati bibirku. Aku benar-benar tak ingin melihatnya. Seumur hidup… memegang langsung kontol orang lain saja tak pernah, apalagi ngemut. Sungguh ini sebuah penyiksaan yang luar biasa! “Ayooo buka mulutmu banci!” bentaknya.

Kubuka mulutku, dan sangat terasa kepala kontolnya masuk menerjang lidahku. Akhhh… aku tak dapat lagi menggambarkan rasanya, yang kurasakan saat ini hanya kepanikan.

Aku berusahan mengemut ujung kepalanya saja, sengaja kutahan kontolnya agar tidak masuk semua dan bikin aku tersedak, tapi dengan cepat kontolnya mengembang memenuhi mulutku. Hanya satu doaku, moga aku tidak muntah.
Jika muntah… habislah riwayat hidupku.

---[16]---
Aku bener-bener muntah saat ini. Kukeluarkan seluruh isi perutku. Kukeluarkan suara keras agar semua yang ada di perutku keluar, dan muntahanku berceceran di jok mobil, di karpet dan jok depanku. Kulirik sebentar pak sopir taksi. Dia mengamati dari kaca spion, dan taksipun terhenti.

“Waaahhhhhhh… gimana sih dik… kok muntah-muntah di mobilku, duh dik… rugi nih aku kalau mobil…

"hoooeeeekkkkkkkk..." Aku muntah lagi.

“Wah dik… adik lagi mabuk ya? Waduhhh kalau mabuk ya jangan naik taksiku.” Aku melotot kaget. Sopir ini sungguh tidak berperi kemanusiaan. Emosiku memuncak! "heh om sopir udahlah jalankan mobil, aku lagi sakit… lagi saaakiiittt… tahu nggak hah!"

"Lha.. tapi gimana dik, mobilku kan jadi kotor." Aku tersinggung berat. Kurang ajar benar nih sopir! Mosok mobil taksinya lebih berharga daripada diriku. Kalau nggak lagi sakit sudah kuhajar sopir keparat ini. 

Kuambil dompet di saku belakangku. Kukeluarkan seluruh uang, entah berapa.
Terakhir aku punya sekitar delapan ratusan, mungkin setelah kupakai untuk traktir temen-temen tinggal enam ratusan ribu. Kuambil semua tanpa melihat berapa jumlah uangnya. Kusodorkan semuanya.

"Neh.. semuanya ambil, kayaknya cukup tuh kalau hanya untuk ongkos nyuci mobil jelek ini!" ujarku ketus.

“Diak… banyak amat.. ini… ini…” Dia melotot kaget menerima pemberianku.

“Cepetaaaaan… jalan cepet, jangan cerewet,” aku setengah menjerit. Dengan cepat sopir taksi itu kembali menstarter mobilnya.

“Dik.. mau ke rumah sakit atau ke mana?” Aku kembali melotot kaget.

“Lho… tadi kan sudah kuberitahu tujuanku to, cepetan!”

“Iyaa…”

Dan kurasakan mobil kembali jalan, tapi perut ini masih terus bergejolak parah, aku kembali muntah. Kukeluarkan isi perutku yang sekarang tinggal cairan yang terasa pahit. Akhhhhh… aku sangat-sangat lemas…

Aku kembali muntah, kali ini sangat pahit. Duhhh.. andai bisa kukeluarkan usus, lambung sampai dengan anusku, kubersihkan dan kusikat. Argghhhhh… Ingin sekali aku muntah lagi, tapi sudah tak mungkin rasanya, seluruh sendi tulangku rasanya sudah lolos lepas dari tubuhku.

Sungguh aku tak mengira, selama ini aku kira korban perkosaan hanyalah cewek, tapi ternyata aku sekarang adalah korban perkosaan. Gila, aku di sodomi, aku di sodomi! Akhhhh… sebuah kenyataan yang tak habis kupikirkan sampai dengan detik ini. Selama ini aku dan teman-teman sering tertawa membicarakan praktek sodomi di kalangan kaum homo, dan kali ini aku… akhhh… aku disodomi! Gila saja ini semua terjadi padaku.

Keparat tuh kakaknya Luthfi! Diakhir acara penyiksaannya dia menyodomiku dengan kontolnya yang sedemikian besar. Ingat bentuk kontolnya… 'hoeekkkk…' Aku kembali muntah. Dan mobil taksi terus melaju tanpa mempedulikan aku muntah.

Awalnya aku berfikir… aku pastilah mati. Aku pastilah mati. Bagaimana tidak, kontol sedemikian besar akan masuk ke anusku? Akhhh… mana mungkin!?Tapi… kulihat kakaknya Luthfi mengambil benda mirip pasta gigi yang kecil. Dengan tersenyum mengejek dia berkata… "Aku ingin kamu merasakan betapa sakitnya adikku saat ini. Aku ingin menyodomimu, kamu tau kan sodomi? Tapi aku juga ingin kamu menikmatinya."

Aku menggeleng lemah, gejolak perutku rasanya seperti tak dapat kubendung. Aku ingin muntah, tapi kutahan, aku ingat betul ancamannya. Pandanganku sepertinya kabur, aku ingin mati saja dari pada harus merasakan di sodomi.

Dengan sedikit atraktif dia kembali memamerkan kontolnya yang besar dan tegak mengacung. Berurat, hitam dan bagiku sangat menjijikkan. Dia memencet benda itu dan mengeluarkan pasta berwarna bening, mengambilnya dan mengolesinya di batang kontolnya hingga mengkilat terterpa lampu kamar. Aku melotot kaget. Akhhh… aku nggak mau, aku nggak mau! "Ammpunnn Mas…ampun… lakukan apapun terhadapku… tapi jangan lakukan itu mas…” aku benar-benar memohon.

“Hahahhahha… jangan kuatir, sakitnya kusodomi tak sesakit yang Luthfi rasakan kali ini di rumah sakit…”

“Ampun Mas… ampuunnn…” aku merintih ketika kurasakan ujung kepala kontolnya yang hangat mendekati anusku. Mataku benar-benar terpejam. Aku tak ingin melihat adegan ini, aku benar-benar tak ingin melihatnya. Dan… dia seperti nya mengoleskan pasta tersebut di anusku. Tubuhku menggelinjang... rasanya dingin… yang terjadi selanjutnya, kurasakan jari-jarinya mengusap-usap anusku dengan pastanya. Dan… whatt???? Satu jarinya menerobos masuk ke anusku! Aku kaget dan menggelinjang, tubuhku menolak keras kehadiran ujung jarinya. Kurasakan tubuhku mencengkeram erat jarinya di anusku.

“Frans… jika kamu tak ingin kesakitan dan berdarah-darah, kamu harus rileks.” Aku masih memejamkan mata sambil menggeleng lemah. Gila! Bagaimana mungkin akan di perkosa bisa rileks!?

“Ambil nafas panjang… ayoooo… cepatt!” dia memerintah. Anehnya aku nurut, dalam hati kecilku… aku merasa… aku tak mungkin lagi dapat menghindarinya.

Aku mengambil nafas panjang… dan kurasakan jarinya menerobos masuk ke anusku. Aneh rasanya ada benda asing masuk ke anusku. Dan berulang-ulang dengan terus memasukkan cairan itu hingga terasa anusku sangat sangat licin.

Akhhh… tubuhku berkali-kali terantuk-antuk seiring dengan dorongan tubuhnya
tidak dapat kugambarkan sakitnya, tapi yang jelas… yang paling sakit adalah hatiku. Ada perasaan… aku ini seperti seonggok daging tak berguna. Ini semua hanya gara-gara masalah sepele saja, sangat sepele malah, tapi akibatnya nyawaku jadi taruhannya.

Aku menggeleng lemah menghindari wajahnya yang berkali-kali ingin mendekati wajahku. Entah berapa lama ini berlangsung. Aku terus memejamkan mata...

Tak terasa air mataku kurasakan merembes keluar dari sudut mataku. Aku menangis… Aneh, ini adalah tangisan pertamaku. Aku bukanlah cowok cengeng, tapi jujur, aku menangis bukan karena sakit yang kurasakan, aku menangis karena… akhhh… mengapa? mengapa? mengapa? Disadari atau tidak, aku mulai menikmati permainan ini.

Jiwaku berontak… Tidak! Aku tak boleh menikmatinya. Aku bukanlah homo! Aku punya cewek, dan aku sampai saat ini masih punya cewek. Mungkinkah karena ini akibat ‘pelicin’ yang luar biasa banyak di anusku?

“Dik… ini rumahmu?”

Aku kaget… dengan lemas kujawab, "Iya.. masuk saja Mas, aku lemes banget… masuk saja mobilnya."

“Dik… gerbangnya di tutup.”

“Bukaaa… di dalam ada satpam!”

Sopir taksi itu nurut saja. Dia keluar dan berusaha membuka pintu gerbang. Dan Mas Yudi, satpam rumahku kulihat menanyakan sesuatu. Lalu dengan cepat, Yudi membuka gerbang. Sopir taksi memasuki halaman rumahku. Mas Yudi tergopoh-gopoh membuka pintu mobil taksi.

“Ada apa Den? Den Frans sakit?” tanyanya panik sambil melihat muntahan. Aku masih tersandar di jok mobil, tak tahu lagi... ahh... bajuku penuh dengan muntahan…

“Yud… sudah kubilang, jangan panggil aku ‘den’!” aku sedikit membentaknya. Aku paling males dipanggil ‘den’ olehnya. Beberapa temanku sering menjadikan ini bahan candaan, tapi bagaimana lagi, Mas Yudi itu memang satpam baru. Dia menjulurkan lengannya, “Eits.. kamu mau apa?” tanyaku melotot ke arahnya.

“Mau bopong.. den… eh Mas Frans…”

"Nggak… aku bisa jalan sendiri,” ucapku ketus.

“Hah.. ada apa ini….” Suara mamaku muncul dari balik pintu di ikuti Pak Harjo dan Mbok Biyah. Tiba tiba semua jadi ramai mengerubungi taksi. Sopir taksi menjelaskan sekilas. “Cepetan Yud, Frans dibawa masuk…” Kulihat Mas Yudi sedikit ragu. “Cepetan Yuuuudddd….” Teriak mama. Dengan cepat tubuhku dibopong oleh Mas Yudi. Sepertinya enteng saja Mas Yudi membopongku. Aku benar-benar sangat lemas. Kepalaku bersender lemah di dadanya, dan setengah berlari Mas Yudi membawaku ke kamarku di lantai atas.

Ketika masuk kamar dengan pelan aku di tidurkan di atas ranjang. Sangat nyaman dan lega perasaanku, akhirnya aku bertemu kembali dengan ranjang kesukaanku. Semua masih berdiri. “Kalian semua ngapain hah? Cepetan ambil minyak angin, siapakan air hangat, dan buatin teh hangat cepetannn…” Mama masih panik. Aku memang anak tunggal di rumah ini, Mama sangat mengkhawatirkanku tentunya.

“Ma… semua…. aku lemes banget… tapi… semua keluar dari kamar…. aku pengen tidur…”

“Nggak! Kamu harus di obati dulu. Kamu kok nggak telpon Mama Frans kalau kamu sakit, ini pihak sekolah gimana sih, besok pokoknya aku akan protes, tau ada anak sakit malah…”

“Maaaa….. udaahhhhhhh…. aku nggak sakit di sekolah kok…”

Mbok Biyah datang dengan membawa teh hangat. Aku berusaha duduk. Mama menyudorkan pelan cangkir teh hangat tersebut. Aku menyeruputnya pelan. Akhhhh… hangat terasa.

“Sudah yaa… semua keluar… aku mau ganti baju terus tidur,” ucapku.

“Mama biar di sini ya? Mama khawatir Frans... Perlu Mama panggil dokter Frans?"

“Nggak… nggak usah, nanti habis tidur aku juga baikan, Mama keluar dulu yaaa…”

“Ya udah… kalau tidur nanti pake selimut yaa. Mbok Biyah, tolong siapkan sup hangat untuk Frans. Ya udah semua keluar.”

Semuanya keluar, suasana kamar hening. Aku menatap langit kamar. Akhhh... semua laksana mimpi bagiku. Aku bangkit, kubuka pintu kamar sedikit, dan kulihat orang-orang yang tadinya di kamarku masih di lantai dua mau menuruni tangga.

“Maaa…” mamaku menoleh,

“Ya… ada apa?”

“Mas Yudi suruh ke sini, temenin aku!” Mas yudi kaget.

“Yud… sana temenin Frans, kamu bantu keperluannya ya.”

“Ya Nya..”

Tubuh Mas Yudi kulihat menuju kamarku. Aku duduk di sisi ranjang. “Tutup pintu terus kunci Mas Yud.” Mas yudi nurut saja. Dengan cepat kulepas semua pakaianku, Mas Yudi kulihat kaget. Dengan cuek aku bugil di hadapannya. Aku bangkit dan menungging membelakanginya. “Yud, tolong amati yaa…” ucapku lemah.

“Amati apa?”

“Anusku…”

“Hah?!”

“Jangan protes! Lihat anusku!”

Aku menungging. Kulirik wajah Mas Yudi mendekatkan diri di pantatku, dia bingung. "Ada apa mas?"

“Amati!”

“Ya… ya… udahhh…” ucapnya.

“Bolong besar tidak?”

“Hah? Apa den?”

“bolong lebar tidaaaakkkk?!” tanyaku nggak sabar.

“Tidak den… biasa saja.”

"Ada darah?"

“Ammm.. sedikit… merah gitu”

Aku bangkit. Kututup wajahku dengan telapak tanganku. 'Tidaaakkkk… berarti aku sudah tidak perawan lagi' aku menjerit dalam hati. “Ada apa den? Den Frans ambeien ya?” Aku melongo memandang Mas Yudi yang sungguh lugu.



---[P17]--- [Lutfi] ---
Aku mencoba menggerakkan badanku.. sakit… Kucoba menggerakkan kepalaku.. sakit… Kucoba menggerakkan rahangku… sakit juga… Semua sakit, bahkan untuk sekedar membuka mataku. Kucoba mengumpulkan kembali ingatanku. Akhhh… aku habis di keroyok beberapa orang di sebuah rumah kosong. Gimana kondisiku? Aku harus membuka mata.

Akhirnya kupaksa juga mata ini terbuka. Hal pertama yang kurasakan adalah elusan pelan jari-jari halus di kening dan pipiku, kemudian di bibirku, dan… dalam samar kulihat cowok berkaca mata minus tersenyum sambil menatapku. Dia yang mengusap-usap jemarinya di wajahku, dan aku paham dia david, si jenius itu.

Aku dimana? Di rumah david kah? Di mana kak Rizal? Aku ingin mengucapkan sesuatu… tapi susah, bibirku susah di gerakkan. Sungguh usaha yang keras hanya untuk sekedar mengucap sebuah kata. Hanya "ahhhh…" itu saja yang terucap dari sela bibirku yang sedemikian sulit untuk di gerakkan.

“Mas Rizal… hubungi perawat, Fifi sudah mulai siuman..” teriak David keras. Aku sedikit kaget. Perawat? Hah? Berarti aku di rumah sakit? Siapa yang membawaku ke sini? Aku… aku… parahkah kondisiku hingga harus dibawa ke rumah sakit?

Tanganku kugerakkan, kuraih telapak tangan David. Ada rasa bahagia, bahwa aku masih bisa menggenggam tangan seseorang. Kurasakan hembusan nafas hangat di sisi telingaku. “Fiii… aku bahagia… aku bahagia sekali Fi, kamu sudah siuman… Aku sayang kamu Fii… Aku… aku sangat menghawatirkanmu Fii…” bisiknya lirih. Aku tak mampu menjawabnya. Hanya genggaman telapak tanganku saja yang semakin erat. Selanjutnya kudengar langkah-langkah beberapa kaki yang aku yakin itu perawat. Kulihat sekilas…perawat… ohh… mama, papa… akhhh… dari mana beliau tahu? Dan kembali rasa kantukku muncul. Hanya satu keinginanku… memejamkan mata, melupakan kembali kenangan buruk di masa lalu.



---[P18]--- FRANS ---
Suara air berkecipak seiring dengan gerakan tangan Mas Yudi menggosok punggungku, ketiakku, dadaku, dan hampir seluruh badanku. Aku duduk menjulurkan kakiku di bathtub. Busa melimpah menutupi sebagian tubuhku. Aku harus mandi, menghilangkan semua noda yang membuatku trauma Akhhh… jika aku ingat kejadian itu, sungguh aku masih mual. Makanya kubuang jauh-jauh ingatan disodomi oleh kakaknya Luthfi.

Aku ingin rileks, rileks setelah kejadian disekap yang sedemikian menegangkan urat syarafku. Makanya kusuruh Mas Yudi memandikanku. Baru kali ini aku tidak mandi sendiri. Ternyata dimandikan orang lain sedemikian nyaman. Kubiarkan Mas Yudi membersihkan seluruh area tubuhku, sementara aku seperti orang tiduran, memejamkan mata… sangat-sangat nyaman.

Awalnya Mas Yudi bingung ketika kusuruh memandikanku.

“Mandi… mandi gimana den?”

“Ya mandi. Sudah kamu siapin air hangat to?”

“Udah siap den..”

Akhhh… biarin deh dia menyebutku 'den' atau apalah. Capek mengingatkan. Dasar satpam! Aku berjalan dan masih dalam keadaan bugil menuju kamar mandi yang memang ada di kamarku. Aku masuk bathtub.

“Ya udah.. kamu bersihkan seluruh tubuhku dari ujung kaki sampai ujung rambut, aku ingin tiduran…”

“Oke den…”

Aku tersenyum geli. Kalau Mas Yudi bilang ‘oke’ kelihatan banget logat Kebumennya ahhahahaha... Dia namanya Wahyudi, baru sebulanan jadi satpam di rumahku. Dulunya katanya kerja jadi satpam di sebuah bank di Jakarta, tapi dia keluar karena tidak nyaman. Walau pernah di Jakarta, ternyata mulai dari logat bicaranya tetep nggak berubah, termasuk lugunya luar biasa.

Dia mulai mengusap punggungku dengan sabun cair. Dan mataku terbuka…

“Eit.. kamu ini gimana to? Entar seragam satpammu basah, cepetan copot!” perintahku. Dia bingung.

“Duh… saya nggak pake kolor (celana boxer) Mas..”

"Halah… nggak pake apa-apa juga nggak papa, daripada aku entar dimarahi mama gara-gara seragammu basah, cepet copot.”

“Aduh Mas.. malu lah, mosok cuma pake sempak (celana dalam) saja den.”

“Udaah.. cepet copot.”

Dengan gerakan ragu dia mencopot semua pakaiannya dan hanya pakai cd saja. Hmmm… badannya nggak kalah dengan badanku yang sering fitness. Yaahhh... namanya saja satpam. Kulitnya coklat tua khas lelaki Jawa.

“Udaahh jangan malu, aku saja nggak malu telanjang di depanmu kok.”

"Iya den…" Dan akhirnya dia kembali dengan ‘kegiatan’ memandikanku.

Aku harus mandi! Sekali lagi aku harus mandi. Gila… kenapa sih aku masih saja kepikiran penyekapan serta pemerkosaan terhadap diriku? Akkhhh.. memikirkannya membuat aku semakin tersiksa. Ini gara-gara aku suka iseng.. aku kapok! Kapok… tobat.. kapok… dan nggak akan mengulangi keisenganku lagi. Aku akan bubarkan geng nakalku. Masih kuingat ketika kakaknya Luthfi mengantar ke tempat parkir taksi. “Frans… apapun juga aku minta maaf, tadi aku emosi terhadapmu, tapi yang jelas.. semoga dengan kejadian ini kamu bisa berubah.. kamu tidak lagi nakal.. kamu kan sudah kelas tiga… sudah selayaknya kamu berubah memikirkan masa depanmu, lepas semua geng bully-mu dan jadilah anak yang baik.” Waktu itu aku tak begitu mendengarkan. Aku cuma menahan mual saja, tapi kali ini di bathtub ini aku menyadarinya. Memang sudah saatnya aku berubah. Sudah saatnya aku lepas dari temen-temenku yang lebih suka hura-hura dan dugem. Aku akan berubah! Besok aku akan menemui Luthfi dan memohon maaf.

“Den… udah ya den?” tanya Mas Yudi sambil mencolek pangkal lenganku, mataku terbuka lebar.

“Udah semua Mas?”

“Yaa… udah..”

Tiba-tiba aku melihat cd nya yang karet pinggangnya sudah kendor sehingga seperti akan melorot. “Mas Yud…”

“Ya den"

“Kamu nggak punya cd bagus ya, cd gituan masih di pake.” Dia melihat ke cdnya yang sepertinya tak mampu lagi menampung kontolnya.

“Ini juga masih bagus kok den..”

“Mas…”

“Iya den..”

“Coba buka cd-mu… aku mo liat kontolmu.” Kulihat Mas Yudi terhenyak kaget.

"Apa den? Wahhh… maaf den, saya nggak suka den Frans tanya gituan."

"Waduhhh… kamu nih, aku kan cuma mau liat saja.”

“Wahhh… nggak ah den, maluuu. Gini-gini juga saya selalu menjaga kehormatan den.”

“Hehh… kamu neh, mosok cuma liatin kontol saja sampai bicara kehormatan segala.” Mas Yudi bingung, menoleh ke sana ke mari, seperti takut ketahuan.

“Heh… di sini hanya kita berdua. Neh… aku juga bugil, sejak tadi kamu liat kontolku, mosok aku cuma mau liat kontolmu bentar saja nggak boleh.”

“Tujuan den Frans apa kok mau liat?”

“Pakai tujuan segala… tujuannya mau lihat seberapa besar kontolmu, kabarnya… kontol orang Jawa bagian selatan lebih gede-gede dibanding Jawa bagian utara secara Jawa bagian utara itu kan banyak kecampur Cina, jadi kontolnya kecil-kecil, kamu kan orang Bumen to? Nah... aku mau liat kontol orang Bumen… gitu lho… Cepetan buka."

“Nggak ahh… biasa saja kok, kontolku tuh kecil den, tapi… ya.. lebih besar sih kalau dibandingi kontolnya den Frans…” dia tersenyum masam.

“Wahhh… kamu menghina aku ya? Udah bilang milikmu kecil eh… malah bilang milikku lebih kecil lagi, cepetan… aku mau liat.”

“Ya ya… ya den… tapi jangan diapa-apain ya den.”

"Hahahahahha… kamu nih bicaranya kayak gadis perawan saja, entar kupotong tuh kontolmu trus kubuat sup..”

“Waaaaaa…. den Frans… kejam banget.” Dengan perlahan Mas Yudi membuka cdnya. Aku heran kenapa ya, tiba-tiba aku penasaran dengan kontolnya Mas Yudi. Gila neh… otakku kayaknya udah mulai nggak bener. Apa ini gara-gara aku diperkosa oleh kakaknya Luthfi ya? Hahhh… kakaknya Luthfi itu namanya siapa? Aku kok lupa nanya? Duh… napa nih, makin konslet saja otakku. Kok jadi mikirin kontol kakaknya Luthfi?

Mas Yudi membuka cdnya. Hal pertama yang kulihat sekumpulan bulu kemaluan yang luar biasa lebat dan keriting tak beraturan. Aneh saja, tubuh bagian atas tak ada rambut seperti kakaknya Luthfi, tapi bulu jembutnya kok bisa lebat gitu ya? “Agak dekat sini, aku mau liat!” Mas Yudi nurut saja dan mendekat. Ini dua kalinya aku mengamati dua kontol di hari yang sama. Walau kontolnya Mas Yudi besar, teteplah masih jauh kalah dibanding kontolnya kakaknya Luthfi. Dan benar kata temen-temenku, kontol orang Jawa bagian selatan memang lebih besar, berwarna coklat tua, dan lebih mulus enak dipandang, nggak ada urat-urat yang menonjol.

“Udah. Bentar.. pake cd ku saja, cdmu buang saja ke selokan depan sana biar ikan-ikan di sana mati semua hehehehe..”

"Wahhh den Frans ngenyek yo, gini-gini, cd ini sudah lima tahun menemani saya den…"

"Hahhhh… apa.. lima tahun? Gilaa kamu.. pantesan…”

Aku bangkit dari bathtub. “Sini handuknya.” Aku lap tubuhku, segar sekali. Gila… semua rasa mual tiba-tiba hilang, sepertinya aku begitu segar saat ini. Cuma… anusku masih lumayan perih.. atau lebih tepatnya panas. Inilah yang merisaukanku.

Aku berjalan ke kamar, masih dalam keadaan bugil. “Mas… tolong bathtub-nya di keringkan.”
“Iya den.”

Kubuka lemari, kuambil satu kotak cdku yang masih baru…berisi tiga potong dan sebotol baby oil. Kasian juga si Yudi, punya cd sampai lima tahun nggak ganti, dan kuambil uang dua ratus ribu. Aku kembali ke kamar mandi.

“Mas Yud..”

“Iya den..”

"Neh… pake!" dia terbelalak, “waaa… beneran ini den… wwaaa makasih yo.”

“Yo cepetan pake, tuh cd kamu buang saja ke tempat sampah.” Dia mengambil cdnya... dan sepertinya masih sayang banget ma cd itu. “Ayooo buang.” Dengan berat hati Mas Yudi membuang cd kesayangannya ke tempat sampah.

“Neh uang untuk kamu.” Dia terbelalak kaget melihat aku menyodorkan uang dua ratus ribu.

“Nggak ah… takut entar dimarahi nyonya.”

"Halah… ambil saja, nggak akan kulaporin kok. Ambil saja, sebagai rasa terima kasihku karena kamu bantu aku bersihkan badanku."

"Tapi den… saya itu ikhlas kok bantu den Frans."

“Iyaaa.. neh untuk beli rokok. Lagian tugas kamu bersihkan badan belum selesai.”

"Ohhh… bersihkan apa lagi den?"

“Terima dulu uang ini.” Dia mengangguk dan menerima uang dariku kemudian memasukkan ke saku bajunya yang menggantung di tembok kamar. Hmmmm… kalau dia pakai cd baru gini, mayan juga badannya. Sexy lah mirip cowok-cowok Filipina. Nah lo… napa juga aku ngamatin badannya Mas Yudi.

Aku kembali masuk ke bathtub yang sudah kering, kembali ke posisi semula.. tiduran tapi kali ini aku mengangkang lebar dengan kedua kakiku kusampirkan ke kedua sisi bathtub. Mas Yudi mendekatiku. "Membersihkan apa lagi den?"

“Mmm…. aku ingin kamu… mmm... bersihkan anusku pakai nih baby oil… Besok aku mo periksa ke dokter jadi harus bersih.” Mas Yudi terbelalak kaget, “apa den? Akhhh… den… cara bersihinnya gimana.. di cebokin gitu ya?”

“Cebokin? Ya nggak lah... kalo cuma gitu aku bisa sendiri.”

“Trus.. gimana?"

“Hmmm… gini.. kamu oleskan neh baby oil ke jarimu. Cuma satu jari lho jangan semua. Trus masukin jarimu ke anusku, berulang-ulang sampe bersih total…” Mas Yudi menerima botol baby oil dengan wajah masih terlihat bingung, "duh den, berat bener tugasku. Hmmm… den… mbok bersihkan sendiri saja den. Waduuhhhh… aku tuh nggak tega atau gimana gitu..”

"Halah, udah deh… jangan pake banyak alasan. Cepetan… aku dah siap.”

“Den… tapi nanti kalo sakit bilang ya…”

"Iya.."

“Den.. den Frans kan udah gede… kok masih punya minyak bayi gini to? Untuk apa den?”

“Ya untuk bersihin kulit lah… makanya kulitku kan halus,” jawabku sambil tersenyum. Padahal aku punya baby oil untuk ngocok, nikmattt banget ngocok pake baby oil.

Terus terang aku risih banget dengan anusku setelah diperkosa kakaknya Luthfi. Aku merasa… di dalamnya masih banyak cairan spermanya atau mungkin darahku, harus kubersihkan… tak mungkin lah aku membersihkan sendiri. Hoeekkk… membayangkan saja, aku kembali mual.

Mas yudi melaksanakan ‘tugas’ sesuai instruksiku, dia mengoleskan ujung jarinya dengan baby oil, dan… dengan tangan gemetar jarinya mulai memasuki anusku. Awalnya tubuhku menolak, tapi kutarik nafas panjang dan kubuat serileks mungkin.

Akhirnya… jarinya masuk juga. Rasanya aneh… pas jarinya masuk.. geli-geli aneh. Aku mulai menyukainya. Kulihat matanya Mas Yudi terpejam, “heh….napa merem?” tanyaku, “hmmm… ann…anu den, nggak tega saja,” ucapnya lugu. “Jarimu diputer-puter mas, biar bersih.” Dia memutar-mutarkan jarinya. Akhhhhhh gila.. nikmaat amat yaa…

Kontolku mulai bereaksi. “Sekarang cabut, bersihkan jarimu di wastafel.” Dia mencabut jarinya. Sempat kulihat jarinya bersih. Akhhh lega… nggak ada darah, berarti anusku tidak luka.

Dia membersihkan jarinya di wastafel dengan sabun.

“Udah ya den?”

“Ehh… belum lah… sampe lima kali pokoknya…”

“Apaaa??? Wahhh jangan bercanda den…”

“Iya beneran sampe lima kali, kalau cuma sekali ya ngga bersih… takutnya besok kalau di periksa dokter masih kotor.” Mas Yudi kembali ‘membersihkan’ anusku, berulang-ulang. Akhh… kenapa neh baru aku tahu kalau anus dimasuki jari ternyata nikmat juga. Kontolku jadi ngaceng, benar-benar ngaceng.

"Den… hmmm… maaf… kontolnya den Frans kok ngaceng gitu?"

“Ohh.. ini otomatis lah. Kalau anus dimasuki sesuatu benda pastilah kontol jadi ngaceng,” ucapku beralasan.

“Ohhh.. gitu ya..”

“Iya, kapan-kapan anus kamu coba aku bersihkan pasti kontolmu juga ngaceng.”

"Nggak! Aku nggak mau… lagian aku nggak punya ambeyen seperti penyakitnya den Frans.” Dalam hati aku geli, masih saja dia beranggapan aku punya penyakit ambeien.

Saat jarinya masuk ke empat kalinya, aku benar-benar nggak kuat. Akhirnya aku bilang “Mas…berhenti dulu! Hmmm…”

“Ada apa den?” Dia berhenti dari aktifitasnya dengan jari masih di anusku.

“Hmmm… aku… aku kok pengen kentut… atau… hmmm… beol.”

“Apaaa?” wajah Mas Yudi pucat.

“Cepetan.. jarimu di lepas tuh.” Dengan cepat jarinya di lepas dari anusku.

“Coba amati jarimu Mas, takutnya sudah terkena…”

“Terkena apa den?”

“Ya terkena tai lah.”

“Hahh” dia kaget. Dan sungguh geli, dengan wajah lugunya dia mengamati jarinya, kemudian menciumnya. Dia mau muntah.. hahahhahaha...

“Heh.. awas kalau sampe muntah.. kupotong kontolmu beneran.” Dia terbelalak kaget memandangku. Aku geli… jadi ingat ancamannya kakaknya Luthfi.

“Ya udah… cepetan keluar tunggu di kamar. Bawa tuh pakaianmu, aku mau beol."

“Ya.. ya Mas…” Dia beranjak menuju pakaiannya yang di gantung. “Heyy… njiji'i! Bersihkan dulu dong jarimu di wastafel.”

“Ehh iya Mas… den…” ucapnya grogi. Dengan cepat dia membersihkan jarinya di wastafel.

“Tutup pintunya yo, aku mau beol. Tunggu di kamar.”

“Iya den…” Dia menutup pintunya. Masih tiduran di bathtub kuambil baby oil. Kuusap di batang kontolku pelan. Akhhh… ngocok kali ini nikmaaattt banget!




---[19]--- LUTHFI ---
Setelah sebelumnya antara sadar atau tidak, sekarang aku benar-benar sadar. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Yang jelas awal aku membuka mataku, aku bingung dengan kondisiku. Aku di mana? Ini semua siapa? Mengapa aku seperti ini? Dan yang lebih gila… aku sempat mengingat-ingat… siapa sih aku dan siapa namaku? Gila… gila… gila… Aku sempat berfikir.. aku pasti terkena amnesia. Dan… aku bersyukur sekarang ingatanku pulih seratus persen.

Yang pertama kali kuingat tentu mama papa yang duduk di sofa. Akhhh… mana kak Rizal? Aku kok nggak melihatnya? Dan… anak berkaca mata minus ini siapa? Wajahnya cute… dia tersenyum… dan senyumnya tak asing bagiku. Barulah aku sadar dia david. Cowok yang baru saja kukenal.

Yang kurasakan saat ini adalah rasa nyeri di seluruh tubuh diiringi dengan sakit kepala. Aku ingin menjerit tapi tak mampu. Hanya menggeleng-geleng pelan. Kulihat mamaku mendekat. Dia mengusap-usap keningku. "Apa yang kau rasakan Fi?" tanya mamaku lembut.

"Sakit.. sakiitt.. maa.."

Kulihat mamaku menangis. "Akhhh… siapa yang tega lakukan ini terhadapmu Fii?"

Aku terdiam.. hanya geleng-geleng kepala saja. Dalam keadaan seperti ini, aku masih dapat berfikir panjang. Tak ada gunanya aku dendam. Semua hanya akan memperburuk keadaan saja. Aku akan merahasiakan semua ini.

“Nak David… Nak David tahu siapa yang melakukan ini terhadap Fifi?” tanya papaku.

Hahh? Baru ingat, David kan tahu semua! Wahhh bisa gawat neh kalau sampai papa mama tahu, bisa-bisa beliau lapor polisi dan bisa kacau semuanya.

“Mmm.. anu.. hmmm…” David bingung menjelaskannya. Kuraih lengan David cepat. Kuremas dan kucubit keras. “Duuuuuhhhh sakkiiiiiiittt… sakit maa… tolong kepalaku sakitt maaa…” aku menjerit berpura-pura untuk mengalihkan perhatian. Mama kaget.. beliau bangkit… “Paa.. ayo kita ke ruang dokter paa… aku takut terjadi apa-apa terhadap Fifi..” kulihat papa mengangguk dan bangkit. Keduanya keluar ruangan.

Syukurlah david paham. “Vid… tolong jangan beritahukan kalau Frans yang melakukan ini, aku tak ingin masalah berlarut-larut.” kataku lemah. Kulihat David mengangguk pelan. Kuraih tangannya. “Vid…”

“Ya Fi?”

“Makasih ya..”

“Untuk apa?”

“Kamu telah bantu aku.”

“Udahlah… aku nggak bantu apa-apa kok, sebagai sahabat sudah selayaknya aku menolongmu.” ujarnya sambil tersenyum.

“Vid…”

“Ya?”

"Hmmm… ini pukul berapa?"

“Hmmm pukul tujuh kurang… tuh?” kata David sambil menunjuk ke jam dinding.

“Tujuh malam?”

"Ya iyalah.. mosok jam tujuh pagi hehehhe..."

Aku kaget. Berarti cukup lama juga aku pingsan. Kulihat David masih menggunakan seragam sekolahnya. Dia memakai jaket tipis berwarna hitam. Akhhh… siapa menyangka David yang baru beberapa jam lalu kukenal saat ini adalah orang yang paling berjasa terhadapku. Dari sinilah aku tahu, dibalik wajahnya yang serius dan kaku, dia adalah pribadi yang luar biasa baik Dia menungguiku sejak tadi tanpa beranjak dari kursi dekat aku berbaring. Akhhh… David… makasih David. Dalam hati aku menyesal mengapa ya aku baru mengenalnya? Kemana saja selama dua tahun ini?

“Vid.. kamu belum pulang sejak tadi siang?” Dia menggeleng sambil tersenyum. Ohhh… dia begitu banyak senyum.

“Akhhh ..Vid… aku jadi nggak enak hati terhadapmu. Orang tuamu tahu?” Dia kembali tersenyum.

“Fii… kamu jangan pikirin aku. Aku nggak pa pa kok, aku sehat. Papaku tadi juga udah ke sini kok Fi, tapi kamu belum sadar, dan beliau juga membolehkan aku menunggui kamu kok.” Akhh David.. kamu baik banget.

"Makasih.. tapi aku tak ingin kamu jadi repot."

“Nggak repot kok. Nyante lah Fii… yang penting kamu pikirkan tuh kondisimu sekarang. Kamu perlu pemulihan fisik.”

“Makasih ya..”

“Fii… kamu tuh sejak tadi makasih melulu..” Aku tersenyum.. masih agak perih bibirku untuk tersenyum.

“Vid..”

“Ya..?”

“Gimana kondisiku.. parah?”

“Yahh.. dibilang nggak parah tapi nyatanya cukup parah, kamu pingsan saja sekitar empat jam… bikin aku kuatir banget sama kamu.”

“Wajahku parah ya? Kok bibirku susah digerakan?"

“Hmmm… sedikit lebam… di sini..” Dia mengeluskan jarinya di kening dan pipiku serta rahangku. Wahhh… mayan parah kalau gitu. Masih kuingat… beberapa tendangan mengenai seluruh tubuhku termasuk kepalaku.

“Duhh.. kira-kira bisa pulih nggak ya?”

“Hehehehehe... pulih lah.. pasti. Pasti kamu akan kembali cakep lagi Fi, jangan kuatir. Sekarang saja kamu masih cakep kok, walau bibirmu sedikit jontor hehehhe..”

“Akhhh… kamu nih pasti becandain aku ya?”

“Iya hehehe… tapi beneran kok, kamu masih saja cakep, ngiri nih aku hehehehe..” Aku tersenyum, aku paham.. dia hanya menghiburku.

“Uhhh… menghina yoo…”

“Nggak.. sumpah.”

“Halah pake sumpah segala..”



Suasana hening. Tiba-tiba baru kusadari… kerongkonganku kering. “Vid…”

“Ya?”

“Mmmm.. bisa bantu aku?”

“Ya… so pasti. Bantu gimana?”

“Aku mau minum.”

“Ohh… ampe lupa ya, sejak tadi kan kamu belum minum. Bentar… mau pake sendok atau gelas l pake sedotan?”

“Terserah… aku haus banget.”

David mengambil segelas air putih yang berada di atas meja kecil. Dia menyendoknya pelan dan di serahkan ke bibirku, berulang-ulang hingga bibir dan kerongkonganku basah. Sesekali dia mengambil tissue, dan mengusap pelan di sudut bibirku. Akhh David… makasih yaa, kamu sangat baik...

Selesai sudah aku minum, dan kembali david mengelap bibirku dengan pelan. Entahlah… aku sangat nyaman. Aku tak pernah mendapat perlakuan selembut ini, bahkan oleh cewekku sendiri.

"Vid… aku… aku kok pengin kencing ya.. gimana neh?" Sejenak wajah David bingung.

“Aku panggil perawat?” tanyanya.

“Nggak usah… pake pisspot saja gimana? Ambil di toilet mungkin ada.”

“Oke.” Dia bersemangat. Benar saja… dia keluar dari toilet dengan pisspot ditangannya.

“Gimana caranya?” dia bingung.

Aku tersenyum.

“Nggak masalah… aku kan cowok. Bantu aku yaa… aku mo duduk.”

"Okee." Lengan David yang kecil menelusur di punggungku. Kukerahkan dengan seluruh energiku. Aku berusaha duduk. Setengah memelukku David juga mengerahkan tenaganya. Akhhhhhh.. akhirnya aku duduk. “Bantalnya tolong diletakkan di punggungku.” David sangat cekatan. Dia meletakkan bantal yang diposisikan berdiri di punggungku. Aku duduk bersandar. Kandung kemihku rasanya seperti mau meledak. "Mana pispotnya Vid?"

"Neh.."

“Tolong pasangkan.”

“Hah… gimana caranya?”

"Bentar… kamu jijik nggak kalau liat aku kencing?"

“Nggak lah… nyante saja.”

“Tolong… maaf ya… tolong buka celanaku, keluarkan tititku, dan masukkan di mulut pisspot. Pegangin pispotnya ya... maaf… tolong yaa..”

"Ohh…" dia melongo kaget.

“Kamu jijik ya.. Ya udah panggil perawat saja, tapi yang cowok, aku kalau membungkuk masih sakit.”

"Aahhh.. nggak kok, aku… aku bisa… bisa… jangan kuatir Fi."

Kurasakan dengan perlahan David membuka ritsleting celanaku dari balik selimut. Tangannya mengeluarkan kontolku pelan. Lalu dia memasukkan kontolku ke mulut pispot.

“Gini ya?”

“Ya. Tolong pegangin pispotnya.”

"Oke.."

“Maaf Vid… jadi merepotkanmu.”

“Nggak pa pa, aku senang kok bisa bantu kamu.”

Akhirnya aku kencing dari balik selimut. Akhhh… lega sudah…

Kreeekkkk….



Aku kaget, pintu terbuka. Mama, Papa, dokter, dan kak Rizal masuk. “Bentarr…. aku kencing.” ucapku.

Mama tersenyum.

“Gimana.. kubantu tidak?” mama mendekat.

“Jangan mendekat Maa… malu kan!?” ucapku dengan nada sewot. Kulihat wajah David merona merah karena malu. Akhhhh… akhirnya selesai sudah. David mengeluarkan pispot yang sudah penuh dengan air kencingku.

“Ma tissue Maa..”

Kak rizal mengulurkan tissu kepadakuaku menerima dan mengusap pelan di kontolku. Akhh selesai sudah prosesi kencing di tempat tidur.

“Sini dik David, biar kubuang air kencingnya.” mama berucap. Dengan masih malu David menyerahkan air kencingku ke Mama.

Semua mendekat.

Aku berusaha membungkuk untuk membetulkan ritsletingku.

"Daahhh… sini kubantu." Dengan cekatan kak Rizal membetulkan kembali posisi celanaku.

“Kak Rizal ke mana saja?” Kulihat wajahnya sedemikian kusutnya.

“Habis dari kampus… tadi ada kegiatan.”

“Ohhh…”

Dokter mendekat.

“Gimana dik, masih pusing?” tanyanya.

“Nggak… tapi kadang sakitnya muncul.”

“Ohhh nggak pa pa… ini wajar kok. Yang penting mulai sekarang perbanyak minum dulu ya.”

“Ya dok.” Dan…

Kreekkk…

Pintu kembali terbuka. Seorang laki-laki berwajah Chinesse masuk. Beliau tersenyum.

“Ohhh… nak Luthfi sudah sadar yaa. Gimana sudah baikan?” Tanyanya sambil tersenyum menyalamiku.

“Baik kok Om…”

“Oh ya… kenalkan saya papanya David, kami sekeluarga mengucapkan banyak terima kasih karena anda telah menyelamatkan anak kami…” Aku sedikit kaget. Akhhh… mungkin David yang bercerita kalau aku telah menyelamatkan nyawanya. “Ohhh om, nggak pa pa kok.. Sama-sama Om.”

“Ya sudah… pokoknya banyak istirahat, Insyaallah.. cepet sembuh. Nggak ada luka serius kok.” ujar dokter mengundurkan diri. Papa dan Mama mengantar dokter keluar.

“Vid, kamu pulang saja malam ini, udah ada kak Rizal yang menungguiku kok.” ujarku pada David.

“Iya… saya memang menjemput David untuk pulang dulu, biar besok ke sini lagi.” Kulihat David sebenarnya kurang senang dijemput papanya.




--- DAVID ---
Akhhh… lega sudah perasaanku. Aku begitu nyaman duduk di taksi ini. Sungguh hari ini sangat membahagiakanku. Kucium telapak tanganku dan kuhisap kuat-kuat, sekedar membaui sisa-sisa aroma kemaluannya Fifi.

Akhhhhhh…. entah mimpi apa aku semalam. Aku bisa sedemikian dekat dengan Fifi hari ini. Sangat tak terduga, aku dapat melihat, bahkan merasakan hangatnya hal yang paling pribadi di didirinya. Sungguh… inikah jodoh?

Aku tersenyum dan terus membaui telapak tanganku. Sisa-sisa aromanya masih tercium kuat di ujung indera penciumanku. Masih banyak waktu ke depan, banyak waktu, dan sangat banyak waktu untuk meraihnya. Kini, dia yang dulu serasa di bulan, sudah sedemian dekat denganku dan takkan kusia-siakan untuk meraihnya. Besok aku akan kembali dekat dengannya, akan melihat senyumnya yang super manis, akan merasakan kulitnya yang hangat, akan melihat sorot mata teduh yang menyejukkanku. 'Yesss!!! Kesempatan tak datang kedua kalinya! Yeess!!! Aku harus merebutnya!'

“Vid, kamu napa? Sejak tadi senyum-senyum sendiri?” suara papaku mengagetkanku.

“Ohhh nggak pa apa..” ucapku datar.

Ahhhh… bahagianya hidupku kali ini.




bersambung - - -



-------] #berpedang [-------
Uploaded Contact: -
Source: boyzforum.com

Kalo udah dibaca, komentarin lah.  Boleh juga bagi-bagi info/pengalaman kamu di sini. Biar blognya rame n rajin di update.


Kritik dan saran bisa dikirim lewat

-------] Thank’s for reading [-------

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar